Tanggulangi AIDS Jadi PR Menkes Kabinet Jokowi Jilid II

Kasus HIV/AIDS baru terus terdeteksi di Indonesia, tapi tidak ada program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Ini jadi tugas Menkes baru.
Ilustrasi (Sumber: rappler.com)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Pemerintah mengakui epidemi HIV/AIDS ada di Indonesia sejak tahun 1987. Tepatnya, ketika seorang turis bule WN Belanda EGH, 44 tahun, yang meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, pada tanggal 5 April 1987 karena penyakit terkait AIDS. Inilah yang dipakai pemerintah sebagai awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia.

Celakanya, biar pun sudah ada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada warga tapi banyak kalangan dari berbagai pihak yang mengabaikan epidemi HIV/AIDS di Indonesia. Tidak ada kaitan langsung antara EGH dengan epidemi HIV/AIDS di Indonesia karena sudah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada penduduk, tapi tidak diakui oleh pemerintah.

Dari tahun ke tahun kasus-kasus HIV/AIDS baru terdeteksi di beberapa daerah di Indonesia. Ini terjadi karena sejak tahun 1986 Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) merekomendasi reagent yang dipakai untuk tes HIV.

Data terakhir yang dilaporkan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 27 Agustus 2019, menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 1987 – 30 Juni 2019 adalah 466,859 yang terdiri atas 349,882 HIV dan 116,977 AIDS. Kasus ini tersebar di 34 provinsi.

Estimasi kasus kumulatif HIV/AIDS sebanyak 640.443 tapi yang terdeteksi baru 349.882 (60,7%). Itu artinya ada 290.561 (39,3%) kasus HIV/AIDS di masyarakat yang tidak terdeteksi. Jika kasus ini tidak terdeteksi, maka warga yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Warga pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

Menteri kesehatan di Kabinet Kerja Jilid II punya tugas berat yaitu membuat program yang riil untuk mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS yang tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar hak asasi manusia (HAM).

Program yang ada saat ini adalah anjuran tes HIV kepada ibu-ibu hamil dan PICT (provider initiated testing and counseling) yaitu inisiatif petugas kesehatan menganjurkan pasien untuk tes HIV dengan konseling berdasarkan diagnosis penyakit pasien.

Kelemahan tes HIV kepada ibu hamil adalah suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi HIV-positif tidak diwajibkan melakukan tes HIV. Akibatnya, suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Selain itu tes HIV kepada ibu hamil hanya anjuran atau opsi sehingga tidak ada kewajiban. Ini bisa saja membuat ibu-ibu hamil menolak tes HIV.

Untuk itulah diperlukan regulasi yang mempunyai kekuatan hukum, seperti peraturan daerah (Perda), agar tes HIV diwajibkan kepada ibu hamil dengan langkah pertama konseling pasangan (suami-istri). Jika istri HIV-positif, maka suami juga wajib tes HIV. Agar tidak melawan hukum dan melanggar HAM kewajiban ditujukan kepada ibu hamil yang berobat ke sarana kesehatan pemerintah.

Persoalan lain adalah jumlah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Kasus infeksi HIV baru Indonesia setiap tahun 46.000 (aidsdatahub.org). Jumlah ini menambah kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.

Untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual perlu langkah konkret berupa intervensi dengan mewajibkan laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini hanya bisa dilakukan jika transaksi seks dengan PSK dilokalisir. Celakanya, sejak reformasi semua lokalisasi pelacuran ditutup.

Itu artinya menteri kesehatan baru harus merancang mekanisme yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat. Jika tidak ada program konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV/AIDS baru dan mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat, maka akan terjadi ‘ledakan AIDS’ di Indonesia. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di tagar.id

Berita terkait
LSL Dikaitkan dengan AIDS Bisa Suburkan Homofobia
Pemberitaan tentang HIV/AIDS yang dikait-kaitkan dengan LSL menggiring opini publik yang menyesatkan karena terkesan HIV/AIDS disebarkan LSL
Kenapa AIDS di Pekanbaru Banyak pada Ibu Rumah Tangga?
Dalam berita “Dinkes Pekanbaru Deteksi 176 Kasus Baru HIV/AIDS” di “Tagar.id”, 30 September 2019, ada beberapa pernyataan yang tidak akurat
Penyebaran HIV/AIDS Tertinggi di 10 Provinsi
Jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di seluruh Indonesia baru separuh dari jumlah kasus berdasarkan estimasi tahun 2016
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.