Tak Ada Hutan Negara di Tanah Batak

Hukum adat Batak memiliki kearifan lokal dalam hal kepemilikan tanah.
Prof Bungaran Antonius Simanjuntak (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)

Medan - Hukum adat Batak memiliki kearifan lokal dalam hal kepemilikan tanah. Aturan itu sudah diterapkan secara turun-terumurun, dari generasi ke generasi.

Namun peraturan pemerintah mengenai agraria mulai menghapus hukum adat itu. Akibatnya, tanah yang dulunya dikuasai oleh masyarakat berpindah tangan ke pihak lain.

Hal itu dikatakan Prof Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS) saat menyinggung kaitan kearifan lokal dengan ekspansi industri di kawasan Tanah Batak.

Menurut Guru Besar Emeritus dari Universitas Negeri Medan itu, ada kearifan lokal Batak yang diabaikan dalam program pembangunan tersebut, yaitu sistem kepemilikan tanah.

Prof BAS mengatakan, bila dilihat dari aturan hukum adat Batak, maka tak ada hutan negara di Tanah Batak, yang ada Tanah Adat.

Dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 disebutkan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

"Memang disebutkan bumi dan air dikuasai negara, tapi itu adalah untuk melindungi hutan rakyat dari kekuasaan asing, bukan memiliki tapi melindungi. Itu bedanya. Tapi, departemen kehutanan, pertanian, menganggap kalau mereka kasih bibit, disuruh rakyat menaman, maka tanah yang ditanami pinus itu akan tanah negara, tidak bisa," kata BAS, baru-baru ini.

Mereka buat Perda, pengakuan hukum adat, masyarakat adat dan hukum adatnya

Adanya tujuh hukum tata ruang Batak, mendasari argumen BAS itu.

"Ada tujuh hukum tata ruang Batak, itu asli. Yang pertama ialah Huta (kampung), itulah pusat (center) kepemilikan tanah di Tanah Batak. Tanah Huta, tata ruang pertama ialah jumpa bulu, yaitu sejauh mana bambu yang tumbuh di atas arik, jomba ke luar, itulah Tanah Huta. Sampai ke situ, itu adalah milik Huta," kata penulis buku "Orang-Orang yang Dipaksa Kalah" itu.

Huta di HumbahasSalah satu perkampungan Batak di Bakara, Kabupaten Humbang Hasundutan. (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)

Ke dua, jelasnya, Parhaisan Ni Manuk, sejauh mana ayam mencari makanan itu masih Tanah Huta.

Ke tiga, Pangugian Ni Babi, sejauh mana babi pergi dari kampung untuk pergi mencari makan, itu masih merupakan Tanah Huta.

Ke empat, Parmahanan (tempat mengangon kerbau). Artinya, sejauh mana ternak makan rumput yang dipelihara oleh penduduk kampung, itu masih Tanah Huta.

Ke lima, Parsobanan (tempat mencari kayu bakar), itu berkilometer jauhnya, tempat warga kampung mencari kayu bakar.

Ke enam, Tombak, di kawasan hutan tempat warga kampung menaman haminjon (pohon kemenyan).

Ke tujuh, Harangan, tempat untuk mengambil kayu besar, peti mati, kayu untuk membuat rumah.

"Itu sampai ke puncak gunung. Seperti harangan di kampung kami di Sipahutar, sampai ke puncak gunung, dari Bukit Barisan kelihatan Tanjungbalai," katanya.

Berdasarkan hukum tata ruang tersebut, maka semua kampung di Tanah Batak memiliki tanah. "Jadi mana tanah negara? Tidak ada," katanya.

Menerapkan kembali hukum tata ruang sesuai hukum adat Batak, kata BAS, merupakan salah solusi mengembalikan tanah yang saat ini sebagian sudah dikuasai asing, bahkan pemerintah.

"Di Batak sudah ada, namun belum semua. Kabupaten Humbang Hasundutan sudah. Mereka buat Perda, pengakuan hukum adat, masyarakat adat dan hukum adatnya," katanya.

Namun, belum semua kabupaten bisa menerapkan itu, karena masih sering terganjal di DPR. "Di situ kadang masih susahnya," tukasnya. []

Berita terkait
Adam Malik dan Enam Tokoh Batak di Kemerdekaan
Kemerdekaan Republik Indonesia diperjuangkan dengan jiwa dan raga pahlawan. Pada masa revolusi, Indonesia pernah dipimpin oleh orang batak.
Yetty Aritonang, Diaspora Batak di Prancis
Wanita yang fasih berbahasa Batak ini mengaku bangga bisa memperkenalkan budayanya pada dunia, khususnya di Prancis.
Ephorus HKBP: Anak Sekarang, Malu Sebagai Orang Batak
Menurutnya, ada banyak anak sekarang yang tidak tahu budaya Batak, tidak tahu berbahasa Batak.