Sosiolog UGM Tanggapi Kasus Hubungan Intim Ayah Taqy Malik

Pakar Sosiolog UGM Soeprapto, menanggapi kasus pemaksaan hubungan intim yang dilakukan Ayah Taqy Malik kepada sang istri Marlina Octoria.
Ayah Taqy Malik. (Foto: Tagar/Instagram/fatihmalik_)

Jakarta - Pakar Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Soeprapto, menanggapi kasus pemaksaan hubungan intim yang dilakukan Ayah Taqy Malik, Mansyardin Malik, kepada sang istri. 

Ia setuju dengan pernyataan Ketua Komnas Perempuan bahwa pemaksaan hubungan intim yang dialami oleh Marlina Octoria, merupakan kategori tindakan pemerkosaan dalam perkawinan atau marital rape.

“Banyak kasus seorang istri atau sebaliknya menolak untuk melakukan kewajiban sebagai pasangan hanya karena letih atau waktu yang tak tepat, harus dipahami bahwa kasus tersebut bukan kategori marital rape," ujar Soeprapto ketika di wawancara di kanal YouTube Tagar TV, Selasa, 14 September 2021.


Pemaksaan hubungan seksual termasuk caranya sekalipun telah menjadi pasangan suami istri adalah tindak kekerasan seksual.


SoepraptoSoeprapto saat diwawancarai Cory Olivia di kanal YouTube Tagar TV. (Foto: Tagar/Putri)

"Tetapi, kalau kasus yang dialami oleh Marlina, bahwa permintaannya melalui anal atau saat datang bulan (menstruasi) tentunya itu termasuk aktivitas seks yang tidak wajar, kalau seperti itu saya setuju jika dikatakan itu (kasus Marlina) termasuk kategori marital rape, apalagi bila adanya pemaksaan,” ucapnya.

Marital rape atau pemerkosaan perkawinan atau perkosaan pasangan ialah tindakan hubungan seksual dengan pasangan tanpa persetujuan pasangan. 

Kurangnya persetujuan adalah elemen penting dan tidak perlu melibatkan kekerasan fisik. Perkosaan dalam pernikahan dianggap sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual.

Mengutip dari Femina, Kristi Poerwandari, psikolog dari Yayasan Pulih, lembaga non profit yang berfokus pada pemulihan dari trauma dan penguatan psikososial bagi masyarakat menganalogikan, hidup bersama pasangan yang melakukan marital rape, seperti setiap hari bekerja sama dengan partner kerja (misal di kantor), yang tidak menghormati kita, bersikap menuntut (tidak saling mendukung timbal balik).

“Kemungkinannya kita tertekan dan tidak bahagia. Apalagi ketika harus memiliki pasangan hidup yang tidak matang, sibuk dengan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, bersikap kurang menghormati, dan sebagainya. Jadinya, perkawinan dan kehidupan seksual dalam perkawinan bukan hal yang membahagiakan, tetapi malahan menjadi sumber stres,” ujar psikolog asal Universitas Indonesia itu.

Sebelumnya Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan apa yang dialami Marlina bisa dikategorikan marital rape atau pemerkosaan dalam perkawinan.

"Pemaksaan hubungan seksual, termasuk caranya, sekalipun telah menjadi pasangan suami istri adalah tindak kekerasan seksual," kata Andy, Senin, 13 September 2021.

Andy menanggapi konferensi pers yang dilakukan Marlina dan tim pengacaranya. Marlina menunjukkan hasil visum yang menunjukkan ada kekerasan fisik yang diakibatkan dari pemaksaan hubungan seksual itu.

(Putri Fatimah)

Berita terkait
Menteri PPPA Minta Media Tak Siarkan Glorifikasi Pelecehan Seksual
Kemen PPPA meminta setiap media termasuk media penyiaran tidak melakukan glorifikasi terhadap pelaku pelecehan seksual meskipun ia seorang artis.
KPI Bebas Tugaskan 8 Terduga Pelaku Pelecehan Seksual
Pemecatan bisa terjadi jika delapan pegawai tersebut terbukti bersalah berdasarkan keputusan hukum.
Korban Pelecehan Seksual di KPI Alami Gangguan Psikis
MS harus menjawab sekitar 10-12 pertanyaan saat menjalani pemeriksaan. Kuasa hukum belum dapat menyampaikan hasil pemeriksaan psikis MS.
0
Massa SPK Minta Anies dan Bank DKI Diperiksa Soal Formula E
Mereka menggelar aksi teaterikal dengan menyeret pelaku korupsi bertopeng tikus dan difasilitasi karpet merah didepan KPK.