Siti Jamiah Detik-detik Ketika Bumi Berguncang di Palu

Siti Jamiah menceritakan detik-detik ketika bumi berguncang di Palu, berawal dari anaknya berusia 4 tahun yang rewel seperti pertanda.
Seorang warga berkomunikasi dengan sanak saudaranya yang menjadi korban gempa dan tsunami di Hotel Roa Roa, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (30/9/2018). Berdasarkan data BNPB jumlah korban akibat gempa dan tsunami per (30/9) pukul 13.00 sebanyak 832 orang meninggal dunia, 540 luka berat dan 16.732 pengungsi yang tersebar di 24 titik. (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)

Palu, Sulteng, (Tagar 1/10/2018) - Siti Jamiah (30) seorang pengungsi, korban gempa yang beruntung, bisa selamat dari musibah yang melanda Kota Palu dan sekitarnya pada Jumat (28/9) jelang magrib saat itu.

Perempuan berasal dari Pulau Kabaena Kabupaten Bombana, Sultra, ini dilansir Antara hampir tidak percaya dan tidak pernah menyangka akan menjadi saksi langsung kejadian alam maha dahsyat tersebut yang memporak-porandakan Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).

Saat ini Siti bersama sekitar 40 orang sedang berada satu titik pengungsi, yakni di Desa Tinggede perbatasan Kota Palu dan Kabupaten Sigi.

Mereka sangat membutuhkan bantuan terutama tenda dan air bersih, karena kalau malam kadang hujan. Sedangkan untuk air bersih, susah sekali didapat.

Nomor kontak Siti Jamiah diketahui melalui Grup WA Anak Moronene (Anmor) yang merupakan grup khusus anak-anak Moronene dari Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Saat melihat komentar di grup WA Anmor tersebut, Minggu, bahwa ia adalah korban gempa di Palu dan saat ini sedang mengungsi, maka penulis langsung menghubungi kontaknya.

Meskipun agak susah tembus karena jaringan di Palu belum pulih baik, tetapi usaha untuk menelponnya berhasil dan meminta kesediannya untuk bercerita sedikit terkait yang dialaminya.

Kepada penulis, Siti agak canggung untuk mengingat dan menceritakan yang ia saksikan dan alami kala gempa mengguncang Palu saat itu, tetapi demi berbagi informasi kepada publik untuk mengtahui sekelumit rasa yang dialami saat itu.

"Ngeri kalau saya ingat, dan agak susah saya ceritakan. Saat itu saya janjian dengan keluarga dari Kendari datang ke Palu untuk menyaksikan kegiatan yang sedang ada di sini. Kami janjian ketemu di Swiss Bell Hotel di dekat anjungan kegiatan di pesisir pantai yang menjadi daerah diterjang tsunami," katanya.

Namun saat itu katanya, anak semata wayangnya bernama Andi Talita Khaira (4) rewel, tidak mau pergi jauh-jauh dan meminta untuk pergi ke rumah adik mertuanya. Sehingga Siti membatalkan untuk menemui keluarga dari Kendari tersebut dan memilih mengantar anaknya pergi di keluarga mertuanya tesebut.

"Mungkin itu tanda-tanda alam, kenapa ini anak saya rewel sekali dan meminta pergi sama neneknya atau adik mertuaku. Akhirnya saya bawa ke sana menjelang magrib. Kalau saya pergi ke pesisir pasti saya kena tsunami," katanya.

Jelang magrib, Siti kemudian masuk kamar kecil untuk buang air dan untuk bersiap salat magrib, saat itulah tiba-tiba bumi bergetar, bergoyang, ia pun sampai beberapa kali terjatuh dan terpental karena goyangan gempa itu.

Ia panik, berteriak mencari dan memanggil anaknya yang sedang berada di lantai bawah karena ia berada di lantai dua di rumah itu. Ia terjatuh, dan bangun lagi mencari anaknya karena semua orang sudah menyelamatkan diri masing-masing untuk keluar rumah.

Ia kemudian mendapatkan anaknya yang juga dalam keadaan terjatuh dalam rumah karena guncangan itu, dan langsung membawa ke luar rumah, karena takut rumah itu akan rubuh. Tetapi sampai selesai getaran gempa, rumah itu tidak rubuh, hanya beberapa rumah di sekitar yang rubuh.

Parahnya lagi, kata Siti, karena lampu seluruh kota Palu langsung padam, ditambah lagi dengan jaringan sudah tidak bisa diakses.

"Dalam kondisi gelap kami tidak bisa berbuat apa-apa. Saya kontak suami saya yang berada di Luwuk tidak bisa karena jaringan tidak ada, demikian juga keluarga di Kabaena Bombana Sultra tidak bisa tersambung. Kami tidak tahu lagi kejadian di luar seperti apa. Bahkan, orang di luar Kota Palu lebih mengetahui keadaan Palu saat itu daripada kami," katanya.

Ia mengaku, keluarga dekatnya semua selamat, karena memang tidak berada di daerah pesisir yang dilanda tsunami. Meski jauh dari pesisir tetapi saat ini mereka di tempat pengungsian. Kemudian sebagian dari pengungsi itu pergi mencari keberadaan sanak keluarga yang berada di pesisir.

"Alhamdulillah, saya sudah sampaikan informasi kepada semua keluarga yang ada di Sulawesi Tenggara, suami saya juga sedang dalam perjalanan dari Banggai ke Palu. Kami sangat butuh tenda dan air bersih saat ini di pengungsian," katanya.

Bencana alam yang terjadi di Palu dan Donggala, merupakan keprihatinan bagi umat manusia, karena banyak yang meninggal dunia maupun luka-luka. []

Berita terkait