Tolak Kenaikan Pajak 11 Persen, CISA: Publik Tak Puas Kinerja Ekonomi Pemerintah Kuartal III

CISA kembali merilis survei yang menunjukkan kondisi ekonomi publik kuartal III, hasilnya publik tidak puas terhadap kinerja ekonomi pemerintah.
Direktur Eksekutif CISA Herry Mendrofa. (Foto: Tagar/CISA)

Jakarta - Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) kembali merilis Survei Nasional yang bertajuk Outlook Ekonomi Indonesia dalam Persepsi Publik. Melalui survei yang menyasar 800 responden secara proporsional di 34 Provinsi dengan menggunakan metode Simple Random Sampling.

Metode ini berhasil memotret kondisi ekonomi publik kuartal III dan menjelang kuartal IV dari pandangan masyarakat. Hasilnya Mayoritas publik tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam bidang Ekonomi.

“Sekitar 57,63 persen publik tidak Puas terhadap kinerja ekonomi dari Pemerintah sedangkan yang Puas sebesar 40,12 persen serta terdapat 2,25 persen yang tidak menjawab dan tidak tahu,” ucap Herry Mendrofa, Direktur Eksekutif CISA melalui keterangan persnya pada Rabu, 13 Oktober 2021. 

Menurut Herry dari Survei yang Margin of Errornya (MoE) yang mencapai 3,5 persen ini di 95 persen tingkat kepercayaan tersebut mengurai bahwa masih tingginya kasus Korupsi, Kemiskinan dan Pengangguran juga meningkat hingga Menteri bidang Ekonomi di Kabinet Indonesia Maju harus diresuffle mendominasi alasan publik untuk tidak puas terhadap kinerja pemerintah di bidang tersebut.


Sekitar 57,63 persen publik tidak Puas terhadap kinerja ekonomi dari Pemerintah sedangkan yang Puas sebesar 40,12 persen serta terdapat 2,25 persen yang tidak menjawab dan tidak tahu.


“Ada 21,9 persen publik melihat masih tingginya kasus Korupsi, 19,96 persen soal Kemiskinan dan Pengangguran juga meningkat, 19,31 persen publik menginginkan Menteri bidang Ekonomi segera diresuffle,18 persen pendapatan usaha dan 12,36 persen pendapatan keluarga yang cenderung menurun saat pandemi Covid-19 menjadi beberapa alasan fundamental menguatnya ketidakpuasan terhadap kinerja Pemerintah kuartal III ini,” ucap Herry.

Lebih lanjut Herry menyebutkan bahwa faktor kepuasan publik terhadap kinerja ekonomi Pemerintah dilatarbelakangi oleh Kinerja Menteri dan Kepemimpinan Jokowi yang dianggap optimal dan cenderung stabil.

“Kepuasan publik sebenarnya muncul karena optimalisasi kinerja Menteri di bidang Ekonomi dan Kepemimpinan Jokowi yang dinilai masih stabil ditengah-tengah tekanan pandemi Covid-19,” katanya.

Selain itu dalam survei yang dilakukan dari 7-10 Oktober 2021 ini menyatakan masyarakat juga merespons rencana Pemerintah yang akan menaikkan secara bertahap pajak menjadi 11-12 persen pada tahun 2022.

“Terdapat 77,37 persen publik menolak rencana kenaikan pajak di tahun 2022 praktis yang setuju hanya 10,13 persen dan 12,5 persen tidak memberikan jawaban atau tidak tahu soal kebijakan Pemerintah tersebut,” ujarnya.

Herry pun membeberkan bahwa beragamnya alasan publik menolak rencana kenaikan pajak didasarkan pada kemungkinan terhambatnya pemulihan Ekonomi, Kesejahteraan, Kemiskinan dan Pengangguran meningkat hingga rentan dikorupsi.

“Penolakan ini didasari pada implikasi minor yang akan disebabkan oleh kenaikan pajak seperti 28,75 persen menghambat pemulihan Ekonomi, 18,42 persen menurunkan Tingkat Kesejahteraan, 16,32 persen berpotensi meningkatkan angka Kemiskinan dan Pengangguran, 13,25 persen rentan dikorupsi, 9,05 persen belum Urgensi dan masih dalam kondisi pandemi Covid 19 sebesar 6,94 persen. Beberapa hal inilah yang memicu ketidaksetujuan publik,” ucapnya.

Kendati demikian, ia mengatakan bahwa masyarakat setuju dengan rencana ini karena akan mendukung akselerasi peningkatan Kesejahteraan, pemulihan Ekonomi, efektifitas dan efisiensi kinerja pemerintah hingga dukungan publik terhadap pembangunan nasional.

“16,05 persen menyebutkan alasan kuat untuk mendukung kenaikan pajak guna mengakselerasikan peningkatan Kesejahteraan, 13,58 persen untuk pemulihan Ekonomi, 9,88 persen dalam rangka efisiensi dan efektifitas terhadap produktifitas kinerja Pemerintah serta kepatuhan warga negara 3,7 persen,” kata Herry.

Namun, masyarakat pun enggan memberikan jawaban karena menganggap kebijakan Pemerintah itu belum tersosialisasi dengan masif serta merasakan Burn-Out dengan preferensi kebijakan ekonomi pemerintah selama ini.

“Umumnya mereka tidak menjawab atau tidak tahu karena belum menerima informasi kenaikan pajak secara lengkap, tidak mau ikut campur dan burn-out dengan pilihan kebijakan ekonomi dari pemerintah serta tidak memedulikan isu ini,” ujar Herry.

Sementara itu, disaat kondisi sekarang ini justru masyarakat menilai bahwa Pemerintah harus mengambil kebijakan prioritas karena dianggap ideal, urgensi serta relevan dengan konstelasi nasional.

“Sebanyak 15,88 persen publik mendorong pemerintah segera melakukan pemberantasan korupsi secara meluas, 12,86 persen memulihkan ekonomi nasional, 12,63 persen melaksanakan resuffle kabinet, 11,38 persen untuk menguatkan penegakkan Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta 10,88 persen memperbaiki Kesejahteraan Sosial,” ucapnya. []

Berita terkait
Stafsus Jokowi: Perekonomian Indonesia Kuartal 3 Membaik
Staf Khusus (Stafsus) Presiden Joko Widodo Bidang Ekonomi, Arif Budimanta menilai ekonomi Indonesia kuartal 3 membaik meski ada resesi.
Menperin Optimistis Ekonomi Bangkit di Kuartal 3
Sektor manufaktur dan industri pengolahan masih menjadi kontributor utama perekonomian nasional di tengah tekanan pertumbuhan yang berlajut
Imbas PSBB, Sri Mulyani: Ekonomi Kuartal III Negatif
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi perekonomian Tanah Air pada kuartal III 2020 masih berada di zona negatif.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.