Tunda Pilkada 2020, Perludem: Demi Kesehatan Rakyat

Petisi tunda Pilkada demi kesehatan dan keselamatan publik dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat sedang digaungkan.
Ilustrasi Pilkada 2020 Serentak pada September. (Foto: Tagar/Istimewa)

Pematangsiantar - Belakangan ini muncul petisi tunda Pilkada 2020 demi kesehatan dan keselamatan publik dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat. Petisi ini dibuat lantaran kurva kasus Covid-19 terus mengalami peningkatan dan ratusan pasien positif Corona selalu bertambah setiap harinya. 

Salah satu pembuat petisi, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan koalisi itu terdiri dari berbagai organisasi tokoh publik seperti Netgrit, Netfid, Perludem, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, Kopel, JPPR, KIPP Indonesia, dan PPUA Disabilitas.

"Petisi daring di laman change.org agar penyelenggaraan Pilkada, yang semestinya digelar pada Desember 2020 ditunda ke tahun 2021," kata Titi Anggraini melalui siaran pers yang diterima Tagar, Rabu, 27 Mei 2020.

Salah satu anggota koalisi, Hadar Nafis Gumay mengingatkan jika Pilkada tetap dilaksanakan pada Desember 2020, KPU memiliki dua opsi jadwal untuk memulai kerja tahapan pemilihan lanjutan, yakni 6 Juni atau 15 Juni 2020. 

Memaksakan penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaat.

"Sementara sampai saat ini kurva kasus positif Covid-19 masih terus meningkat. Juga, belum ada satupun peraturan KPU dapat digunakan sesuai dengan konteks pandemi," ujar Hadar Nafis Gumay.

Hadar menegaskan sebelum membuat petisi mereka sudah berusaha menyalurkan pemikiran soal penundaan Pilkada lewat diskusi ke pemerintah, KPU, maupun Anggota Komisi II DPR. Tetapi pemerintah masih bersikukuh melaksanakan Pilkada 2020.

"Pemikiran sudah kami salurkan lewat diskusi tapi pemerintah tetap pada pendirian untuk melaksanakan pilkada desember 2020. Karena itu kami memikirkan cara lain yaitu mengumpulkan aspirasi bahwa pilkada tidak seharusnya tetap dilakukan dengan kualitas yang menurun," kata dia.

Dalam petisi di laman Change.org, Koalisi menjelaskan dalam Perpu No.2/2020 yang dikeluarkan 4 Mei lalu tidak ada pasal-pasal mengenai teknis kepemiluan sesuai protokol kesehatan Covid-19 dan penyesuaian anggaran selama penyelenggaraan Pilkada. Artinya, tahapan Pilkada masih dijalankan dengan ketentuan di UU Pilkada yang ada.

Penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi juga dikhawatirkan akan ada politisasi bantuan sosial (Bansos) sebagai media kampanye petahana-petahana kepala daerah. 

Sementara, Dahlia Umar menjelaskan selama penyaluran Bansos tidak jarang kepala atau pejabat daerah mengatasnamakan dirinya sebagai pemberi bansos. Menurutnya, praktik politisasi bansos seperti ini tentu merugikan peserta yang bukan petahana.

Selanjutnya, hak hidup dan kesehatan menjadi alasan koalisi menuntut penundaan Pilkada 2020. Lewat Diskusi Publik yang berlangsung pada Rabu, 27 Mei 2020, Feri Amsari tegaskan Hak untuk hidup secara prinsip harus didahulukan daripada hak politik.

"Bayangkan kalau proses Pilkada yang jadi kewajiban disaat kondisi pandemi. Kebijakan negara terkait pilkada tidak memberi kepastian pertanggungjawaban kepada publik. Semangat Pemerintah memberi jaminan tidak menyebarnya virus Covid19 selama proses Pilkada belum tergambar sampai saat ini," ucap Feri.

Feri menyarankan semua penyelenggara Pemilu lebih tegas, tidak hanya menyelamatkan peserta dan pemilih, tetapi juga diri mereka sendiri sebagai penyelenggara. 

"Sebelumnya kita sudah dikecewakan dengan korban-korban penyelenggara di Pemilu sebelumnya di masa normal, apalagi di masa new normal saat ini. Jangan sampai terulang kembali," ujar Feri.

Di akhir diskusi publik, Titi Anggraini merangkum tiga motif pemerintah menyelenggarakan Pilkada 2020. Diantaranya adalah motif ekonomi. Pilkada 2020 ini seolah-olah memberi impresi kepada masyarakat kalau ekonomi baik-baik saja. 

Kedua adalah motif politik, yakni petahana dan non petahana yang tidak percaya diri jika Pilkada dilaksanakan tahun 2021. Ketiga adalah kurang serius dengan kondisi Covid-19 di Indonesia. Dampak Covid-19 dianggap tidak separah yang dibayangkan, karena jumlah kasus positifnya tidak sebanding dengan negara lain.

Titi menegaskan penting untuk menunda Pilkada ke 2021 agar waktu, kesiapan, adaptasi dan kualitas pilkada tetap terjaga.

"Memaksakan penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Di antaranya, terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada dengan Covid-19, politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta Pemilu petahana dan non petahana, dan turunnya partisipasi pemilih," kata Titi. []

Berita terkait
Covid-19, Pemerintah dan DPR Sepakat Tunda Pilkada 2020
Pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sepakat dengan Komisi II DPR menunda penyelenggaraan Pilkada 2020.
Isu Manfaatkan APD untuk Logistik Pilkada, DPR: Blow Up!
DPR merespons isu adanya APD dihambat distribusinya agar bisa dimanfaatkan untuk logistik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
Staf Mendagri: Cegah Corona Berimbas ke Pilkada 2020
Staf Mendagri menyebutkan langkah-langkah pencegahan virus corona berimbas ke Pilkada 2020.
0
Serangan ke Suharso Monoarfa Upaya Politik Lemahkan PPP
Ahmad Rijal Ilyas menyebut munculnya serangan yang ditujukan kepada Suharso Manoarfa merupakan upaya politik untuk melemahkan PPP.