Sepeda Kapolri Hoegeng Imam Santoso

Bursa kapolri pengganti Idham Azis mulai berdengung. Kita mendamba kapolri seperti Hoegeng Imam Santoso. Opini Lestantya R. Baskoro
Sepeda Hoegeng Santoso. (Foto: Tagar/Lestantya R. Baskoro)

SEPEDA Hoegeng Iman Santoso masih terawat baik. Di lantai dasar sebuah ruko yang dijadikan “Museum Hoegeng,” sepeda tersebut berbaur dengan sejumlah barang milik Hoegeng dan lukisan-lukisan karyanya. Saya memasuki ruang itu beberapa waktu lampau bersama salah seorang putri Hoegeng. “Dulu sejumlah orang ingin membeli lukisan bapak asal nggak ada namanya,” ujar putri Hoegeng tersebut di ruko yang terletak di sebuah perumahan di Depok, Jawa Barat.

Itulah masa-masa pahit mantan kepala Polri yang dikenal jujur dan sangat sederhana itu. Saat itu rezim Orde Baru memusuhi dan “mengkarantina” kelompok Petisi 50 yang mengkritisi Pemerintahan Soeharto. Bersama sejumlah mantan petinggi TNI, intelektual, dan tokoh masyarakat lainnya, antara lain Ali Sadikin, Hoegeng membentuk kelompok “Petisi 50.” 

Presiden Soeharto marah dan mengambil berbagai tindakan untuk “mengkerdilkan,” tak hanya kegiatan mereka, juga kehidupan pribadi para tokohnya. Hoegeng, misalnya, dilarang tampil menyanyi di acara TVRI, acara “Hawaian Senior” yang sempat menjadi acara favorit pemirsa TVRI –satu-satunya stasiun televisi saat itu. Sejumlah orang ingin membeli lukisan Hoegeng tapi khawatir nama di kanvas itu, nama atau tanda tangan  Hoegeng membawa masalah.

ia akan mengusir siapa pun yang coba-coba memberi hadiah kepadanya

Kejujuran, kesederhanaan, dan etos kerja Hoegeng telah menjadi legenda sejarah kepolisian Indonesia -sebuah institusi yang kini memiliki jargon membanggakan: “melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.” Legenda yang kerap menjelma juga menjadi sebuah guyonan sekaligus ironi. “Di Indonesia hanya ada tiga polisi yang tidak bisa disuap, yaitu, patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.”

Sebagai Kapolri (1968-1971) Hoegeng tak pernah puas hanya mendengar laporan anak buahnya. Ia kerap turun ke lapangan. Ia menyelidiki sendiri penyelundupan di Pelabuhan Tanjungpriuk, Jakarta Utara, dengan menyamar, menutupi kepalanya dengan wig. 

Sebagai polisi, ia kerap naik sepeda ke sana ke mari untuk mendatangi masyarakat. Suatu ketika, saat anaknya mendaftar menjadi taruna angkatan udara, anaknya -satu-satunya anak lelakinya- menyerahkan formulir untuk ditandatangani Hoegeng, selaku orangtua. 

Sampai hari terakhir penyerahan formulir, surat itu tak ditandatangani Hoegeng. Sang anak tidak diterima menjadi kadet AURI –dan tentu saja kecewa. Rupanya Hoegeng sengaja “menggagalkan” anaknya dengan cara tidak menandatangani surat itu. “Jika saya tandatangani dan diterima, siapa pun akan berpendapat, kamu diterima karena faktor bapakmu,” demikian Hoegeng menjelaskan. Pernah saya bertemu dengan anak lelakinya itu dan belakangan kakaknya yang perempuan,  yang kemudian mendirikan “Museum Hoegeng” itu. “Itulah bapak...disiplin, dan tepat waktu,” ujarnya .

Demikian sederhanya Hoegeng -ia akan mengusir siapa pun yang coba-coba memberi hadiah kepadanya- sehingga saat pensiun sebagai kapolri ia tak punya rumah, juga mobil. Satu-satunya mobil yang dipakai adalah mobil dinas kepolisian yang tentu saja mesti ia kembalikan. Tapi, rupanya di akhir jabatannya, sejumlah sahabatnya diam-diam membeli mobil itu dan menghadiahkan ke Hoegeng.

Kini bursa calon pengganti Kapolri Jenderal Idham Azis, mulai ramai dimunculkan. Sejumlah orang mulai melemparkan opini, membanding-bandingkan siapa sosok paling pas pengganti Idham enam bulan lagi. Sejumlah faktor ditimbang-timbang: dari soal kedaerahan, kedekatan pribadi dan hubungan dengan presiden, hingga yang berbau sara.

Hal yang biasa tapi tak esensi. Tak ada yang mengupas detail dan gamblang bagaimana prestasi dan kehidupan -gaya hidup mereka- sehari-hari. Semestinya kita memilih sosok yang berintegritas, sederhana, dan tak cacat perjalanan karirnya. Sosok yang etos kerjanya tak diragukan, seorang calon kapolri seperti Pak Hoegeng. []

Lestantya R. Baskoro, wartawan Tagar.


Berita terkait
Kompolnas Beberkan 9 Dasar Menilai Calon Kapolri
Kompolnas angkat bicara ketika berita soal isu agama dalam bursa calon kapolri muncul ke publik. Kompolnas mengklaim bersikap nondiskriminatif.
Bursa Kapolri, JW: Jangan Seperti Agus Andrianto
Jokowi Watch mengaku enggan memilih calon Kapolri bermasalah seperti Komjen Agus Andrianto. Agus dilaporkan ke KPK terkati dugaan gratifikasi.
Isu Agama Hambat Sigit Prabowo Jadi Calon Kapolri
Mantan ajudan Presiden Jokowi dijagokan menggantikan Kapolri Idham Aziz. Tapi isu agama mungkin akan menghambatnya.
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu