Untuk Indonesia

Rupiah Buntung, Siapa yang Untung?

Denny Siregar menulis, dalam setiap peristiwa ekonomi, pasti ada dua kubu yang menikmati keuntungan
Pekerja memproses olahan kacang kedelai menjadi tempe di salah satu industri rumahan di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (5/9). Menurut keterangan pelaku industri rumahan setempat, kenaikan nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS belum mempengaruhi harga beli kedelai impor. Harga kacang kedelai masih stabil Rp7.600 per kilogram. (Foto: Ant/Risky Andrianto)

Oleh: Denny Siregar*

Ketika harga cabai melejit naik, banyak emak-emak yang menjerit...

Mereka mengeluhkan banyak hal, mulai dari harus mengurangi konsumsi makanan pedas sampai jualan yang sepi karena harga menu yang dijual pun terkerek naik.

Tetapi pedagang cabai tersenyum lebar. Mereka menikmati naiknya harga cabai sebagai masa panen yang indah. Semakin langka cabai, semakin suka mereka.

Dan ketika akhirnya digelontorkan pasokan cabai yang melimpah, gantian pedagang cabai yang menjerit. Harga jadi murah, mereka rugi karena tidak bisa mendapat lebih. Emak-emak tersenyum lebar karena bisa makan pedas banyak lagi.

Dalam setiap peristiwa ekonomi, pasti ada dua kubu yang menikmati keuntungan dan yang menderita. Begitu juga dengan situasi menguatnya dollar saat ini .

Meski teriakan-teriakan putus asa bergema di sana sini, menyerukan ketakutan terhadap naiknya dollar yang akan berdampak pada kenaikan harga, ada kelompok masyarakat yang senang bukan kepalang..

Mereka ini ada di sektor bisnis yang memang dibayar pakai dollar. Seperti bisnis pariwisata di Bali. Mereka-mereka ini termasuk yang banyak berdoa semoga posisi dollar tetap jauh diatas rupiah.

Baca Juga: Kelas Menengah Kampret...

Pada tahun 1998, disaat krisis ekonomi dahsyat melanda dunia, Bali dan tempat pariwisata lain malah bersorak-sorak senang. Bayangkan, mereka dibayar pake dollar oleh para turis yang tidak terpengaruh depresiasi rupiah. Sedangkan dollar waktu itu melonjak dari nilainya Rp 2.000 menjadi Rp 20.000.

Coba, siapa yang tidak girang?

Eksportir Indonesia juga berjingkrak-jingkrak senang. Terutama bidang kerajinan yang produknya diekspor ke luar. Mereka benar-benar menikmati masa itu sebagai masa emas dan jarang berulang.

Anda tahu orang terkenal yang akhirnya jadi kaya karena dollar menguat di tahun 1998? Ya, siapa lagi kalau bukan pengusaha meubel yang akhirnya jadi Presiden, Joko Widodo. Panen dia waktu itu karena meubelnya ekspor semua.

Jadi menyikapi menguatnya dollar akibat perang dagang Amerika versus China yang membawa dampak resesi di beberapa negara, kita harus tetap tenang. Pemerintah pasti tidak akan tinggal diam menyikapi sesuatu yang berdampak pada situasi politik negeri ini.

"Stabilitas adalah koentji..." dan pemerintah pasti ingin stabilitas terjaga karena ini berhubungan dengan kepercayaan investasi.

Stabilitas ekonomi kita di tahun 1998 jauh berbeda dengan sekarang. Dulu depresiasinya aja bisa sampai ribuan persen, dari Rp 2.000 per dollar melonjak menjadi Rp 20.000.

Baca Juga: Kenapa Rupiah Terpuruk?

Sekarang menguatnya dollar dikit-dikit aja, gak sampai membumbung tinggi. Harga masih bisa terkendali. Kalaupun ada produk yang bahan bakunya impor, naiknya juga gak terlalu tinggi.

Yang menjadi masalah adalah kepanikan massal karena diprovokasi oleh pernyataan para politikus yang mencoba mengambil keuntungan di tahun politik ini. Mereka suka menggambarkan "situasi ekonomi parah" sambil mengamati "kapan gua harus jual dollar supaya untungnya besar?"

Kalau rakyat kecil kayak kita, mending pelajari situasi sambil belajar ekonomi ditemani secangkir kopi. Seruput...

*Denny Siregar, Penulis Buku "Tuhan dalam Secangkir Kopi"

Berita terkait