Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS), Rudijanta Tjahja Nugraha, memberikan klarifikasi terkait berita viral tentang penemuan tanaman ganja di kawasan TNBTS yang dikaitkan dengan larangan penggunaan drone di kawasan wisata. Rudijanta menjelaskan bahwa penemuan tersebut terjadi pada 18-21 September 2024, di Blok Pusung Duwur, Resort Pengelolaan TN Wilayah Senduro dan Gucialit, yang berada di Kecamatan Senduro dan Gucialit, Kabupaten Lumajang.
Area penemuan tanaman ganja terbilang sangat tersembunyi, terletak di kawasan yang tertutup semak belukar yang sangat lebat dengan jenis vegetasi kirinyu, genggeng, dan anakan akasia, serta berada di kemiringan yang curam. Polres Lumajang telah menetapkan empat tersangka yang merupakan warga Desa Argosari, dan kasus tersebut sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Lumajang. Drone berperan penting dalam mengidentifikasi dan menemukan lokasi tersebut.
Mengenai narasi di media sosial yang mengaitkan temuan ganja dengan larangan penggunaan drone di kawasan wisata TNBTS, Rudijanta memberikan penjelasan rinci. Pertama, lokasi temuan tanaman ganja tidak berada di jalur wisata Bromo maupun Semeru. Lokasi tersebut berada di sisi timur Kawasan TNBTS, sedangkan Wisata Gunung Bromo berada di sisi barat dengan jarak sekitar 11 km, dan jalur pendakian Gunung Semeru berada di sisi selatan dengan jarak sekitar 13 km.
Kedua, aturan larangan penerbangan drone di jalur pendakian Gunung Semeru telah berlaku sejak tahun 2019, tertuang dalam SOP Nomor SOP.01/T.8/BIDTEK/BIDTEK.1/KSA/4/2019. Pelarangan ini bertujuan untuk menjaga fokus pendaki agar tidak terbagi dengan aktivitas menerbangkan drone yang berpotensi membahayakan keselamatan pengunjung, mengingat jalur pendakian cukup rawan. Ketiga, aturan tarif penggunaan drone di kawasan TNBTS merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2024, yang mulai berlaku secara nasional pada 30 Oktober 2024.
Rudijanta juga menjelaskan bahwa kebijakan mewajibkan pendamping atau pemandu dalam pendakian Gunung Semeru bertujuan untuk memberikan pengalaman yang lebih baik kepada pengunjung melalui interpretasi yang diberikan oleh pendamping/pemandu. Selain itu, penutupan pendakian Gunung Semeru pada awal tahun merupakan kebijakan rutin untuk keselamatan pengunjung, mengingat musim hujan yang sering berlangsung di awal tahun dengan curah hujan tinggi, angin kencang, badai, dan risiko tanah longsor.