Sarmedi Purba: Pemberlakuan Tanah Adat Hambat Pembangunan

Terjadi konflik kepemilikan lahan di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, yang melibatkan warga masyarakat adat dengan PT TPL.
Kericuhan di Huta Natinggir, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, antara warga dengan petugas PT TPL pada Jumat, 9 Oktober 2020. (Foto: Tagar/tangkapan layar Facebook)

Pematangsiantar - Konflik kepemilikan lahan di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, yang melibatkan warga masyarakat adat Natinggir dan PT Toba Pulp Lestari (TPL) baru terjadi dalam tahun ini.

Sebelumnya PT TPL yang memiliki lahan konsesi di sana dengan tanaman eukaliptusnya tidak pernah mengalami benturan dengan warga.

Hal itu diakui Camat Borbor, James Pasaribu saat dihubungi Tagar lewat sambungan telepon seluler, Sabtu, 10 Oktober 2020.

Menurut James, dirinya sudah lama bertugas di Kecamatan Borbor, di mana Huta Natinggir masuk dalam wilayah administrasinya. Konflik ini mendadak muncul.

"Saya sudah lama bertugas di sini, tapi baru kali ini ada kejadian seperti ini, tiba-tiba warga masyarakat adat berbenturan dengan TPL," kata James.

Berikut konflik yang kemudian terjadi antara PT TPL dan warga Huta Natinggir, kata James, pihaknya sudah memediasi pertemuan antara warga dengan PT TPL sebelumnya.

Dalam perkembangan berikutnya, pihak PT TPL sudah menawarkan solusi, yakni memberikan ruang tumpang sari kepada warga untuk bercocok tanam palawijaya di sela-sela lahan konsesi PT TPL.

"Namun warga tidak mau dan bersikukuh bahwa lahan merupakan ulayat adat mereka," terang James.

Kericuhan akhirnya pecah pada Jumat, 9 Oktober 2020 di lahan yang diklaim warga sebagai wilayah adatnya. Meski tidak terjadi kontak fisik, namun konflik itu diperkirakan akan berlanjut.

"Untuk itu kami akan memediasi lagi antara warga dengan pihak TPL pada Senin depan," kata James.

Sebelumnya Tagar memberitakan, beredarnya video di media sosial kericuhan antara warga di Kabupaten Toba, dengan puluhan petugas PT TPL.

Video berdurasi sekitar lima menit itu diunggah pemilik akun Facebook Rocky Pasaribu, dengan caption 'Intimidasi Dari PT TPL kepada Masy.Adat Natinggir' pada Jumat, 9 Oktober 2020.

Kericuhan terjadi di lahan, di mana warga dan pihak perusahaan saling klaim sebagai pemilik dan yang mengusahai.

Terjadi saling dorong antara warga petani setempat dengan petugas sekuriti yang mengenakan pakaian dinas lengkap.

Rocky Pasaribu yang dihubungi Sabtu, 10 Oktober 2020, menyebut kericuhan itu terjadi di lahan Masyarakat Adat Natinggir, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba.

Menurut dia, lahan tersebut merupakan bagian dari wilayah adat masyarakat kelompok marga Pasaribu. Namun oleh negara memberikan konsesi kepada PT TPL.

Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan masyarakat adat, terdapat luas wilayah mereka di sana 2.226 hektare. Dari luas itu negara memberikan konsesi seluas 2.100 hektare.

Sehingga tersisa hanya sekitar 100 hektare, yang merupakan permukiman warga, persawahan, makam leluhur dan lainnya.

Kericuhan terjadi di lahan seluas empat hektare. Sebelumnya PT TPL menanam pohon eukaliptus di lahan tersebut. Dua minggu lalu pohon-pohon tersebut ditebangi.

Karena lahan dalam posisi kosong dan warga merasa bahwa itu wilayah adatnya, mereka mencoba untuk melakukan penanaman di sana. Pihak PT TPL melarang karena menyebut itu sebagai lahan konsesi.

"Sempat Camat Borbor memfasilitasi pertemuan antara warga dan PT TPL. Di lahan ditetapkan posisi stanvas. Warga tidak boleh mengusahai lahan, begitu juga pihak TPL. Karena tidak ada solusi sejak dinyatakan stanvas, warga akhirnya mencoba mengusahai lahan. Namun petugas PT TPL turun dan menghalau warga," kata Rocky.

Yang penting jangan sampai istilah tanah adat itu dipropagandakan di Kabupaten Simalungun

Menurut Rocky, tidak ada bentrok fisik dalam kericuhan itu. Hanya terjadi saling dorong antara warga dan petugas PT TPL. Pasca kejadian, pihak PT TPL sudah kembali menanami eukaliptus di lahan empat hektare tersebut.

Warga kata dia, akan menyampaikan persoalan ini ke Pemkab Toba agar segera menerbitkan regulasi perlindungan masyarakat adat, termasuk untuk mengusahai lahan adat mereka.

dr Sarmedi Purba.Tokoh Simalungun, dr Sarmedi Purba (kanan). (Foto: Tagar/Facebook)

"Kelompok marga Pasaribu tengah konsolidasi untuk menentukan langkah-langkah berikutnya dalam perjuangan untuk mendapatkan lahan adat mereka kembali," kata Rocky.

Humas PT TPL Andri Hutabarat yang coba dihubungi terkait kericuhan tersebut, belum tersambung.

Sementara itu, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak dihubungi terpisah, mengecam sikap PT TPL yang dia nilai bertindak arogan.

"Mengutuk keras tindakan arogansi pihak PT TPL terhadap Masyarakat Adat Natinggir," kata Roganda, Sabtu, 10 Oktober 2020.

Roganda menyebut, atas kejadian ini seharusnya Pemkab Toba segera melakukan verifikasi keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Toba.

Di mana Huta Natinggir, lokasi insiden tersebut, merupakan salah satu pemohon agar keberadaan mereka dan wilayah adatnya ditetapkan oleh Bupati Toba.

"Setahu saya sudah ada enam komunitas masyarakat adat yang sudah mengusulkan kepada Pemkab Toba, yaitu Huta Matio, Simenahenak, Natumikka, Natinggir, Ombur, dan Motung," jelas Roganda.

Konflik di Simalungun 

Diketahui, konflik serupa antara PT TPL dengan masyarakat adat Sihaporas terjadi di Kabupaten Simalungun. Konflik itu sampai berujung pada pemidanaan sejumlah warga dan Humas PT TPL.

Menanggapi konflik lahan warga dengan korporasi ini, tokoh Kabupaten Simalungun, dr Sarmedi Purba mengatakan bahwa pemberlakuan tanah adat sebetulnya berpotensi menghambat pembangunan.

"Pendapat saya, pemberlakuan tanah adat menghambat pembangunan. Apalagi pada era UU Cipta Kerja 2020 ini. Artinya investor tidak berani masuk ke Tapanuli khususnya di empat kabupaten eks Kabupaten Taput dulu. Siapa yang rugi, kan rakyat," katanya.

Dia menyebut, Peraturan Daerah Tanah Adat sudah disahkan di Kabupaten Toba. Namun perda ini membutuhkan SK Bupati, untuk menegaskan yang mana tanah adat dan batas-batasnya. 

"Ini belum terbit pemilik hak adat sudah main hakim sendiri. Sedang TPL sudah mendapat konsesi dari pemerintah. Jadi kacau," katanya.

Untuk Kabupaten Simalungun sendiri, Sarmedi berharap tidak ada istilah tanah adat.

"Yang penting jangan sampai istilah tanah adat itu dipropagandakan di Kabupaten Simalungun. Karena semua di kabupaten ini tanah negara," katanya.

Disinggung soal masyarakat adat di Sihaporas, dia menyebut tanah yang diklaim sebagai tanah adat tersebut termasuk daerah Kerajaan Sidamanik dan sesudah merdeka menjadi tanah negara.

"Mereka dulu pendatang di Simalungun diundang Belanda buat sawah untuk kebutuhan beras buruh perkebunan. Mereka dulu penyewa dan harus bayar pajak kepada pemerintah Belanda. Sesudah Indonesia merdeka semua tanah kerajaan beralih ke tanah negara. Karena di Tapanuli tidak ada raja yang diakui pemerintah kolonial Belanda, timbullah istilah tanah adat itu yang sekarang diakui NKRI sebagai tanah adat melalui UU. Di daerah lain juga ada. Tetapi di DI Yogya pasti tidak ada," terang Sarmedi.[]



Berita terkait
Ricuh Kepemilikan Lahan Masyarakat Adat Toba dengan PT TPL
Beredar video di media sosial kericuhan antara warga petani di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, dengan puluhan petugas PT TPL.
Masyarakat Adat Sihaporas Demo di PN Simalungun
Masyarakat adat Sihaporas dan aliansi mahasiswa menggelar unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri (PN) Simalungun.
Pengakuan Masyarakat Adat di Toba Lewat Peraturan Daerah
Masyarakat adat di Kabupaten Toba, Sumut, patut bersyukur karena keberadaan mereka sudah dilegitimasi oleh pemerintah setempat lewat perda.