Untuk Indonesia

Sekolah Negeri Neraka Bagi Non Muslim

Yang terjadi di SD Karangtengah III Wonosari, Gunung Kidul, bukti nyata bahwa sekolah negeri adalah neraka bagi siswa non-muslim.
Ilustrasi sekolah dasar. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

Oleh: Bagas Pujilaksono Widyakanigara*

Indonesia adalah negara kebangsaan bukan negara agama. Toleransi dimaknai sebagai rasa saling menghormati dan saling percaya sesama anak bangsa dengan cara memberikan hak masing-masing dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Hal tersebut mesti disadari semua elemen bangsa sebagai komitmen luhur yang dikenal sebagai Pancasila dimana nilai-nilai universal manusia Indonesia yang beradab dan kultural ada di dalamnya.

Sekolah sebagai tempat mendidik anak bangsa mesti harus bebas dari segala bentuk paham radikal dan modus mendogma anak didik. Anak didik harus mempunyai kebebasan, terbuka pikirannya dan obyektif melihat masalah di sekitarnya. Tentu saja, toleransi dalam beragama tetap harus dijunjung tinggi sebagai bentuk penghormatan akan keberagaman bangsa Indonesia. Beragama secara kontekstual dan kultural akan membentuk budi pekerti anak didik.

Radikalisme yang baru saja terjadi di SD Karangtengah III, Wonosari, Gung Kidul adalah bukti nyata, bahwa sekolah negeri adalah neraka bagi siswa non-muslim.

Yogyakarta sebagai kota budaya dicoreng mukanya berulang kali dengan peristiwa-peristiwa radikal yang terus saja terjadi dan tak terbendung. Kata: tidak akan terulang lagi hanya isapan jempol keluar dari mulut pejabat publik yang amburadul pikiran dan moralnya. Dan sekaligus modus mencari pembenaran. Khilaf dan minta maaf adalah comberan klasik yang sangat menjijikkan yang selalu dimunculkan. Modus!

Radikalisme yang baru saja terjadi di SD Karangtengah III, Wonosari, Gunung Kidul adalah bukti nyata, bahwa sekolah negeri adalah neraka bagi siswa non-muslim. Aturan dan perilaku guru dan murid yang sangat diskriminatif adalah wujud nyata neraka di sekolah. Toleransi berubah makna menjadi perampasan hak hidup minoritas atas mayoritas demi memuaskan nafsu bejat sang mayoritas.

Bagaimana bisa sekolah negeri membuat aturan yang sangat diskriminatif yang mengeksklusifkan kelompok minoritas? Bagaimana seorang yang bejat moral bisa jadi kepala sekolah dan diberi kewenangan membuat aturan sekolah yang ujung-ujungnya hanya sebuah aturan yang bermakna teror bagi kelompok non-muslim? Ini sungguh biadab dan radikal.

Pertanyaan harus kembali dimunculkan: ini sekolah negeri atau sekolah keagamaan? Kalau sekolah negeri harus terbuka bagi siapa saja tanpa ada diskriminasi atas unsur-unsur SARA. Dan aturan sekolah harus bersifat umum yang merujuk aturan negara, yang mengakomodir siapa saja, bukan hanya yang mayoritas. Muslim dan non-muslim punya hak sama sekolah di sekolah negeri tanpa harus didiskriminasi dalam bentuk apa pun.

Radikalisme di sekolah adalah fenomena nyata yang sangat mengancam tegaknya Pancasila dan keutuhan NKRI.

Hal ini harus segera dihentikan dengan cara yang tegas dan tuntas melalui penegakan hukum. Jangan sampai manusia-manusia biadab dan radikal mengacak-acak kehidupan berbangsa dan bernegara.

Negara harus hadir.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Teknik, Sekolah Pascasarjana UGM

Baca berita terkait:

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.