Usainya Pesta Bernama Pilkada

Jika Djarot bagus, mengapa ia kalah di Sumatera Utara? Seperti kata pengamat politik GunGun Heriyanto, banyak faktor dan variabelnya.
Usainya Pesta Bernama Pilkada. Djarot Saiful Hidayat, si 'bersih' yang kembali kalah di pilkada. Kemarin di Jakarta dan kini di Sumatera Utara. (Foto: KanalBerita)

Jakarta, (Tagar 28/6/2018) - Pilkada telah usai. 171 daerah dari provinsi hingga kabupaten dan kota di Indonesia telah menentukan pemimpinnya untuk lima tahun kedepan. Pilkada serentak usai, kini tinggal masing-masing mengevaluasi capaiannya.

Bagi yang menang, evaluasi mungkin sedikit terlupakan. Tapi bagi mereka yang jagoannya kalah dalam ajang pemilihan kepala daerah lima tahunan itu, evaluasi layak segera dilakukan.
Sebagian yang kalah memang langsung berjiwa besar mengakui kekalahan dan menyampaikan ucapan selamat kepada rivalnya yang memenangi kontestasi. 

Sebagian lagi masih coba membesarkan hati dengan kalimat, menunggu hasil real count (penghitungan asli) oleh Komisi Pemilihan Umum. Mereka butuh kepastian, dan menepis hasil quick count (penghitungan cepat) beberapa lembaga penyigi pemungutan suara.

Bagi yang menang, hasil real count hanya sebagai gong peresmian kemenangannya, sementara hasil quick count bisa diterima dan umumnya langsung dipercaya.

Quick count memang sulit diterima yang kalah. Apalagi jika merasa percaya diri jago yang diusungnya seharusnya menang di wilayah tersebut.

Salah satu pasangan calon kepala daerah yang kalah dari hasil hitung cepat adalah Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus dalam pemilihan gubernur Sumatera Utara (Sumut).

Kekalahan Djarot memang menyita perhatian. Walau bukannya mustahil. Pasalnya, Djarot yang dianggap bersih dari korupsi dan berhasil menata Blitar dan Jakarta diyakini akan mampu merebut suara mayoritas di Sumatera Utara, provinsi yang dua gubernur terakhirnya harus masuk penjara akibat skandal korupsi.

Dalam beberapa survei sebelum pemungutan suara, Djarot-Sihar memang beda tipis hasilnya dibanding rivalnya, Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah, yang diusung koalisi gemuk tujuh partai; Gerindra, PKS, Golkar, PKB, PAN, Hanura dan NasDem.

Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dalam hitung cepatnya mencatat pasangan Eramas memperoleh suara 58,88 persen. Sedangkan Pasangan Djoss yang hanya diusung dua partai, PDIP dan PPP, hanya peroleh suara 41,12 persen.

Catatan SMRC ini beda sangat tipis dengan hasil sigi pemungutan suara Lembaga Survei Indonesia (LSI) milik Denny JA, yang mencatat hasil 57,2% untuk Eramas dan 42,8% untuk pasangan Djoss.

Namun Djarot masih menunggu data resmi KPU. "Kalau real count kan lebih akurat. Hitung cepat hanya mengambil sample," ujar Djarot di Medan, Rabu (27/6).

Apa pun hasilnya, Djarot harus menerima kekalahan keduanya, setelah Pilkada DKI Jakarta pada 2017, saat ia berpasangan dengan Ahok, sebagai petahana.

Djarot Saiful Hidayat menjadi fenomena. Ia digambarkan sebagai pemimpin yang bersih dan sukses menata kota saat ia menjadi Wali Kota Blitar. Karena catatan keberhasilannya itu, Djarot pula yang diajukan PDIP menjadi wakil Ahok setelah Ahok menjadi Gubernur Jakarta menggantikan Joko Widodo yang menjadi Presiden pada 2014.

Jika Djarot bagus, mengapa ia kalah di Sumatera Utara? Seperti kata pengamat politik GunGun Heriyanto, banyak faktor dan variabelnya. Kekalahan dan kemenangan seseorang dalam kontestasi pemilihan kepala daerah itu tak bisa disimplifikasi dengan satu soal atau sebab, ini terkait treatment dan effort politik sang calon dan mesin partainya. 

Menarik dikaji fenomena Djarot, si 'bersih' yang kembali kalah di pilkada. Kemarin di Jakarta dan kini di Sumatera Utara. (rif)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.