Untuk Indonesia

Transmigrasi Sejak dari Kolonisasi Kolonial Belanda

Transmigrasi dikenal sejak zaman Belanda, di masa pemerintahan RI program ini untuk berbagai kepentingan, 12 Desember adalah Hari Transmigrasi
Panen raya jagung di Desa Tanjung Mas Rejo, Kabupaten Mesuji, Lampung, tahun 2007 (Foto: Ditjen PKTRANS).

Oleh: Syaiful W. Harahap

Transmigrasi yang kita kenal ketika di masa pemerintahan Orde Baru (Orba) dijalankan secara besar-besaran ternyata sudah dilakukan pemerintaha kolonial Belanda jauh sebelumnya yang mereka sebut kolonisasi. Hari ini, 12 Desember, diperingati sebagai Hari Bhakti Transmigrasi.

Salah satu tujuan transmigrasi di masa kolonial Belanda adalah Gedong Tataan, sekarang sebuah kecamatan di Kabupaten Pesawaran, Lampung. Sebelum tahun 2007 Gedong Tataan masuk wilayah Kabupaten Lampung Selatan.

Saksi hidup di tahun 1984 sempat bertemu dengan penulis. Ketika itu ada penugasan ke Lampung yang didukung oleh, waktu itu Departemen Kehakiman. Ketika wawancara dengan Menteri Kehakiman (Menkeh), waktu itu alm. Ismail Saleh, tentang pembinaan narapidana (Napi) di lembaga pemasyarakatan (Lapas) Pak Menteri mengatakan sebaiknya berkunjung dulu ke beberapa Lapas baru wawancara. Salah satu yang direkomendasikan Ditjen PAS adalah Lapas Bandar Lampung.

Selepas kegiatan di Lapas penulis mencari warga yang dibawa Belanda dari Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah (Jateng), ke Lampung. Ketika itu di sebuah desa di Gedong Tataan tinggal satu warga yang masih hidup. Dia ingat betul tahun kebarangkatan dari Jawa yaitu tahun 1905 sehingga ketika bertemu penulis umur laki-laki itu 85 tahun.

Ketika berangkat dia mengaku berumur sekitar enam tahun, “Saya masih pakai celana pendek,” kata laki-laki itu. Mereka berasal dari sebuah desa di Jateng dan akhirnya jadi petani di Gedong Tataan. Setiap akhir bulan mereka selalu ingin pulang ke Jawa. Barang-barang sudah dikemas, tapi malam hari setelah terima upah ada hiburan, seperti ronggeng, judi, dll. Uang yang diterima pun habis. Begitu berulang akhirnya mereka membatalkan niat untuk balik ke Jawa.

Pola inilah kemudian yang dipakai pemerintah Orde Baru (Orba). Sebelumnya pemerintah Indonesia melanjutkan kolonisasi yang dimulai Belanda dengan nama yang disebut nasionalis yaitu transmigrasi. Transmigran pertama adalah 155 keluarga dari Desa Bagelan, Kedu, Jateng, ke Gedong Tataan, pada tanggal 12 Desember 1950. Inilah awal program transmigrasi yang dijalankan pemerintah Indonesia.

Istilah transmigrasi pertama kali disebut oleh Bung Karno pada tahun 1927 yang dimuat di Harian Soeloeh Indonesia. Selanjutnya 16 tahun kemudian, tepatnya tanggal 3 Februari 1946, Bung Hatta, ketika itu wakil presiden, mengatakan transmigrasi penting untuk mendukung industraliasi di luar Palau Jawa. Ketika itu ada Rapat Panitia Siasat Ekonomi.

Masa Orba program transmigrasi digencarkan dengan tujuan Palau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Jika pemerintah kolonial Belanda melakukan kolonisasi untuk pertanian, transmigrasi di masa Orba bagian dari pemerataan penduduk, mengurangi kemiskinan di daerah padat, dan menyediakan tenaga kerja di luar Jawa serta mendorong perubahan pola bercocok tanam. 

Di luar Jawa hanya panen sekali setahun. Lahan dibiarkan. Dengan kedatangan transmigran diharapkan petani di luar Jawa memanfaatkan lahan persawahan untuk palawija setelah panen.

Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014 sampai tahun 2016 sudah dibentuk 23 kawasan transmigrasi yang terbesar di beberapa pulau. Sebelum ditetapkan sebagai kawasan transmigrasi terlebih dahulu ditetapkan 48 Kota Terpadu Mandiri (KTM) yang merupakan embrio dari kawasan transmigrasi.

Program transmigrasi menghasilkan dua ibu kota provinsi baru yang merupakan pengembagan dari kawasan transmigrasi yaitu Mamuju sebagai ibu kota Provisi Sulawesi Barat (Sulbar) dan Bulungan sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Barat (Kaltara). Selain itu 104 permukiman transmigrasi jadi ibukota kabupaten/ kota, serta 385 permukiman transmigrasi jadi ibukota kecamatan. Permukiman transmigrasi pun menghasilkan 3.055 desa baru, dari jumlah ini 1.183 sudah jadi desa definitif yang diakui pemerintah.

Persoalan yang muncul adalah friksi sosial karena pola pergaulan transmigran yang cair berhadapan dengan pola kehidupan warga lokal yang terikat dengan norma dan agama. Di beberapa daerah ada penolakan terhadap transmigran.

Salah satu dampak buruk kehadiran transmigran adalah perubahan pola makan yang semula masyarakat lokal makan dengan makanan lokal, seperti jagung, umbi-umbian dan sagu. Tapi, karena transmigran membawa beras, maka pola makan warga lokal pun berubah ke nasi. Celakanya, daerah mereka tidak menghasilkan padi sehingga beras pun ‘diimpor’ dari daerah penghasil padi.

Di Maluku masyarakat terbiasa makan sagu, atau di pedalaman Papua warga memakan umbi-umbian. Kedatangan transmigran pun mengubah pola makan warga ke nasi dengan meninggalkan sagu dan umbi-umbian. Di wilayah pegunungan Papua terjadi beberapa kali kelangkaan beras. Celakanya, warga tidak lagi menanam umbi-umbian karena ada beras. Bisanya, warga pegunungan Papua mencabut umbi dan menanam kembali sehingga tidak pernah putus.

Perlu diperhatikan agar kehadiran transmigran tidak mengubah pola hidup masyarakat lokal yang menggantungkan hidup ke hasil sektor pertanian yang mereka jalankan dengan kearifan lokal (dari berbagai sumber). []

Berita terkait
Transmigran Sleman Dapat Lahan 2 Ha dan Rp 75 Juta
Sebanyak 10 KK asal Sleman ikut program transmigrasi ke Bulungan, Kaltara. Mereka diberi modal berupa lahan 2 hektare dan Rp 75 juta.
Bosan Kerja Ojol Warga Malang Pilih Jadi Transmigran
Lima keluarga asal Malang sudah diberangkatkan ke Kalimantan Utara (Kaltara) sebagai transmigran oleh Disnaker Malang.
19 Tahun Transmigran di Tasikmalaya Hidup Miskin
19 tahun warga transmigran di Tasikmalaya masih hidup di garis kemiskinan.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.