Utang Indonesia Bukan untuk Dikorupsi

Utang Indonesia bukan untuk dikorupsi. Ini penjelasan mengenai manfaat utang produktif yang dilakukan pemerintah Indonesia.
Presiden Joko Widodo hadiri acara Penyaluran Bantuan Sosial Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Cilacap, Jawa Tengah, Senin (25/2). (Foto: Biro Pers Media dan Informasi)

Jakarta, (Tagar 14/3/2019) - Indonesia memiliki utang ke beberapa negara maju yang tidak sedikit jumlahnya. Mengutip data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), utang negara dalam hal ini adalah utang pemerintah tidak termasuk utang swasta. Posisi per Februari 2018 utang pemerintah sebesar Rp 3.958,6 triliun dan utang swasta mencapai Rp 2.351,7 triliun yang ketika keduanya dijumlahkan sebesar Rp 6.310,36 triliun.

Pada masa pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi, utang Indonesia bukan untuk dikorupsi, utang dikelola secara produktif lebih banyak ditujukan untuk pembangunan infrastruktur. Pada fase ini, negara banyak memberikan modal kepada BUMN untuk membangun infrastruktur.

Ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Inilah yang menjadi dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finances (INDEF) Abra el Talattov, di tengah keterbatasan anggaran negara (APBN) dalam membiayai pembangunan infrastruktur yang diestimasi mencapai Rp 4.700 triliun selama periode 2015-2019, kontribusi BUMN dalam mendukung pembangunan infrastruktur juga cukup signifikan yaitu ditargetkan mencapai Rp 1.034 triliun atau 22 % dari kebutuhan anggaran infrastruktur.

APBN kita didesain posturnya makin sehat. Jadi artinya cara bayar utangnya defisitnya makin kecil primary balance-nya positif, itu berarti kita bayar utang dan setiap kali ada utang jatuh tempo kita selalu bisa bayar melalui apa yang disebut revolving

Lebih lanjut ia menerangkan, dana yang besar tersebut dibutuhkan BUMN untuk misi membangun infrastruktur pada berbagai bidang dan sektor, utamanya jalan darat, pelabuhan, bandara, kelistrikan, pertanian, industri, pariwisata dan banyak lagi.

Selain mengejar ketertinggalan infrastruktur, kebijakan fiskal ekspasif ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.

Dalam catatan Kemenkeu, apabila dibandingkan dalam kurun waktu 2012-2014 dan 2015-2017, utang pemerintah memang bertambah dari Rp 609,5 triliun menjadi Rp 1.166 triliun yang mengalami kenaikan sebesar 191%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menjabarkan bahwa kenaikan utang itu untuk hal produktif. Seperti periode 2012-2014, belanja infrastruktur hanya Rp 456,1 triliun. Sementara pada periode 2015-2017 naik drastis menjadi Rp 912,9 triliun. Tak hanya itu, belanja pendidikan dari sebelumnya Rp 982,3 triliun naik 120% menjadi Rp 1.176,1 triliun.

Belanja kesehatan naik 180% dari Rp 145,9 triliun menjadi Rp 263,3 triliun. Belanja perlindungan sosial naik 849% dari Rp 35,3 triliun menjadi Rp 299,6 triliun dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa naik 357% dari Rp 88,6 triliun menjadi Rp 315,9 triliun.

Ia optimis, meskipun angka tersebut terbilang besar, namun nantinya akan berdampak positif dalam alokasi belanja produktif Indonesia.

“APBN kita didesain posturnya makin sehat. Jadi artinya cara bayar utangnya defisitnya makin kecil primary balance-nya positif, itu berarti kita bayar utang dan setiap kali ada utang jatuh tempo kita selalu bisa bayar melalui apa yang disebut revolving. Kalau semakin kecil berarti eksposure-nya semakin kecil. Makanya, debt to GDP ratio walaupun dalam undang-undang sampai 60 %, Kementerian Keuangan itu membuat rules sendiri, jauh di bawah, yaitu separuhnya. Tidak boleh melebihi 30 %,” tandasnya.

Berikutnya, kata dia, orang Indonesia harus membayar pajak. Hal itu dilakukan, tidak untuk membayar utang semata, melainkan untuk meningkatkan fasilitas ekonomi dalam negeri.

“Kita harus mengumpulkan pajak tapi tidak untuk bayar utang saja tapi untuk menyelesaikan untuk membuat ekonomi kita makin baik fasilitasnya. Sehingga ekonomi makin maju, GDP-nya makin gede utangnya relatif makin kecil. Kita bisa kumpulkan pajak untuk bayar utang juga,” ucap Sri Mulyani.

“Jadi kita bisa tahu dan kemudian kita bisa mengatakan oh iya... uang 1 rupiah ini bisa membuat orang menjadi produktif, menjadi tidak miskin, anaknya menjadi sekolah, anaknya menjadi sehat, tenaga kerja bisa mendapatkan vokasi. Ini orang-orang yang kemudian akan menjadi bisa mengurus dirinya sendiri, dan bisa berkontribusi pada ekonomi,” harapnya

Bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia memiliki rasio utang paling rendah (data Desember 2017). Tercatat Malaysia berkisar (50,8%), Thailand (32,5%), Vietnam (62,40%), lalu Indonesia (28,98%). []

Baca juga:

Berita terkait
0
Mendagri Lantik Tomsi Tohir sebagai Irjen Kemendagri
Mendagri mengucapkan selamat datang, atas bergabungnya Tomsi Tohir menjadi bagian keluarga besar Kemendagri.