Suara Tembakan Sebelum Korban Pelanggaran HAM Pingsan

Dalam hati Murtala bertanya-tanya, ada kejadian apa di tempat itu. Jantungnya berdegup kencang. Kisah korban pelanggaran HAM di Aceh.
Ilustrasi - Mahasiswa tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Fakultas Hukum (Ormawa FH) Universitas Malikussaleh, di Aceh, Senin, 9 Desember 2019, mendesak Presiden Jokowi dan Komnas HAM menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Aceh dan daerah lain di Indonesia. (Foto: Antara/Rahmad)

Aceh - Murtala, 42 tahun, baru saja selesai menunaikan ibadah salat Zuhur di rumah rekannya, di dekat simpang KKA, Desa Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, tiba-tiba suara letusan senjata terdengar.

Sebelum salat Zuhur, Murtala menghadiri kenduri di kediaman rekannya. Ia berniat berbelanja di Pasar Krueng Geukuh sebelum pulang ke rumah. Tapi, saat itu ia melihat massa berkumpul di depan Kantor Camat Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.

Dalam hati Murtala bertanya-tanya, ada kejadian apa di tempat itu. Jantungnya berdegup kencang. Ia merasa takut melihat suasana di tempat itu. Kemudian ia memutuskan mengurungkan niatnya berbelanja.

Murtala memilih bergegas pulang ke rumah. Setiba di rumah, Murtala berpesan kepada istrinya agar tidak pergi ke mana-mana dan tetap di dalam rumah. Murtala kembali keluar. Ia mencari tahu hal yang terjadi.

Ia tiba di Simpang KKA, bertepatan dengan suara azan Zuhur yang berkumandang. Kondisi jalanan macet total karena kerumunan massa di sana. Murtala pun pergi ke rumah rekannya untuk menunaikan salat.

“Waktu itu azan sudah berkumandang, saya salat dulu, kemudian saya berkumpul lagi dengan warga lain karena masih penasaran kejadian apa sebenarnya. Tiba-tiba terdengar suara letusan senjata,” ujar Murtala mengenang kejadian 3 Mei 1999. Tagar mewawancarainya di Aceh, 14 Desember 2020.

Raut wajah pria yang mengaku korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), itu menyiratkan kesedihan mendalam saat mengisahkan kejadian tersebut. Suaranya terdengar lantang namun menyimpan geram.

Setelah keluar dari rumah sakit, saya sangat mengalami trauma dan selama enam bulan saya tidak keluar dari rumah.

MurtalaMurtala, korban pelanggaran HAM di Aceh. (Foto: Dok Pribadi/Tagar/Agam Khalilullah)

Dari sudut salah satu warung kopi di Kabupaten Aceh Utara, Murtala melanjutkan kisah yang tidak akan dilupakannya.

Waktu Murtala berlari menjauh dari suara tembakan, untuk menyelamatkan diri, desing suara peluru masih terdengar. Ia terus mencoba menjauh saat tiba-tiba popor senapan mendarat di dadanya.

Hantaman popor senapan membuat Murtala terjatuh di tanah. Belum juga sempat ia berdiri, tubuhnya kembali terjungkal, ia diinjak-injak.

Murtala masih sadar saat para penginjak-injak itu mengangkat tubuhnya dan melemparkannya ke dalam truk. Tapi tubuhnya kembali terjatuh dari truk sesaat setelah dilempar.

Kejadian itu yang terakhir diingat Murtala, sebab, setelah jatuh dari truk, ia sama sekali tidak merasakan apa pun. Murtala pingsan.

Saat sadar dari pingsannya, Murtala sudah terbaring di ranjang Rumah Sakit Umum (RSU) Lhokseumawe, yang sekarang berubah nama menjadi Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (RS PMI).

Pascakejadian tersebut, Murtala mengaku ia mengalami trauma selama 6 bulan. Ia bahkan tidak berani keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah.

“Setelah keluar dari rumah sakit, saya sangat mengalami trauma dan selama enam bulan saya tidak keluar dari rumah, kadang untuk pergi kerja saya juga mengalami rasa ketakutan,” kenangnya.

Harapan pada Pemerintah

Trauma atas kejadian itu, membuatnya menaruh secercah harapan pada pemerintah, agar menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Ia juga meminta adanya perhatian kepada setiap keluarga yang menjadi korban.

Murtala menilai, saat ini pemenuhan hak untuk para korban belum dilakukan. Padahal setiap tahun, pada 10 Desember, selalu diperingati sebagai hari HAM sedunia.

Selain perhatian pada korban dan keluarga, Murtala menilai perlu dibangun tugu atau monumen di tempat-tempat terjadinya pelanggaran HAM, agar nantinya generasi muda, khususnya di Aceh bisa mengetahui peristiwa yang terjadi di masa lalu.

“Pemulihan dini kepada korban pelanggaran HAM masih belum sama sekali dilakukan oleh pemerintah, padahal ini sangat penting karena masih ada korban yang mengalami trauma hingga sekarang,” katanya.

Sementara itu, akademisi Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya, mengatakan, ada dua hal yang harus diperhatikan di Aceh, yaitu bagaimana melihat perkembangan pengungkapan kasus pelanggaran HAM dan sejarah dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.

Menurutnya, jika melihat fakta yang ada saat ini, belum ada kabar gembira terkait kedua hal tersebut, karena masih banyak kasus pelanggaran HAM belum diselesaikan dengan benar.

Begitu juga dengan mekanisme rekonsiliasi. Kata dia, tidak boleh menepikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Jika hal tersebut ditepikan, akan ada unsur melupakan apa yang terjadi di masa lalu.

“Apabila melupakan kasus pelanggaran HAM, maka melupakan dengan paksa atas sejarah yang terjadi di masa lalu, maka itu juga sebagai bentuk pelanggaran HAM. Sejarah yang terjadi di masa lalu tidak boleh dilupakan,” kata Kemal.

Kemal bahkan menilai, hingga saat ini belum ada niat dari pihak terkait untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh. Ada kecenderungan para pihak berusaha melupakan kasus masa lalu dan tentunya hal tersebut tidak sehat.

Apabila dipaksakan untuk melupakan, proses perdamaian Aceh dan proses demokrasi menjadi tidak baik, meskipun ia menyebut ada proses memaafkan, tetapi bukan berarti melupakan kasus itu. 

“Dilihat dari kondisi sekarang, kasus pelanggaran HAM Aceh sangat sulit diungkap. Begitu juga dengan lembaga KKR masih belum maksimal dan apa yang mereka lakukan belum menjadi seperti harapan publik," kata Kemal.

Data KontraS

Berdasarkan data yang diperoleh Tagar dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada sekitar 5.000 nyawa hilang di Aceh saat DOM mencengkeram Tanah Rencong.

Bukan hanya itu, sekitar 1.000 orang diduga telah dibantai dan 375 orang lainnya hilang, dibunuh, diperkosa, dan disiksa.

Catatan KontraS menyebutkan sepanjang 1976 hingga 2005 telah terjadi 204 kasus penghilangan paksa. Namun, data tersebut perlu dikaji kembali, karena ada referensi lain yang menyebutkan hampir sekitar 1000-an lebih orang yang menjadi korban penghilangan secara paksa pada saat konflik Aceh.

Data lain adalah saat lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang diketuai Baharuddin Lopa melakukan pendataan kasus pelanggaran HAM saat DOM berlaku di Aceh.

Dalam catatannya ada sekitar 781 orang tewas, 163 orang hilang, 368 orang dianiaya, janda akibat suaminya meninggal atau hilang diperkirakan ada 3.000 orang, serta lebih dari 20.000 ribu anak menjadi yatim.

Belum lagi menyoal 98 unit bangunan dibakar, serta 102 wanita mengalami perkosaan. Sebuah catatan kelam yang amat sulit dilupakan warga Tanah Rencong.

Begitu juga dengan kasus besar lain seperti tragedi Simpang KKA, Koalisi NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam peristiwa itu. Tujuh dari korban tewas adalah anak-anak.

Peristiwa lain yang sangat miris adalah Tragedi Jambo Keupok, Aceh Selatan pada 17 Mei 2003, kala itu ada 16 penduduk setempat ditembak, dibunuh di luar proses hukum (extrajudicial killing) dan pembakaran serta 5 orang lain mengalami kekerasan. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Qudratullah, Dosen Muda Berprestasi, Lajang Ganteng dari Bantaeng
Di bawah pucuk-pucuk pinus dan kabut tipis bumi perkemahan Trans Muntea, Desa Bonto Lojong, Kecamatan Ulu Ere, Kabupaten Bantaeng.
Sejarah Makam Raja Pehobi Sabung Ayam di Jeneponto
Ratusan batu nisan yang disebut pajjerakkang berjejer di area kompleks pemakaman Raja Binamu, di Kecamatan Bontoramba, Kabupaten Jeneponto.
Ratu Harum Sari, Jawara Banten Masa Kini
Puluhan anak menirukan gerakan silat yang diajarkan pelatih mereka, Ratu Harum Sari, 40 tahun, di Kampung Rumbut, Desa Kaduagung, Lebak, Banten.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.