UU Antiterorisme Disetujui, Polisi Bisa Tangkap Pendakwah yang Ajarkan Radikalisme

Rapat paripurna DPR pada Jumat (25/5) pagi menyetujui RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Ilustrasi, Densus 88. (Foto: Ist)

Jakarta, (Tagar 25/5/2018) - Akhirnya rapat paripurna DPR pada Jumat (25/5) pagi menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

Dengan adanya landasan UU ini, akan memudahkan pihak kepolisian untuk melakukan penindakan. Bila pada UU sebelumnya, penindakan hanya dapat dilakukan bila teroris telah melakukan aksinya. Maka sekarang dengan adanya UU tersebut, kepolisian sudah dapat bertindak bila ada indikasi terorisme terhadap satu kelompok meskipun masih dalam tahap perencanaan.

Kepolisian juga diberikan wewenang untuk menangkap orang-orang yang melakukan dakwah yang mengajarkan radikalisme karena munculnya teroris berawal dari radikalisme. Dengan adanya UU tersebut, posisi kaum teroris dan pendukungnya yang kerap disebut sel tidur akan semakin terjepit.

Ketua Pansus Terorisme M. Syafi'i mengatakan terdapat penambahan banyak substansi pengaturan dalam RUU tentang Tindak Pidana Terorisme untuk menguatkan pengaturan yang telah ada dalam UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Menurut dia penambahan sustansi tersebut antara lain adanya perubahan signifikan terhadap sistematika UU nomor 15 tahun 2003, menambah bab pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan dan peran TNI.

"RUU saat ini mengatur hal secara komprehensif, tidak hanya bicara pemberantasan namun juga aspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan, kelembagaan dan pengawasan," kata Syafi'i.

Dia menjelaskan RUU tersebut juga menambah ketentuan bahwa dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan tersangka pidana terorisme harus menjunjung prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) terduga diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa, tidak diperlakukan secara kejam dan tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia.

Syafi'i menjelaskan dalam RUU tersebut menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban aksi terorisme secara komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, pemberian hak-hak korban yang semula di UU sebelumnya hanya mengatur kompensasi dan restitusi saja.

"RUU ini telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santuan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan kompensasi," tuturnya. (Fet/Ant)

Berita terkait