Sisi Mistis Jalur Pendakian Cibodas, Gunung Gede Pangrango

Namun di balik eksotisnya, merebak pula kisah-kisah mistis.
Alun-alun Surya Kencana di Gunung Gede, Jawa Barat. (Foto: Instagram/Wahyu_Noris)

Jakarta, (Tagar, 19/1/2019) - Jalur pendakian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango via Cibodas, Jawa Barat, menjadi salah satu trek favorit pendaki karena lanskapnya yang menawan.

Di sana para pendaki akan melintasi beberapa destinasi wisata menarik seperti Telaga Biru, Rawa Gayonggong, Air Terjun Cibeureum dan Air Panas.

Namun di balik eksotisnya jalur pendakian tersebut, merebak pula kisah-kisah mistis yang pernah dialami secara nyata oleh para pendaki yang pernah melintasi jalur Cibodas saat malam hari.

24 Desember 2016, saat hari mulai gelap dan langit tak henti-hentinya menumpahkan air hujan, Andri Wijayanto tengah berjalan berdua dengan kawannya turun dengan raut bahagia dari atap Gunung Pangrango, Jabar.

Dengan langkah gontai serta kondisi tubuh tak lagi prima terkikis letih, Andri mesti berkejaran dengan waktu, untuk setidaknya melewati Air Panas sebelum matahari sirna.

Menurutnya, lokasi tersebut pertama, rawan kecelakaan karena jalurnya sangat sempit dan adanya jurang curam. Kedua, karena ia pria berkacamata, maka uap air yang ditimbulkan akan mengganggu jarak pandang. Ketiga, karena perbekalan logistik yang ia bawa tak lagi memadai.

"Sekitar jam 6 sore saya sudah lewatin spot air panas yang airnya ngga bisa diminum karena ngandung belerang. Saya turun terus tanpa bekal air. Palingan minta air sama pendaki lain juga, yang penting buat basahin tenggorokan aja," katanya kepada Tagar News.

Lalu, di Pos Panyancangan, ia mengaku melihat sosok wanita cilik yang mengenakan gaun putih dan mengajaknya untuk naik kembali ke area hutan dekat air panas.

"Mas, teman saya hilang di atas. Tolong dong, tolong mas, anterin saya ke atas mas, teman saya hilang," Andri mengisahkan.

Namun, ia menolak ajakan tersebut dengan mengarahkan anak kecil bergaun putih itu untuk meminta bantuan ke pendaki lainnya yang tengah beristirahat di Pos Panyancangan.

"Saya gak tau itu saya halusinasi karena hipotermia dan belum makan, apa gimana. Yang jelas masa ada anak kecil sendirian di dalam hutan sih. Mungkin kalo saya ikutin dia, malah saya yang ilang ditelan hutan," paparnya.

Andri bersama Rendy kembali melanjutkan perjalanan, berpijak tanpa henti hingga tiba di Rawa Gayonggong. Di jembatan beton ukir itu ia mengaku perjalanannya hanya diputar-putar selama tiga kali. Dia berdua hanya berjalan balik lagi-balik lagi ke lokasi yang sama selama 1 jam menapak jejak turun ke Pos Cibodas. Padahal, nyatanya jembatan Rawa Gayonggong hanya memiliki panjang 500 meter.

Sesekali, ia juga mendengar  'shalawatan' dari toa masjid sekitar dan melihat remang lampu rumah penduduk dari balik jendela hutan, namun nyatanya ia hanya berputar di jalan yang sama, yang ia sudah lintasi selama tiga kali.

"Ini saya diputar-putar mungkin. Saya sama Rendy sama-sama paham. Kita sepakat berdua, nanti deh cerita mistis-nya pas nyampe bawah. Ada juga momen di mana Rendy pura-pura iket tali sepatu. Kami berdua merasakan hal yang sama beberapa kali, seperti banyak orang melintas di trek. Agaknya pendaki itu berpakaian putih gemblok tas asal lewat aja ngga negur sapa. Saya gak berani liat muka pendaki-pendaki itu," jelas Andri.

"Tak.. Tuk.. Tak.. Tuk.. Suara itu gemuruh ada di hutan yang gelap. Saya berhenti, Rendy juga berhenti jongkok ikat tali sepatu. Padahal saya senter ke arah belakang itu hutan kosong sepi melompong. Orang cuman kita berdua yang lagi jalan. Tapi suara gemuruh itu justru makin dekat datengin kita. Sepintas pas saya buang muka ke kiri ya rada keliatan ada pasukan kain putih pada lewatin kita turun ke arah bawah," sambungnya.

Dengan kondisi perut keroncongan, ia bersepakat dengan Rendy untuk berjalan lebih cepat lagi agar, makin cepat juga ketemu Pos Cibodas untuk mengisi tenaga lagi dengan asupan makanan. Selama 2 jam perjalanan akhirnya ia tiba di pintu masuk, sekaligus pintu keluar bagi pendaki yang turun dari Gunung Gede maupun Gunung Pangrango.

"Akhirnya tiba juga di pos, saya takut kuku kaki saya lepas aja karena kaki saya lembab, ujan gak berenti-berenti. Treknya gaib beneran. Di Telaga Biru saya ditawarin kopi oleh pendaki, tapi Rendy ngga liat ada orang di situ cuman saya yang liat. Rendy ajak saya jalan terus, dan untung saja saya masih selamat, meskipun saya yakin saya memang diganggu oleh makhluk gaib," kenang Andri.

Menurut kesaksian Kosasih (38), pengelola warung jajanan di lokasi area Cibodas, hal-hal gaib itu sudah biasa diceritakan oleh pendaki. Bahkan, menurutnya, ada pendaki yang hilang hanya karena menerima ajakan dari pendaki yang tak nyata untuk mencari temannya yang hilang di lokasi Telaga Biru.

"Mangkannya itu, saya sarankan agar mendaki pas kondisi terang. Kalau malam mah, ya memang kan Anda juga lagi berkunjung namanya juga kan. Berkunjung ke hutan tanpa area rumah penduduk. Ya, baiknya berlaku sopan aja lah. Karena kita tau kan gaib itu, percaya gak percaya memang ada," jelasnya saat dihubungi Tagar News melalui sambungan telepon, Sabtu (19/1).

Menurut dia, halusinasi yang dialami para pendaki juga dapat terjadi lantaran terkena kondisi hipotermia dan perut kosong. Jadi baiknya, kata Kosasih, mendaki terbaik adalah dalam kondisi badan fit dan prima, juga dengan perbekalan logistik yang lengkap.

"Jangan sampai nanjak dalam perut kosong atuh kasep. Bahaya, nanti kalau capek bisa pingsan di jalan, kesurupan, atau sampai melihat yang tidak-tidak. Ya, namanya juga bertamu, mesti sopan dimanapun kita berada kan tidak boleh lancang," pungkasnya.

Berita terkait
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.