Jakarta - DPR baru saja menyelesaikan revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa, 17 September 2019 lalu. Saat ini revisi UU tersebut tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo.
Revisi tersebut dianggap banyak kalangan sebagai upaya pelemahan KPK dan bakal mempersulit penanganan kasus korupsi di Indonesia. Salah satu aspek yang mungkin saja terpengaruh adalah sektor investasi dan bisnis, terutama jika UU KPK yang baru justru membuat lembaga antirasuah menjadi lemah.
Investor membutuhkan kepastian hukum dan sistem hukum yang baik untuk iklim investasi.
"Kalau bicara KPK kan terkait trust karena ekonomi dan investasi butuh iklim yang mendukung daya tarik investasi itu sendiri. Nah, kepastian hukum menjadi salah satu indeks yang mempengaruhi investasi," ujar Pengamat Ekonomi INDEF, Rizal Taufik Rahman kepada Tagar pada Jumat, 20 September 2019.
Ia menambahkan jika KPK benar-benar dilemahkan melalui UU KPK yang baru maka citra Indonesia sebagai negara yang baik untuk berinvestasi dapat terganggu.
"Jika revisi ini memberikan ketidakpercayaan atas investasi mereka, maka daya tarik investasi di Indonesia akan menurun. Karena ketidakpercayaan bisa membuat stabilitas bisnis terganggu," ujar Rizal.
Ia mengatakan investor membutuhkan kepastian dan sistem hukum yang dapat mencegah pelanggaran dalam berinvestasi. Menurutnya, investor tidak akan tertarik berinvestasi jika kedua aspek tersebut tidak dapat berjalan dengan optimal.
"Investor membutuhkan kepastian hukum dan sistem hukum yang baik untuk iklim investasi. Karena semakin banyak fraud yang terjadi maka semakin besar juga uang yang harus mereka keluarkan. Menurut saya tidak ada investor yang menginginkan hal semacam ini," kata Rizal.
Menurutnya, jika pemerintah serius untuk meningkatkan arus investasi, maka indikator-indikator lain yang dapat mendukung iklim investasi harus diperkuat.
"Oleh karena itu, variabel lain itu yang diperkuat ini, sehingga isu fraud ini tidak terlalu mengganggu ketertarikan investasi Indonesia," kata dia.
Rizal menyebut indikator lain tersebut menyangkut perizinan, tata kelola administrasi, hingga daya beli masyarakat.