Taliban Bujuk Teknokrat Tidak Tinggalkan Afghanistan

Taliban berhasil rebut Kabul dan akhirnya menguasai Afghanistan, tapi kewalahan mengelola perekonomian yang berantakan
Pasar barang bekas di Kabul, Afghanistan (Foto: dw.com/id)

Jakarta - Taliban memang berhasil merebut Ibu Kota Kabul dan akhirnya menguasai Afghanistan, tetapi kewalahan mengelola perekonomian yang berantakan. Mereka berusaha membujuk para teknokrat untuk menjalankan perekonomian.

Dalam 20 tahun terakhir sejak pemerintahan Taliban dulu tumbang, Afghanistan sudah berkembang menjadi perekonomian dengan pasar bernilai miliaran dolar, sebagian besar dibiayai dari bantuan internasional. Para teknokrat didikan barat lalu menjalankan institusi-institusi keuangan.

Namun, sejak Taliban kembali merebut kekuasaan pertengahan Agustus lalu, kegiatan perekonomian praktis terhenti. Bank-bank berhenti beroperasi karena kehabisan uang tunai, harga-harga barang, dan bahan bakar melonjak drastis karena produksi dan impor barang dari negara tetangga juga terhenti. Situasi makin parah karena sebagian besar negara Barat menghentikan bantuannya.

Menyadari kekurangannya, Taliban berusaha membujuk para teknokrat agar tidak meninggalkan negara itu dan turut membantu menstabilkan ekonomi. Para ahli dan tenaga profesional keuangan menceritakan kepada kantor berita Associated Press (AP), Taliban memerintahkan birokrat dan pegawai Kementerian Keuangan dari pemerintahan sebelumnya untuk kembali bekerja, terutama di bank sentral dan bank lainnya milik negara.

"Mereka mengatakan, 'Kami bukan ahli, sedangkan Anda tahu apa yang lebih baik untuk negara'," kenang seorang pejabat bank sentral yang tidak ingin namanya disebut. Taliban mengatakan kepadanya, "Lakukan apa yang harus kamu lakukan," sambil memperingatkan, "Tuhan yang mengawasimu, dan kamu akan bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan pada Hari Penghakiman."

Anggota Taliban berjaga di pasar Kabul AfghanistanAnggota Taliban berjaga di pasar Kabul, Afghanistan (Foto: dw.com/id)

1. Tidak Cukup Uang untuk Menyediakan Bahan Pokok

Pada 2019, total pengeluaran pemerintah tercatat hampir $11 miliar. Menurut para teknokrat yang sekarang menasihati kepemimpinan Taliban, pendapatan domestik seluruhnya sekarang hanya sekitar 500 juta hingga 700 juta dolar, tidak akan cukup untuk membayar gaji pegawai publik atau menyediakan barang-barang kebutuhan dasar maupun jawa pelayanan publik yang esensial.

PBB memperkirakan, 95% dari populasi Afghanistan akan menderita kelaparan musim dingin ini dan 97% penduduknya berisiko jatuh di bawah garis kemiskinan. Di Kementerian Keuangan dan bank sentral, agenda rapat hampir setiap hari berkisar pada pengadaan bahan pokok seperti tepung, dalam upaya untuk menangkal kelaparan.

Pemerintahan Taliban juga berusaha memusatkan pengumpulan bea cukai dan menemukan sumber pendapatan baru di tengah situasi serba kekurangan. Harga bahan bakar dan listrik belakangan naik 80% listrik dan 40% kebutuhan gandum harus diimpor.

Tempat penukaran uang di pasar Kabu, AfghanistanTempat penukaran uang di pasar Kabul, Afghanistan (Foto: dw.com/id)

2. Pegawai Negeri dan Pekerja Publik Belum Terima Gaji

Kekecewaan dan rasa frustasi para teknokrat cukup besar. Lorong-lorong di gedung kementerian yang dulu ramai dengan karyawan kini sepi. Sebagian pekerja hanya muncul sekali atau dua kali seminggu, tidak ada yang digaji. Sebuah departemen yang dulu mengurus hubungan dengan negara dan lembaga donor pernah memiliki 250 pegawai dan menangani hingga 40 negara, sekarang pegawainya hanya tinggal 50 orang. Tidak ada perempuan.

Mulai banyak yang semakin jengkel dengan kepemimpinan Taliban. "Mereka tidak mengerti masalahnya," kata seorang pejabat kementerian. "Kami dulu memiliki ekonomi senilai 9 miliar dolar yang beputar, sekarang kami memiliki kurang dari 1 miliar dolar." Namun, dia cepat memaklumi situasinya. "Mengapa saya mengharapkan mereka untuk memahami kebijakan moneter internasional? Mereka adalah pejuang gerilya dengan seluruh jiwanya."

Pejabat pemerintah, guru sekolah, dan pegawai negeri hingga kini belum menerima gaji, sejak Taliban mengambil alih dua sampai tiga bulan lalu. Kebanyakan mereka sekarang menjual barang-barang rumah tangga atau menumpuk utang pada tetangga dan kerabatnya demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Banyak yang berharap untuk bisa meninggalkan Afghanistan. Seorang pejabat bank sentral mengatakan, dia sedang menunggu surat suaka untuk pergi ke negara Barat. "Jika surat itu datang, saya pasti akan pergi. Saya tidak akan pernah bekerja untuk Taliban lagi," ujarnya [hp/ha (AP)]/dw.com/id. []

Iklim Buruk, Ribuan Warga Afghanistan Eksodus dan Nikahkan Anaknya Demi Uang

Palang Merah Siap Hadapi Eksodus Pengungsi Afghanistan

Eks Pimpinan Ulama Nasional Afghanistan Ditangkap Taliban

Afghanistan Terancam Jatuh ke Krisis Kemanusiaan

Berita terkait
Anak-anak Afghanistan Terjebak Lingkaran Setan Kecanduan Narkoba
Di Povinsi Badakhshan saja diperkirakan ada 25.000 hingga 30.000 pecandu narkoba, kecanduan cenderung membelenggu dalam keluarga
0
Pemerintah Bentuk Satgas Penanganan PMK pada Hewan Ternak
Pemerintah akan bentuk Satgas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) untuk menanggulangi PMK yang serang hewan ternak di Indonesia