Robertus Robet Tersangka Namun Tidak Ditahan

Robertus Robet yang memelesetkan mars TNI dinyataka tersangka namun tidak ditahan.
Aktivis HAM yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet (tengah) didampingi Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (kanan) bersiap memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di Bareskirm Mabes Polri, Jakarta, Kamis (7/3/2019). Pihak kepolisian tidak melakukan penahanan terhadap Robertus Robet pascapenetapan statusnya sebagai tersangka atas dugaan penghinaan terhadap institusi TNI saat mengikuti Aksi Kamisan pada Kamis (28/2) di depan Istana Negara terkait kritik terhadap Dwi Fungsi TNI. (Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso)

Jakarta, (Tagar 8/3/2019) - Aktivis HAM Robertus Robet (47 tahun) diperbolehkan pulang setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri sebagai tersangka kasus penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum.

"Hari ini saudara R setelah diperiksa, kemudian menjalani proses administrasi, menandatangani beberapa berita acara, saudara R dipulangkan oleh penyidik," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo, Kamis (7/3) dilansir kantor berita Antara.

Dalam kasus ini, sebelum menangkap Robertus, penyidik telah melakukan gelar perkara dan memeriksa beberapa ahli terlebih dulu.

"(Diperiksa) saksi ahli, baik ahli pidana, kemudian ahli bahasa. Kemudian membuat konstruksi hukumnya dulu untuk Pasal 207 KUHP," ujarnya.

Dalam kasusnya, Robert tidak ditahan karena ancaman hukuman dalam pasal yang menjeratnya, di bawah lima tahun penjara.

"Ancaman hukumannya cuma satu tahun enam bulan, jadi penyidik tidak menahannya dan hari ini dibolehkan pulang," ucapnya.

Dalam kasusnya, Robertus pun tidak dikenakan wajib lapor. Meski demikian, penyidik dapat memanggil Robertus kembali bila masih memerlukan keterangan tambahan.

Sebelumnya, penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap Robertus Robet di kediamannya di Depok, Jawa Barat, pada Rabu (6/3) malam.

Ia ditangkap karena memplesetkan Mars TNI saat berorasi dalam Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, 28 Februari 2019 lalu. Rekaman videonya kemudian beredar di media sosial.

Atas perbuatannya, ia diancam dengan pasal penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 KUHP.

Pasal 207 KUHP menyatakan barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan.

AJI Desak Kepolisian Bebaskan Robet

Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak kepolisian untuk membebaskan aktivis hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi Robertus Robet yang ditangkap di rumahnya.

"Kami mendesak kepolisian untuk membebaskan segera Robertus Robet dan menghormati HAM dengan menjamin hak warga negara untuk berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar 1945," kata Ketua AJI Indonesia Abdul Manan dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis.

Robertus yang juga merupakan salah satu dosen di perguruan tinggi ternama di Jakarta tersebut, ditangkap pada Rabu (6/3) sekitar pukul 23.45 WIB.

"Robet ditangkap di rumahnya dan telah ditetapkan tersangka karena dituding menghina TNI saat berorasi pada aksi Kamisan, 28 Februari 2019 lalu," ujarnya pula.

Robet dikenakan pasal 45 ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2009 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan atau/pasal 14 ayat (2) jo pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau pasal 207 KUHP.

Robert dijadikan tersangka dengan tuduhan merendahkan institusi TNI dalam aksi Kamisan, di depan Istana Merdeka pada 28 Februari 2019 lalu.

Dalam aksi tersebut, Robert menyoroti rencana pemerintah menempatkan prajurit aktif TNI dalam jabatan-jabatan sipil yang disebut Manan, "Menurut Ombudsman, saat ini sudah ada belasan kementerian/lembaga dengan jabatan yang diduduki prajurit aktif TNI di luar kementerian/lembaga yang diperbolehkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI".

"AJI berpandangan orasi yang disampaikan Robet merupakan kebebasan berekspresi warga negara yang dijamin dan tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945. 

Penyampaian pendapat juga merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia," ujar Manan.

Menurut Manan, penangkapan Robertus Robet juga membuat pemerintah tidak ada bedanya dengan rezim Orde Baru yang mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Atas dasar itu, kata dia, AJI menyampaikan tiga sikap, yakni mengecam penangkapan Robertus Robet yang tidak memiliki dasar jelas. Karena kritik Robertus Robet terhadap rencana pemerintah menempatkan kembali prajurit aktif TNI di jabatan sipil dijamin oleh perundang-undangan.

Kemudian, mendesak kepolisian untuk membebaskan segera Robertus Robet dan menghormati HAM dengan menjamin hak warga negara untuk berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar 1945.

Lalu, mendesak penghapusan seluruh pasal karet dalam UU ITE dan KUHP yang kerap digunakan untuk mengkriminalisasi para pejuang HAM, termasuk para jurnalis.

Sebelumnya, Robet melakukan orasi yang menolak wacana kebangkitan kembali dwifungsi TNI di Indonesia. Wacana ini mengemuka terkait rencana penempatan perwira TNI pada sejumlah posisi sipil.

Dalam orasinya, Robet menyampaikan kegelisahannya kepada anak-anak muda yang menghadiri Aksi Kamisan di depan Istana Presiden pada 28 Februari lalu.

"Kaum militer adalah orang yang memegang senjata, orang yang mengendalikan, mendominasi alat-alat kekerasan negara tidak boleh mengendalikan kehidupan sipil lagi," ujar Robet.

'Mengendalikan kehidupan sipil'. Diksi ini dipilih oleh Robet merujuk dwifungsi ABRI yang dulu pernah hadir di Indonesia, saat kepemimpinan Presiden Soeharto.

ABRI pada masa lalu memang dapat menempati jabatan sipil dan mengisi sejumlah posisi pemerintahan. Selain itu, ada juga Fraksi ABRI di MPR yang membuat tentara pada masa itu bisa berpolitik.

"Karena senjata tidak bisa diajak berdebat, senjata tidak dapat diajak berdialog. Sementara demokrasi, kehidupan ketatanegaraan harus berbasis pada dialog yang rasional," ujar Robertus Robet.

PDIP Sebut Penangkapan Robet Berlebihan

Di tempat terpisah, Politikus PDI Perjuangan Charles Honoris menilai penangkapan aktivis HAM Robertus Robet karena memplesetkan Mars TNI berlebihan.

"Penangkapan terhadap Robertus Robet menurut saya berlebihan," kata Charles yang juga anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu di Jakarta, Kamis.

Apalagi, tambah Charles, Robertus Robet sudah menjelaskan bahwa lagu yang dinyanyikan bukan ditujukan kepada institusi TNI hari ini, melainkan kepada kebijakan rezim militer Suharto di masa yang lalu.

"Setahu saya lagu tersebut kerap menghiasi demo-demo prodemokrasi di era transisi menuju demokrasi," ujar Charles.

Anggota Komisi I DPR RI itu mengakui wacana revisi UU TNI tentang penempatan perwira TNI di institusi nonmiliter memang memicu kekhawatiran di berbagai kalangan.

"Masih banyak masyarakat yang trauma terhadap kebijakan dwifungsi ABRI di era otoriter pemerintahan Suharto sehingga wajar apabila ada penolakan terhadap wacana tersebut," ucap Charles.

Ia menilai penerapan Pasal 28 UU ITE terhadap kasus Robertus Robet tidak tepat karena tidak ada unsur kesengajaan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan. Konteksnya mengingatkan agar masa kelam rezim militer Orde Baru tidak terulang kembali.

Menurut dia, penerapan UU ITE jangan sampai memberangus kebebasan berekspresi dan kebebasan sipil.

"Saya juga berharap semua pihak bisa melihat kasus ini secara objektif dalam kerangka menjaga nilai-nilai demokrasi. Jangan ada yang mengait-kaitkan dengan politik praktis atau pilpres," ujar Charles, berharap.

Pengamat: Penangkapan Robet Ancam Kebebasan Sipil

Senada dengan AJI dan PDIP, sejumlah pengamat hukum dan hak asasi manusia yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi menilai tindakan aparat yang menangkap aktivis hukum Robertus Robet dapat menjadi ancaman terhadap kebebasan sipil.

"Kasus Robertus Robet adalah ancaman kebebasan sipil di masa reformasi," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI sekaligus salah satu pengamat dalam tim advokasi, Muhammad Isnur, melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Kamis.

Robet diamankan oleh aparat dan disangkakan pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 (UU ITE) dan Pasal 207 KUHP, dengan dugaan menghina penguasa atau badan hukum di muka umum dalam orasi aksi damai Kamisan pada 28 Februari 2019.

"Robet tidak menyebarkan informasi apa pun melalui elektronik karena yang dianggap masalah adalah refleksinya," jelas Isnur.

Tim advokasi menilai refleksi tersebut hanya berupa komentar atas kajian akademis terkait suatu kebijakan, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan.

Berdasarkan hal-hal tersebut tim advokasi menyatakan bahwa ditangkapnya Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi.

"Oleh karenanya Robertus Robet harus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan," tambah Isnur.

Adapun sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang menjadi anggota tim advokasi adalah KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial, Indonesian Legal Roundtable, Lokataru Kantor Hukum dan HAM, Ajar, Amnesty Internasional Indonesia, Protection Internasional, hakasasi.id, Perludem, Elsam, sorgemagz.com, Solidaritas Perempuan, dan Jurnal Perempuan. []

Baca juga:

Berita terkait
0
Ini Dia 10 Parpol Pendatang Baru yang Terdaftar di Sipol KPU
Sebanyak 22 partai politik (parpol) telah mengajukan permohonan pembukaan akun atau akses Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).