RUU Ketahanan Keluarga Dinilai Jahiliah

RUU Ketahanan Keluarga yang dibuat sekelompok anggota DPR untuk memformalkan ruang privat warga negara dinilai membawa Indonesia ke zaman jahiliah.
Perempuan dari berbagai lintas organisasi berkumpul di Lapangan Merdeka Medan, Sumatera Utara, merayakan Hari Perempuan Internasional Sedunia, menolak RUU Ketahanan Keluarga, Sabtu, 7 Maret 2020. (Foto: tobasatu.com)

Jakarta - Aliansi UI Toleran menyoal Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang dibuat sekelompok anggota DPR yang mencoba memformalkan campur tangan negara dalam ruang privat warga negara. Aktivis perempuan Musdah Mulia, satu di antara yang tergabung dalam Aliansi UI Toleran menilai RUU Ketahanan Keluarga adalah jahiliah.

RUU Ketahanan Keluarga yang menjadi kontroversi di tengah masyarakat itu masuk dalam 50 RUU Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2020.

"Ini RUU jahiliah. Benar. RUU ini mengada-ada. Ini sebenarnya copy paste dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masalahnya kita sudah di Abad 21, mereka hanya copy paste dan merugikan kita semua, loh. Kita sudah di era Industri 4.0, menurut saya enggak relevan," ujar Musdah dalam siaran pers Aliansi UI Toleran diterima Tagar, Sabtu, 7 Maret 2020.

Musdah mengatakan RUU tersebut akan menjebak para pengusungnya sendiri. "Mereka, anggota DPR perempuan, akan kesulitan menjalankan kewajiban berdasarkan RUU."

Ia memerinci RUU tersebut banyak sekali membebankan kewajiban kepada suami, istri, anggota keluarga, pemerintah, dan masyarakat, tanpa menyebutkan konsekuensi ataupun sanksi apabila terjadi pelanggaran terhadap kewajiban tersebut. 

Ini RUU jahiliah. Benar. RUU ini mengada-ada.

Ketentuan mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penyalahgunaan narkotika dan perlindungan anak redundansi dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yang notabene dijadikan acuan pembentukan RUU itu. Bahkan RUU itu mengandung “anak luar kawin” berupa sanksi pidana terkait donor sperma dan surogasi.

Selain Musdah Mulia, tergabung dalam Aliansi UI Toleran di antaranya Dr. Margaretha Hanifa, Guru Besar Antropologi Hukum UI Sulistyowati Irianto, Psikolog Kasandra Putranto.

Dr. Margaretha Hanifa mengatakan telah terjadi miskonsepsi terhadap teori dan konsep ketahanan, sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.

"Saya tidak yakin naskah akademis RUU Ketahanan ini merujuk pada tradisi intelektual dan literatur akademik tentang teori dan konsep-konsep ketahanan dan kerentanan," kata Margaretha.

Tidak Sesuai Realitas

Guru Besar Antropologi Hukum UI Sulistyowati Irianto mengatakan secara sosiologis, substansi RUU Ketahanan Keluarga itu tidak sesuai fakta, realitas, dan pengalaman perempuan Indonesia.

"Ada jutaan perempuan bekerja di sektor formal maupun informal dan penghasilannya digunakan untuk keperluan keluarga. Juga terdapat 14.744 perempuan pekerja migran, 9.104 di antaranya berkeluarga. Mereka menghasilkan devisa besar (BNP2TKI, 2019). Perempuan menjadi tulang punggung keluarga adalah suatu keniscayaan," ujar Sulistyowati.

Ia mengatakan bab-bab awal RUU itu lebih menyerupai usulan program pemerintah daripada kumpulan norma yang dibentuk sebagai perwujudan aspirasi masyarakat.

"Urgensi pembentukan undang-undang dan materi muatannya pun penuh dengan asumsi subyektif dari para perancang RUU ini. Sementara di sisi lain, banyak sekali hal dalam kehidupan manusia dan warga suatu negara yang tidak dapat menjadi materi muatan undang-undang," tuturnya.

Ia mengatakan, seandainya pun dibutuhkan peraturan administrasi yang mewajibkan setiap penduduk dan atau warga negara memberitahukan identitas diri dan status pernikahan kepada pihak lain dan atau pemerintah, sebagai contoh, hal tersebut cukup diatur melalui Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan suatu Undang-undang.

Undang-undang seharusnya disusun atas dasar praktik-praktik yang terbukti kuat, yang diperoleh dari berbagai hasil penelitian, demi memudahkan asesmen terhadap manfaat, beban biaya, risiko dan kesempatan. Tujuan utama tentu adalah memperoleh kepercayaan publik karena tepat sasaran, mudah diimplementasikan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Psikolog Kasandra Putranto mengatakan undang-undang yang tidak berdasarkan praktik terbukti hanya akan menghabiskan anggaran. Tidak memberikan manfaat alias tidak tepat sasaran. Tidak mudah diimplementasikan. Tidak memberikan manfaat bagi masyarakat. Bahkan berpotensi membawa risiko kerusakan yang lebih besar, yang mengancam keutuhan bangsa, karena mengandung nilai-nilai diskriminasi, ekstrimisme, intoleransi, dan kekerasan.

RUU tersebut, kata Kasandra, juga kehilangan sifat inklusifitas dalam perumusan normanya. Masalah sewa rahim atau surogasi misalnya.

Secara umum dan ilmu kedokteran, surogasi dimungkinkan dan malah dibutuhkan bagi pasangan yang memiliki kendala biologis untuk mempunyai anak. Namun menurut penafsiran tertentu dari sebagian kelompok masyarakat, surogasi diharamkan. Tentu saja hal yang bersifat subjektif ini tidak dapat dijadikan aturan yang mengikat semua warga negara yang memiliki keadaan, latar belakang sosial-budaya dan keyakinan berbeda-beda.

Berikut ini beberapa poin sikap Aliansi UI Toleran.

1. RUU Ketahanan Keluarga itu mengubah status hak dan kebebasan asasi warga negara dalam melangsungkan hidup, berkembang dan membentuk komunitas terdekat, internalnya serta memperoleh perlindungan atas hak asasinya tersebut, menjadi kewajiban setiap narga negara mematuhi serta memenuhi hasrat syahwat para pengusul RUU mencampuri urusan privat warga Negara.

2. RUU Ketahanan Keluarga itu tidak sekadar menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hak kesetaraan gender, melainkan lebih dalam mengindikasikan pola pandangan yang mereduksi nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3. Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, sehingga setiap pemikiran untuk berkehidupan, berperilaku, berinteraksi dan terutama mengadakan regulasi atau aturan yang bersifat memaksa atau mengikat secara umum, wajib mengandung prinsip kebangsaan, kemanusiaan dan keadilan sosial secara bersamaan.

4. Upaya para pengusung RUU itu melakukan pengkerdilan makna keluarga hanya berdasarkan perkawinan dan hubungan seksual, mendikotomikan peran antara suami dan istri yang bias gender dan mengusung nilai-nilai patriarkis yang sudah tidak sesuai perkembangan masyarakat Indonesia, pada akhirnya hanya bertujuan melahirkan kriminalisasi terhadap tindakan-tindakan privat yang pada dasarnya merupakan konsensus dalam keluarga dan antaranggota masyarakat.

5. Manusia tidak boleh dipisahkan atas dasar jenis kelaminnya, kecuali di dalam ruang tempat alat kelamin dikeluarkan sebagai batasan universal tentang sopan santun. Di luar kamar mandi dan toilet, tidak boleh ada dikotomi pria dan wanita, terutama di ruang sosial, ekonomi, politik, hukum, apalagi hanya sekadar di kolam renang atau bioskop.

6. Aliansi UI Toleran menolak keras setiap upaya yang berpura-pura demokratis, berpura-pura nasionalis dan berpura-pura pluralis dalam setiap perencanaan peraturan perundang-undangan, karena patut diduga hanya akan melegitimasi perlakuan yang diskriminatif atas nama SARA dan gender apabila rancangan tersebut diundangkan.

7. Aliansi UI Toleran mendesak Pemerintah NKRI, melalui Presiden sebagai pemegang kewenangan pemerintahan tertinggi Republik Indonesia, untuk menertibkan berbagai rancangan ataupun peraturan yang sudah diundangkan, khususnya yang mengandung unsur pidana dan atau bersifat memaksa, agar menjadi bagian dari omnibus law yang konsisten berdasarkan Pancasila dan UUDN 1945. []

Baca juga:

Berita terkait
Tolak RUU Ketahanan Keluarga, PDIP: Kita Beda Agama
PDIP tegas menolak RUU Ketahanan Keluarga karena beda agama, beda adat, dan beda latar.
Soal RUU Ketahanan Keluarga, NasDem Salahkan PKS
Anggota Komisi III DPR Fraksi NasDem, Taufik Basari, mengatakan masuknya RUU Ketahanan Keluarga ke Prolegnas karena PKS sebut persyaratan selesai.
RUU Ketahanan Keluarga Muncul Menandingi RUU PKS
Koordinator Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga lahir untuk menandingi RUU PKS.