Jakarta – Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memilih tanggal 26 Juni sebagai hari peduli korban penyiksaan internasional karena dua alasan.
Pertama, pada tanggal 26 Juni 1945, Piagam PBB ditandatangani sebagai instrument internasional pertama yang mewajibkan seluruh anggota PBB selalu menghormati dan memajukan hak asasi manusia.
Kedua, pada 26 Juni 1987, adalah hari diberlakukannya konvensi PBB menentang penyiksaan. Dengan adanya hari peduli korban penyiksaan ini adalah, sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang sudah mengalami kekerasan yang tidak pernah terbayangkan dalam hidup mereka.
Awalnya usulan adanya hari peduli korban penyiksaan internasional ini berasal dari Denmark yang merupakan rumah Dewan Rehabilitasi Korban Penyiksaan Internasional (DR KPI).
Perayaan hari peduli korban penyiksaan internasional ini pertama kali diselenggarakan pada 26 Juni 1998. Sejak saat itu, hampir 100 organisasi di berbagai negara memperingati perayaan tersebut. Dengan menggelar konferensi, lokakarya, unjuk rasa damai, dan acara kemanusiaan lainnya.
Setiap tahun DR KPI memonitori rencana kampanye organisasi di seluruh dunia dan menjelang akhir tahun menerbitkan laporan global 26, yang menggambarkan perkara yang diselenggarakan dalam memperingati hari tersebut.
Jauh dari peringatan tersebut, hampir di semua negara setiap tahun mendapatkan laporan kekerasan dan kriminal yang dilakukan berbagai kelompok ataupun perorangan.
Penyiksaan, merendahkan martabat manusia, praktik penangkapan dan penahanan sewenang-wenang memang bukan hal yang baru dan pelakunya bukan hanya dari kalangan masayarakat tapi juga dari kalangan pejabat pemerintah.
Atas dasar itu persoalan sangat berisiko tinggi, maka di setiap negara wajib melakukan perlindungan terhadap korban-korban penyiksaan. Sejak Majelis Umum PBB resmi mendeklarasikan hari peduli korban penyiksaan internasional, hampir semua negara menyambutnya dengan baik.
Tidak terkecuali Indonesia dengan menandatangani konferensi tersebut pada 23 Oktober 1985, dan meratifikasi anti penyiksaan dalam Undang-Undang No 5 tahun 1998.
(Selfiana)