Oleh: Ki Darmaningtyas
Pada saat Nadiem Makarim diangkat menjadi Mendikbud pada 20 Oktober 2019 lalu, guyonan di masyarakat muncul: nanti sekolah pakai Gojek, makan pakai Gofood, dan bayar SPP pakai GoPay. Guyonan itu sekarang ternyata menjadi kenyataan, bukan hanya guyonan lagi. Padahal kita juga tidak tahu persis maksud pembuat meme dulu. Murni bercanda saja atau bercanda karena khawatir.
Memang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim tidak mengarahkan atau bahkan membuat kebijakan agar pembayaran SPP/uang kuliah harus dilakukan melalui GoPay atau tepatnya GoBills. Tapi ketika Mendikbud Nadiem menyatakan bahwa “pembayaran SPP/uang kuliah dapat dilakukan melalui GoPay” itu pasti akan memiliki implikasi ekonomis, politik dan sosial yang luas karena semua warga Indonesia dewasa tahu bahwa Nadiem Makarim adalah pendiri GoJek yang memiliki produk pembayaran bernama GoPay/GoBills.
Jadi, meskipun itu hanya pernyataan opsional, tetap sah untuk dipersoalkan. Apalagi pengelolaan pendidikan itu sudah diotonomikan ke kabupaten/kota dan provinsi, ngapain Menteri Nadiem perlu menyatakan hal seperti itu? Itu semestinya urusan teknis yang menjadi domain sekolah/kampus disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing. Kalau di wilayahnya sinyal HP saja susah, masak mau pakai non tunai apalagi GoPay/GoBills?
Tapi besaran cash back itu tidak tetap, makin ke belakang, prosentase cash back makin kecil. Cash back besar itu hanya di awal untuk promosi saja
Pembayaran SPP lewat GoPay/GoBills sebetulnya sih sah-sah saja asalkan bukan keharusan, apalagi kewajiban karena itu memberikan pilihan yang lebih banyak kepada masyarakat untuk memilih model-model pembayaran SPP/uang sekolah sesuai dengan tingkat ekonomi dan kesibukan mereka masing-masing.
Kalau teknologi informasi di wilayahnya tidak ada problem lagi, saldo di bank cukup, dan punya akun GoJek, sah-sah bayar SPP lewat GoPay/GoBills. Tapi kalau di wilayahnya sinyal HP saja tidak ada, kantor bank juga tidak ada, maka pembayaran tunai adalah yang paling realistis.
Jadi soal bayar SPP/uang kuliah pakai GoPay/GoBills itu bukan masalah sejauh teknologinya mendukung dan sifatnya hanya pilihan individu, bukan keharusan/wajib. Sebab kalau sudah keharusan atau wajib, saya pasti akan menolak keras karena itu jelas konflik kepentingan antara jabatan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud dengan korporasinya GoJek yang memiliki produk GoPay/GoBills. Namun kalau hanya pilihan saja (opsional) sah-sah saja karena sebagian masyarakat saat ini sudah mempergunakan GoPay/GoBills sebagai alat pembayaran.
Saya sendiri, sampai sekarang belum ingin mempergunakan sistem pembayaran non tunai, termasuk GoPay dan OVO karena saya memiliki kesadaran ideologis tentang siapa yang akan diuntungkan dengan mempergunakan sistem pembayaran non tunai tersebut.
Para driver online sendiri lebih suka menerima pembayaran tunai karena uangnya dapat langsung dibelanjakan. Demikian pula pengemudi taxi plat kuning lebih suka menerima pembayaran tunai karena selalu ada kelebihan dan uangnya juga dapat dipergunakan pada hari itu juga. Kalau pembayaran non tunai memerlukan waktu 2-3 hari untuk pencairannya.
Pembayaran SPP lewat Gopay juga tidak berarti lebih simple dibandingkan e-banking. Kalau sama-sama tersedia saldo yang cukup di rekening, pembayaran lewat e-banking jauh lebih simple dibandingkan lewat GoPay/GoBills. Kalau sama-sama tidak tersedia saldo di bank, pembayaran SPP lewat GoPay/GoBills justru jauh lebih ribet, apalagi bagi ibu-ibu yang tidak punya akun GoJek, mereka harus daftar akun GoJek terlebih dulu baru bisa bayar via GoPay/GoBills.
Barangkali salah satu keuntungan bayar lewat GoPay/GoBills adalah soal cash back-nya saja. Tapi besaran cash back itu tidak tetap, makin ke belakang, prosentase cash back makin kecil. Cash back besar itu hanya di awal untuk promosi saja.[]
Ki Darmaningtyas, Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta