Tutut: Soeharto Berhenti Jadi Presiden, Bukan Undur Diri

Seusai menyerahkan arsip kepada ANRI, Tutut Soeharto menenegaskan bahwa ayahnya berhenti menjadi Presiden, bukan mengundurkan diri.
Tutut saat memberikan keterangan kepada awak media pada Kamis, 18 Juli 2019. (Foto: Tagar/Poppy Rakhmawaty)

Jakarta - Seusai menyerahkan arsip kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Putri mantan Presiden RI, Siti Hardiyanti Rukmana, memberikan penegasan bahwa ayahnya berhenti menjadi presiden saat menyudahi masa jabatannya, bukan mengundurkan diri.

"Bukan mundur tapi berhenti, bapak pakai istilah berhenti. Beliau cari kata berhenti di UUD 1945. Kita tanya waktu itu, beliau katakan kalau saya sebut mengundurkan diri, berarti saya belum selesai bertugas sudah mundur. Itu artinya tidak tanggung jawab," ujar perempuan yang akrab disapa Mbak Tutut itu di kantor ANRI, Jakarta selatan, Kamis, 18 Juli 2019. 

Soeharto berhenti menjabat sebagai Presiden Indonesia 21 Mei 1998. Tutut mengungkapkan alasan ayahnya berhenti yang kala itu diikuti dengan aksi besar-besaran atau dikenal dengan Reformasi 1998.

"Terus kalau ditanya, kenapa tidak terus? dia [Soeharto] menjawab kalau terus akan banyak remaja dan generasi yang jadi korban karena itu sudah tidak dipecaya lagi, kok memaksakan diri. Lebih baik berhenti. Jadi, biar generasi lain yang meneruskan," katanya. 

Kalau kesopanan kita jaga, batin suci, hati bersih, niat bagus, tidak hendak ricuh dengan sesama, maka Insya Allah akan baik buahnya bagi segenap masyarakat.

Anak pertama Soeharto itu menyebut bahwa ayahnya telah menyelesaikan tanggungjawab sebagai kepala negara. Oleh karena itu, menurut Tutut, ayahnya tidak menyisakan masalah bagi negara.

Peradaban yang Lebih Manusiawi

Pada kesempatan itu, Tutut yang datang ditemani adiknya Bambang Trihatmodjo, juga menyampaikan bahwa sadar sejarah membuat sebuah bangsa tahu adab dan mampu meletakkan seseorang pada maqam atau tempat yang tepat.

“Tidak ada bangsa dan negara yang lepas dari sejarahnya. Namun kemanusiaan harus menjadi prasyarat bagi kita untuk menciptakan peradaban yang lebih manusiawi. Menempatkan para pemimpinnya ke dalam historisitas kemanusiaan tertinggi sebagai khalifah. Selanjutnya dapat menerima kekurangannya sebagai hal manusiawi,” ujar Tutut.

Membangun sumber daya manusia (SDM) dengan kebudayaan luhur, menurut dia, harus menjadi landasan penting bagi kemajuan Indonesia. Kebudayaan harus terimplementasi dengan menerapkan kerangka nilai kebangsaan dan adab. 

“Kalau kesopanan kita jaga, batin suci, hati bersih, niat bagus, tidak hendak ricuh dengan sesama, maka Insya Allah akan baik buahnya bagi segenap masyarakat,” kata Tutut.

Dia berharap di masa datang kebudayaan dapat dimaknai dengan watak yang progresif berupa resistensi kreatif yang menggerakkan perubahan.

“Kebudayaan harus menjadi acuan berpikir, sebagai politik kebudayaan. Dimulai dari keteladan pemimpin. Menjadikan habit; batin suci, hati bersih, dan niat bagus, yang jika terakumulasi menjadi restorasi nilai kebangsaan. Dengan begitu Insya Allah kemajuan dan kejayaan Indonesia benar-benar tercapai,” kata mbak Tutut. []

Baca juga:

Berita terkait
0
Parlemen Eropa Kabulkan Status Kandidat Anggota UE kepada Ukraina
Dalam pemungutan suara Parlemen Eropa memberikan suara yang melimpah untuk mengabulkan status kandidat anggota Uni Eropa kepada Ukraina