Saham BUMI Tiarap di Harga Rp 50, Utang Menumpuk

Harga saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) jatuh ke level terendah Rp 50 per lembar.
PT Bumi Resources Tbk (BUMI). (Foto: emitennews.com)

PT Bumi Resources Tbk (BUMI) sebagai perusahaan batu bara yang memiliki misi “Meningkatkan hasil investasi dan nilai yang optimal bagi para pemegang saham”, ternyata memiliki kinerja perusahaan yang tidak sejalan dengan kenyataan. Bahkan diduga malah merugikan investor (pemegang saham)-nya.

Bagaimana tidak, sejak ditutup di perdagangan pada 19 Februari 2020, saham BUMI jatuh ke level terendah Rp 50 per lembar. Dimana sebenarnya saham BUMI ini diselamatkan oleh aturan batas terendah harga saham di pasar regular Bursa Efek Indonesia (BEI) yaitu Rp 50. Artinya jika aturan ini diubah sudah pasti harga saham BUMI akan jatuh lebih rendah lagi. Dan hingga saat ini tanggal 5 Maret 2020, saham BUMI masih saja terkapar di harga Rp 50, tidak beranjak kemanapun selama 18 hari.

Grafik Saham BUMIGrafik saham BUMI 5 Maret 2020. (Foto: Yahoo Finance)

Harga batu bara berjangka ICE Newcastle sendiri cenderung menurun dari Januari 2019 sempat mencapai 99 dolar AS per ton. Turun terus hingga Desember 2019 ke level 66 dolar AS per ton. Demikian juga di Januari 2020 sempat naik ke harga 75 dolar AS per ton, namun turun lagi ke 66 dolar AS per ton pada awal Maret 2020 ini. Sehingga situasi ini tentu tidak mendukung untuk kinerja penjualan BUMI di 2019. Belum lagi di kuartal empat 2019, Cina mulai memberlakukan pembatasan impor batu bara karena stok batu bara mereka yang sudah menumpuk akibat impor yang sudah cukup besar sepanjang 2019.

Banyak yang bertanya, apakah sudah saatnya mengoleksi saham BUMI? Barangkali naik di atas Rp 50, tentu langsung bisa untung lumayan.

Eitss, tunggu dulu.

Mari kita analisa bersama, kinerja saham Bumi Resources hingga kuartal ketiga 2019, berhubung Laporan Keuangan setahun 2019 belum juga dirilis.

Posisi kas BUMI hingga September 2019 sebesar 64,1 juta dolar AS atau Rp 902,85 miliar (dengan nilai tukar Rp 14.085 per dolar AS sesuai laporan keuangan). Sementara liabilitas jangka pendek atau kewajiban jatuh tempo BUMI dalam dua belas bulan ke depan adalah 1.1 miliar dolar AS atau Rp 15,49 triliun. Artinya kemampuan bayar BUMI yang ready hanya 5,8% dari kewajibannya, dan ini tentu masalah besar, dan sebenarnya terjadi dari tahun ke tahun. Lalu bagaimana cara BUMI membayar kewajibannya? 

Sebagai catatan, selama kuartal ketiga BUMI telah melakukan pembayaran pinjaman senilai 77 juta dolar AS atau Rp Rp 1,09 triliun. Namun tentu ini tidak cukup.

Persoalan utang yang menggunung ini dimulai ketika BUMI menerima pinjaman dari China Investment Corporation (CIC) pada September 2009 melalui anak usaha Country Forest senilai 1,9 miliar dolar AS. Di 2007 posisi utang berupa total pinjaman dari Bumi Resources masih di 7,9 juta miliar dolar AS dengan obligasi wajib konversi 168,7 juta dolar AS. 

Bagi Anda pembaca tagar yang belum pernah mendengar sebelumnya, obligasi wajib konversi adalah suatu jenis obligasi yang dapat dikonversikan menjadi saham dari perusahaan penerbit obligasi (dalam hal ini BUMI) dan biasanya pada rasio pertukaran yang sudah ditentukan terlebih dahulu pada penerbitan obligasi tersebut. 

Kelihatan cara ini terlihat mudah untuk perusahaan membayar utang, namun sebenarnya merugikan pemegang saham karena jumlah saham akan bertambah sementara nilai perusahan tetap atau sering disebut dilusi saham sewaktu pemegang obligasi melakukan konversi obligasinya ke saham baru. 

Lalu utang BUMI meningkat terus mulai di 2008 menjadi 1,08 miliar dolar AS dengan obligasi konversi 101 juta dolar AS. Dan terus naik di 2009 menjadi 2,3 miliar dolar AS, dan di 2010 menjadi 3,6 miliar dolar AS.

Dan ternyata, BUMI tidak mampu melakukan pelunasan hingga akhirnya terjadilah sengketa hingga ke pengadilan niaga di Oktober 2013. Para Kreditur Bumi Resources akhirnya memilih jalan damai dan bersedia dibayar dengan menggunakan saham BUMI, baik yang dikonversi langsung dari saham yang ada, dan juga penerbitan saham baru lewat obligasi wajib konversi. Yang menurut hemat kami, ini sebenarnya solusi yang juga tidak menguntungkan para kreditur. 

Kami memandang persoalan ini justru ke depannya akan memakan korban, karena kreditur yang memegang saham BUMI tentu berharap untuk suatu saat bisa menjual saham hasil konversinya. Dan siapa yang akan membeli dan menjadi korbannya? 

Tentu para retail investor di Bursa Efek Indonesia yang tidak tahu menahu akan persoalan ini, mereka yang senang melihat ketika saham BUMI digoreng naik ke atas dan hanya fokus ke harga saham tanpa tahu fundamental perusahaan seperti apa. Dan setelah naik cukup tinggi, langsung saham hasil konversi dilepaskan dengan jumlah yang tidak sedikit dan menyebabkan harga saham balik lagi ke level dasar Rp 50.

Sejak Mei 2018 hingga Feb 2020, BUMI sudah 8 kali membayar utangnya dengan cara menambah saham baru lewat obligasi wajib konversi. Total saham baru dari hasil konversi obligasi ini adalah 1.707.314.856 lembar saham. Konversi terbesar terjadi di 28 Januari 2020 yaitu sebesar 1.469.967.527 lembar saham, dimana setelah konversi ini harga saham BUMI langsung turun dalam dari Rp 57 ke Rp 51.

Gambar Penambahan Saham BumiGambar Penambahan Saham BUMI dari Obligasi Wajib Konversi 28 Januari 2020. (Foto: BUMI)

Lalu dilanjutkan konversi berikutnya di 18 Februari 2020 sebesar 136,961,665 lembar saham, sehingga saham BUMI tiarap ke Rp 50. Bisa dibayangkan dalam hal ini selain pemegang saham rugi karena dilusi saham, pemegang obligasi juga tentu kecewa tapi tidak ada pilihan lain. 

Kalau kita kalikan jumlah saham yang dikonversi dengan harga saham BUMI saat itu, terlihat seperti BUMI berhasil melunasi utang sebesar Rp 83.8 milyar di 28 Januari 2020 dan Rp 6.85 milyar di 18 Februari. Anda bisa bayangkan jika Anda pemegang obligasi BUMI tersebut, sudah pasti Anda langsung jual saham Anda untuk setidaknya memperoleh cash. Dan memang terjadi penurunan harga saham BUMI setelah 28 Januari 2020 seperti yang saya jelaskan di atas. 

Dan pemegang obligasi yang menerima saham hasil konversi 18 Februari 2020 tampaknya masih belum sempat menjual saham untuk memperoleh cash di pasar regular, karena kalau Anda lihat di gambar di bawah, berikut kondisi penawaran saham BUMI yang terjadi di Bursa Efek Indonesia. Tidak ada penawaran beli, yang ada malah penawaran jual.

Penawaran Saham BUMIGambar posisi penawaran saham BUMI 5 Maret 2020. (Foto: BUMI)

Kalau kita amati di Laporan Neraca BUMI, ekuitas yang dimiliki pemegang saham BUMI atau defisiensi modal yang dapat distribusikan kepada Pemilik Entitas Induk justru minus yakni -124.6 juta dolar AS. Bisa Anda bayangkan artinya minus? Artinya setiap lembar saham yang dipegang oleh investornya bahkan lebih rendah dari 0 rupiah alias tidak bernilai. Jadi sebenarnya harga saham BUMI sendiri saat ini masih di Rp 50 saat ini karena diselamatkan oleh aturan batas harga saham terendah oleh BEI seperti yang kami jelaskan di atas. 

Sebagai ilustrasi, tisu saja masih ada nilainya per lembar alias tidak minus, dimana biasanya harga per pak sekitar Rp 10.000 untuk 280 lembar per pak, artinya selembar tisu masih dinilai seharga Rp 35,7.

Setelah membaca pemaparan di atas, apakah Anda masih tertarik untuk membeli saham BUMI di harga Rp 50 per lembarnya? Karena justru saat ini banyak pihak yang sebisa mungkin berusaha menjual sahamnya terutama pemegang obligasi yang memperoleh saham dari hasil konversi. Bisa dibayangkan jika aksi korporasi BUMI berupa obligasi wajib konversi dilanjutkan terus setiap tahun, maka harga saham BUMI tidak akan bisa naik dan akan terus terpuruk.

Kalaupun bisa naik, sangat dimungkinkan itu adalah aksi menggoreng saham, yang mana saat ini setelah kejadian Jiwasraya Pak Jokowi sudah menegaskan dalam pidatonya di pembukaan perdagangan saham awal tahun ini di Bursa Efek Indonesia pada 2 Januari 2020 yang lalu. 

"Kepercayaan dari berbagai pihak harus kita jaga, oleh karena itu saya berpesan dan mendukung agar Otoritas Bursa, OJK dan BEI segera membersihkan bursa dari praktik praktik jual beli saham yang tidak benar!”

*Yossy Girsang, Pengamat Ekonomi dan Pasar Modal
Tim Ekonomi Tagar

Berita terkait
Bursa Asia Menghijau, IHSG Menguat 2,38 Persen
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia pada penutupan perdagangan Rabu, 4 Maret 2020 menguat di atas dua persen.
OJK Sebut Virus Corona Penyebab Pelemahan IHSG
OJK buka suara atas pelemaham indeks harga saham gabungan (IHSG) yang terus berlanjut sejalan dengan tekanan di berbagai bursa saham dunia.
IHSG Berdarah, Ada Apa? Apa yang Harus Dilakukan?
Pelaku pasar saham Indonesia panik, banyak yang bingung dengan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan terus menerus dalam seolah tak terbendung.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.