Untuk Indonesia

Subsidi BBM yang Menguras APBN

Subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) sudah ada sejak era Orde Baru (Orba) yang terus berlanjut ke era reformasi yang terus bebani APBN
SPBU Pertamina. (Foto: Tagar/MyPertamina)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

“Di masa Orba (Orde Baru-pen.) lebih enak. Semua murah.” Inilah yang sering saya dengar ketika ada wacana atau rencana pemerintah menaikkan harga komoditas dan bahan bakar minyak (BBM) atau barang dan jasa lain-lain pasca Orba.

Celakanya, mereka tidak mengetahui harga-harga itu murah karena disubsidi dengan memakai uang pinjaman (baca: utang) ke berbagai sumber di luar negeri.

Di masa itu semua disubsidi yang terus berlanjut di masa reformasi. Satu demi satu subsidi mulai dikurangi dan dihapus yang membuat gejolak harga. Akibatnya, pemerintah jadi sasaran caci-maki dan sumpah serapah.

Padahal, banyak di antara yang menikmati subsidi itu tidak membayar pajak. Bahkan, tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Semoga dengan menjadikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) jadi NPWP tidak ada lagi warga negara yang menikmati fasilitas yang dibangun dengan pajak. Di banyak negara roda pemerintah justru ditopang oleh pajak bukan hasil ekspor, apalagi ekspor bahan baku atau bahan mentah.

Salah satu subsidi yang berskala besar adalah subsidi untuk BBM. Celakanya, subsidi yang sejatinya untuk membantu rakyat kecil, tapi justru dinikmati orang berada dengan mengisi tanki BBM mobil-mobil mewah mereka dengan BBM bersubsidi.

Kalau dahulu subsisi BBM dimaksudkan untuk mendorong roda perekonomian melalui transportasi, maka tentulah BBM yang disubsidi adalah BBM untuk angkutan publik dan barang, terutama hasil komoditas.

Tapi, langkah itu bisa saja salah sasaran karena mobil mewah pun bisa memakai BBM yang disubsidi tersebut.

subsidi bbm lpg dan listrikGrafik: Subsisi BBM, LPG dan Listrik. (Sumber: transisienergi.id)

Betapa besar pengeluaran negara untuk subsidi BBM yang sebagian besar justru tidak dinikmati masyarakat miskin.

BBM jenis pertalite harganya Rp 7.650/liter, sedangkan harga yang ekonomis Rp 13.150/liter. Harga Pertamax atau RON 92 Rp 12.500/liter, sedangkan harga ekonomis Rp 15.150/liter. Selisih harga inilah yang membuat pemerintah tahun 2022 ini harus menggelontorkan dana untuk subsidi BBM sebesar Rp 502,4 triliun.

Kalau saja sejak Orde Baru subsidi BBM dialihkan untuk membangun infrastruktur, sepeti jalan raya, jalur kereta api (KA), dan jalur pelayaran tentulah mobilitas warga dan komoditas akan lebih baik dan mengurangi pemamakaian BBM untuk transportasi pribadi.

Salah satu kelemahan Indonesia adalah sarana transportasi publik yang sangat kecil. Hampir tidak ada penambahan jalur KA selain yang ditinggalkan Kolonial Belanda. Bahkan, beberapa jalur KA yang dibangun Belanda, waktu itu untuk mendukung angkutan komoditas, justru dimatikan di zaman kemerdekaan.

Di banyak negara, tidak usah jauh-jauh ke Eropa di Singapura, Malaysia dan Thailand, misalnya, angkutan publik, yaitu kereta listrik (MRT/mass rapid transit semacam KRL/kereta rel listrik di Jakarta) dan LRT/light rail train), jadi andalan warga. Sedangkan di kota-kota lain di Indonesia warga mengandalkan angkutan umum (angkot) dan kendaraan pribadi yaitu mobil dan motor.

Tidak jelas mengapa Indonesia tidak mengembangkan sarana transportasi publik sejak dulu, sebaliknya justru membuka pintu lebar-lebar untuk investasi di sektor pabrik mobil. Celakanya, untuk menjalankan mobil-mobil yang diproduksi pabrikan asing itu pemerintah mengeluarkan uang dari APBN dalam bentuk subsisi BBM.

Di Indonesia, terutama di Jakarta, pembicaraan hanya tentang mengatasi kemacetan. Yang perlu diingat adalah tidak ada kota besar di dunia yang tidak mengalami kemacetan lalu lintas.

Tapi, pemerintah setempat menyediakan angkutan publik yang bebas macet yaitu MRT dan LRT serta transportasi publik (semacam busway di Jakarta).

Di Jakarta dan kota-kota besar lain sarana angkutan publik sangat terbatas. Jaringan KRL yang ada sekarang tidak connect dengan busway sehingga memerlukan moda transpor lain yang akhirnya membebani warga lagi.

Di kota-kota besar dunia jaringan tranportasi publik, MRT, LRT dan busway saling bersinggungan dan jalurnya melewati pusat-pusat pemerintahan dan perdagangan sehingga turun dari staisun MRT dan LRT serta shelter busway tinggal jalan kaki.

Di Indonesia selain angkutan tidak saling bersinggungan, sarana jalan kaki (trotoar) pun tidak memadai. Hanya di jalan protokol trotoar yang layak dan aman, sedangkan di jalan lingkungan bahkan tidak ada trotoar.

jaringan krlJaringan KRL Jabodetabek dan Rangkasbitung. (Sumber: Twitter KAI Commuter @CommuterLine)

Sejak PT KAI melalui PT Kereta Commuter Indonesia mengembangkan sayap jalur KRL kalangan buruh, karyawan, pelajar dan mahasiswa sangat terbantu.

Jaringan KRL sekarang sudah sampai ke Rangkasbitung dan Tangerang (Banten) di Barat, Bogor (Jabar) di Selatan serta ke Bekasi sampai Cikarang (Jabar) di Timur.

Dengan memperpanjang jalur KRL di Timur sampai ke Karawang dan Purwakarta akan mengurangi kepadatan jalan raya, termasuk jalan tol. Begitu juga dengan jalur ke Barat jaringan KRL diperpanjang sampai ke Serang dan Merak.

Stasiun di sepanjang jalur KRL jadi kantong-kantong parker mobil dan motor. Warga sudah memperhitungkan biaya kalau naik mobil atau motor dibandingkan dengan naik KRL.

Biaya parker di stasiun ditambah ongkos KRL masih jauh lebih murah daripada biaya naik mobil atau motor serta biaya parkir di tempat kerja di Jakarta. Hanya saja di Jakarta mereka masih harus naik moda angkutan lain yang sekarang banyak yang dilayani GoJek dan Grab. *

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
DPR Minta Pemerintah Harus Awasi Anggaran Subsidi yang Terus Membengkak
Dalam pengantar RAPBN 2023, pemerintah menganggarkan dana subsidi sebesar Rp502 triliun anggaran subsidi digunakan untuk menyubsidi sektor energi.
0
Subsidi BBM yang Menguras APBN
Subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) sudah ada sejak era Orde Baru (Orba) yang terus berlanjut ke era reformasi yang terus bebani APBN