Sadako Ogata, Wanita Jepang Pertama Pimpin UNHCR Wafat

Sadako Ogata, Wanita pertama dan orang Jepang pertama yang menjadi pimpinan UNHCR meninggal dunia di usianya yang ke-92 tahun.
Sadako Ogata, pimpinan UNHCR saat menghadiri World Economic Forum. (Yahoo.com)

Tokyo - Sadako Ogata, wanita pertama dan orang Jepang pertama yang menjadi Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa UntukPengungsi (UNHCR) meninggal dunia di usianya yang ke-92 tahun. Ogata juga pernah menjabat Kepala Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA).

Wanita tangguh ini lahir di Jepang pada tahun 1927. Ayahnya seorang diplomat sehingga ia sering berpindah-pindah tinggal di sejumlah negara. Matan Perdana Menteri Tsuyoshi Inukai (1855-1932) adalah kakek buyutnya.

Lepas sarjana dari University of the Sacred Heart di Tokyo, Ogata mengambil program master di Georgetown University, Amerika Serikat. Ia kemudian meraih gelar doktor dari University of California, Barkeley. Sebelum bergabung dengan PBB, Ogata menjadi akademisi, sebagai dekan fakultas studi asing di Sophia University, Tokyo pada tahun 1989.

Ia telah menjadi profesor sejak 1980, mengajar di Internationl Christian University, Tokyo. Seperti diberitakan dari Japan News, Rabu, 30 Oktober 2019, Ogata ditunjuk pemerintah untuk menjadi wakil Jepang pada Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UN Commission on Human Rights) yang kemudian berubah nama menjadi UN Human Rights Council pada tahun 2006. Kariernya kian cemerlang, Ogata pada tahun 1991 didapuk menjadi Kepala UNHCR. Ia menjadi wanita pertama, orang Jepang pertama dan akademisi pertama yang memimpin UNHCR.

Ogata menjadi pimpinan UNHCR setelah berakhirnya perang dingin, namun konflik etnis dan agama semakin meluas. Ia dihadapkan pada masalah besar krisis Teluk pada tahun 1990-an. Dalam mengatasi jutaan pengungsi Kurdi yang melarikan diri ke Iran setelah Perang Teluk, Ogata memberikan dukungan pribadi para pengungsi terlantar yang tidak mendapatkan bantuan dari UNHCR. Ia juga memberikan perhatiannya terhadap pengungsi perang Bosnia dan genosida di Rwanda.

Selama memimpin UNHCR, Ogata selalu memperhatikan dan memikirkan masalah hak-hak manusia untuk mendapatkan perlindungan dari kemiskinan dan perang. Dalam bukunya "The Turbulent Decade - Confronting the Refugee Crises of the 1990s" (Dekade Turbulent - Menghadapi Krisis Pengungsi tahun 1990-an), dia menggambarkan tugasnya di PBB sebagai periode krisis kemanusiaan yang konstan. "UNHCR bekerja seperti pasukan pemadam kebakaran di seluruh benua di dunia," tulisnya.

Pada tahun 2000, Ogata pensiun dari UNHCR. Kemudian ia dipercaya pemerintah menjabat wakil khusus perdana menteri dalam penanganan bantuan rekonstruksi Afghanistan. Pengalaman di UNHCR, Ogata dipercaya menjadi Ketua JICA pada tahun 2003. Ia menjadi orang pertama di luar Kementerian Luar Negeri yang mejadi pimpinan JICA. Menjadi Ketua JICA, ia melakukan langkah percepatan proses bantuan rekonstruksi dengan memastikan transisi bantuan kemanusiaan berjalan mulus. Pada tahun 2012, Ogata pensiun dari JICA dan menjadi penasihat khusus badan itu.

Berita terkait
UNHCR: Pengungsi Rohingya Masih Mengalir ke Bangladesh
Para pengungsi Rohingya masih terus mengalir dari Myanmar ke Bangladesh, kata badan Perserikatan Bangsa-bangsa urusan pengungsi (UNHCR).
PBB Temui Jokowi di Jakarta, Ada Apa?
Presiden Jokowi menerima kunjungan sejumlah pengurus PBB di Istana Negara Jakarta pada Kamis 1 Agustus 2019. Ada apa?
Menlu Retno Bahas Ekonomi dan Perempuan di Sidang PBB
Menlu Retno Marsudi melakukan 7 kali pertemuam dai berbagai pihak. Yang dibutuhkan adalah pengasu kum yang idak ena?