Robertus Robet Berujung Polisi, Akankah Dikaitkan dengan Jokowi?

Yel-yel gubahan mars ABRI Robertus Robet berujung polisi, akankah dikaitkan dengan Jokowi?
Aktivis HAM yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet (kanan) bergegas meninggalkan Gedung Bareskrim Mabes Polri usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Kamis (7/3/2019). Pihak kepolisian tidak melakukan penahanan terhadap Robertus Robet pascapenetapan statusnya sebagai tersangka atas dugaan penghinaan terhadap institusi TNI saat mengikuti Aksi Kamisan pada Kamis (28/2) di depan Istana Negara terkait kritik terhadap Dwi Fungsi TNI. (Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso)

Jakarta, (Tagar 8/3/2019) - Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Robertus Robet ditangkap kepolisian setelah mendendangkan yel-yel gubahan dari mars Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) era 70-80an. Ia diduga menghina institusi TNI saat pembukaan orasi Aksi Kamisan pekan ke-576, 28 Februari 2018, dengan tema 'tolak dwifungsi TNI'.

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia / tidak berguna / bubarkan saja / diganti Menwa (Resimen Mahasiswa) / kalau perlu diganti Pramuka.

Sadar video yang beredar menghebohkan publik, dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini pun membuat video klarifikasi. Bahwa yel-yel tersebut sengaja ia dendangkan untuk mengkiritk ABRI pada zama dulu, bukan institusi TNI di masa sekarang.

"Lagu itu dimaksudkan sebagai kritik saya terhadap ABRI di masa lampau, bukan terhadap TNI di masa kini. Sekali lagi saya ulangi bahwa lagu itu dimaksudkan sebagai kritik saya terhadap ABRI di masa lampau, bukan terhadap TNI di masa kini, apalagi dimaksudkan untuk menghina profesi dan organisasi, institusi TNI," bebernya.

Setelah dilakukan pemeriksaan, Robert dikenakan Pasal 207 KUHP. Pasal ini berbunyi, "Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

"Saya luruskan lagi, yang bersangkutan tidak dikenakan wajib lapor. Memang ditetapkan tersangka ya karena (Pasal) 207 (KUHP) tidak dilakukan penahanan," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (7/3).

Apakah ditangkapnya Robertus akan dikaitkan dengan rezim yang berkuasa?

Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin menilai, penangkapan dan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Robertus adalah murni kasus hukum. Jelas, tidak ada kaitannya dengan calon presiden petahana Joko Widodo.

“Itu tidak ada kaitannya dengan Jokowi. Itu karena Kepolisian mendapat laporan dari pihak TNI yang merasa dirugikan. Lalu kepolisian menindaklanjutinya dengan menangkap,” jelasnya kepada Tagar News, Kamis (7/3).

Kalau kemudian muncul kritikan atas penangkapan Robertus, menurutnya mesti dilihat dengan jelas dari dua sisi. Pertama, bagian penegakan hukum. Kedua, ada anggapan pemerintah main tangkap.

Tapi, menurutnya kasus terhadap Robet jangan dikaitkan dengan rezim yang berkuasa, yakni pemerintahan Jokowi yang seolah-olah mengekang kebebasan demokrasi seseorang. Sebab, ia meyakini kasus Robet adalah murni kasus hukum. “Buktinya video yang tersebar. Dimana Robertus dianggap menghina institusi TNI,” ujarnya.

“Jangan dikaitkan dengan rezim yang berkuasa. Kecuali ada orang yang tidak salah ditangkap. Baru itu aneh,” sambungnya.

Ia berharap, apa pun kasus hukum yang sedang terjadi tidak dihubung-hubungkan dengan Pemilu. Jika berdasarkan alat bukti yang kuat seseorang dianggap menghina orang lain atau institusi, kepolisian bisa menangkap pelaku untuk dimintai klarifikasi dan pertanggungjawaban.

“Siapa pun jika dianggap bersalah harus berhadapan dengan hukum. Termasuk Robertus Robet, jika dianggap menghina TNI. Lalu Kepolisian menangkapnya. Itu merupakan bagian dari penegakan hukum. Karena siapa pun tidak boleh menghina orang lain termasuk institusi TNI,” urainya.

Karena semua telah sepakat dengan demokrasi, yaitu siapa pun yang bersalah harus berhadapan dengan hukum. Sebaliknya, siapa pun yang tidak bersalah dilepaskan dari hukum.

“Demokrasi harus paralel dengan penegakan hukum. Demokrasi yang sehat, penegakan hukumnya jalan dengan tanpa pandang bulu,” pungkasnya. []

Berita terkait
0
Pengamat Nilai KPK Beri Harapan Tindak Lanjuti Penyelidikan Formula E
Gengan diperiksanya Gatot juga bisa memberikan informasi yang berarti dalam penyelidikan dugaan korupsi penyelenggaraan Formula E.