Untuk Indonesia

Setelah Sabuk Desrizal Pengacara Tomy Winata Menghajar Hakim

Ada apa di balik tindakan brutal Desrizal Chaniago pengacara Tomy Winata menghajar Hakim Sunarso? Tulisan opini L.R. Baskoro.
Ilustrasi. (Foto: Pixabay/Succo)

Oleh: L.R. Baskoro

Organisasi advokat semestinya cepat mengambil tindakan tegas atas penganiayaan yang dilakukan pengacara Desrizal Chaniago terhadap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sunarso.Tindakan Desrizal tidak saja mencoreng dunia peradilan, tapi terlebih dunia advokat itu sendiri: officium nobile, profesi yang mulia dan terhormat.

Desrizal melakukan penganiayaan terhadap Sunarso kala hakim tersebut, Kamis lalu, membacakan putusan kasus gugatan pengusaha Tomy Winata terhadap PT Geria Wijaya Prestige. Dalam perkara ini, Desrizal mewakili pengusaha yang popular dengan sebutan “TW” itu. Tomy menggugat Geria 31 juta dolar AS karena perusahaan ini dinilai wanprestasi.

Saat pembacaan putusan menginjak bagian petitum –hal yang diminta penggugat untuk dikabulkan hakim- Desrizal bangkit dari kursinya. Ia melepas sabuknya, menuju kursi hakim dan menyabetkan pendingnya ke Sunarso. Ruang sidang heboh. 

Sehari setelah peristiwa yang bisa jadi baru pertama kali dalam sejarah peradilan Indonesia tersebut, Sunarso melaporkan penganiayaan tersebut ke polisi. Polisi menetapkan Desrizal sebagai tersangka. Ia terancam hukuman dua tahun penjara, melakukan penganiayaan terhadap pejabat negara seperti diatur Pasal 212 KUHP dan 351 KUHP.

Tomy Winata telah meminta maaf atas kelakuan pengacaranya. Tapi, yang patut kita sesalkan, organisasi advokat lambat merespon tindakan yang dilakukan Desrizal. Dalam era digital berita dengan cepat, dalam hitungan detik, menyebar ke seluruh penjuru bumi, kita tak mendengar apa respons organisasi advokat atas tindakan anggotanya saat itu. 

Komisi Yudisial harus segera turun tangan dan memeriksa kasus Desrizal ini. Betapa pun yang dilakukan Desrizal melanggar dan menghina peradilan, Komisi perlu mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya. Apakah ada sesuatu di baliknya.

Semestinya dalam hitungan menit atau jam, sama cepatnya dengan para wartawan “menaikkan” berita “Pengacara TW Sabet hakim,” organisasi advokat yang menaungi Desrizal memberi pernyataan, bahkan jika perlu, langsung menjatuhkan sanksi.

Sanksi tegas harus dijatuhkan kepada Desrizal. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana wajah peradilan kita, wajah ruang sidang kita, jika berisi pengacara-pengacara semacam ini. Para pengacara temperamental yang bertindak seakan-akan bukan kaum intelektual. Pengacara yang gampang menumpahkan kekesalannya -bukan melalui argumentasi hukum yang disediakan dalam tata beracara- tapi dengan otot, dengan emosi, dengan kemarahan membabi buta.

Organisasi pengacara –Peradi (Perhimpunan Pengacara Indonesia) atau KAI (Kongres Advokat Indonesia)- harus berkaca dari kasus ini. Adakah yang salah pada sistem seleksi dan penerimaan anggota mereka, sehingga menghasilkan pengacara-pengacara “berbahaya” di dalam ruang sidang seperti ini. 

Penganiayaan terhadap hakim di ruang sidang -yang jika mereka yang disebut “wakil Tuhan” itu masuk, siapa pun yang ada di dalam ruang sidang berdiri untuk menghormatinya- adalah tindakan tercela. Contempt of court, penghinaan terhadap pengadilan.

Kasus Desrizal menambah lembaran hitam “wajah buram” peradilan kita. Pada 1987 publik juga digemparkan dengan kasus pelemparan sepatu oleh Mimi Lidawati terhadap hakim Abdul Razak di Pengadilan Jakarta Pusat saat hakim itu mengetuk palu memutus menghukum lawannya, Nani, sepuluh bulan penjara. Mimi kesal karena, demikian pengakuannya, hakim tak menghukum berat Nani padahal ia telah memberi uang pada sang hakim.

Komisi Yudisial harus segera turun tangan dan memeriksa kasus Desrizal ini. Betapa pun yang dilakukan Desrizal melanggar dan menghina peradilan, Komisi perlu mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya. Apakah ada sesuatu di baliknya, sehingga pengacara itu begitu naik pitamnya, hilang nalar, dan lupa ia berada di ruang sidang. Lupa terhadap prinsip kebanggaan profesinya, officium nobile.

Komisi penjaga martabat hakim ini mesti memeriksa para hakim yang menangani kasus gugatan dengan nilai jumbo itu sehingga publik segera mendapat penjelasan seterang-terangnya atas kasus ini. Komisi, jika perlu, bekerja sama dengan Mahkamah Agung, menyelidiki jalannya peradilan kasus ini hingga pada titik terjadinya tindakan Desrizal yang menggemparkan tersebut. Kita ingin semuanya jelas, tanpa ada praduga apa pun.

*Penulis adalah Pengamat Hukum, Wartawan Senior

Baca juga:

Berita terkait
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu