Revisi UU Ketenagakerjaan Bikin Cemas Buruh di Jateng

Rencana Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri merevisi Undang-Undang no 13 Tahun 2003, membuat buruh di Jateng cemas. Ini alasannya
Sejumlah pekerja menggelar demo menuntut upah layak. (Foto: Tagar/Arif Purniawan)

Semarang - Rencana Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri merevisi Undang-Undang no 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menimbulkan kekhawatiran bagi kalangan buruh di Jawa Tengah.

Hal ini dipicu adanya informasi  pasal yang mengatur tentang pesangon dalam Undang-Undang tersebut akan dihapus. Penghapusan dilakukan karena sudah ada jaminan pensiun yang diterima oleh kalangan buruh yang bekerja di perusahaan.

Menurut Ketua DPW Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Jateng, Nanang Setyono, kabar rencana revisi UU Ketenagakerjaan tidak lantas diterima dan ditanggapi menjadi kabar baik bagi kalangan buruh,  karena dikhawatirkan yang direvisi bukan yang selama ini disampaikan kepada pemerintah daerah.

Kabar yaang berkembang, justru yang yang direvisi mengenai pasal soal pesangon bagi pekerja baik, yang di-PHK maupun pensiun.

“Padahal aturan mengenai jaminan sosial ketenagakerjaan, yang salah satunya mengatur jaminan pensiun, tidak berkait dengan UU Ketenagakerjaan. Kedua aturan itu berdiri sendiri,” kata Nanang kepada Tagar, Kamis, 11 Juli 2019.

Jika pesangon dihapuskan, ujar dia, jaminan pensiun tidak bisa dinikmati pada saat para buruh mendapat pemutusan hubungan kerja dari perusahaan.

Karena sesuai aturan, jaminan pensiun  baru bisa dinikmati, setelah 15 tahun aturan tersebut diundangkan. Jika disahkan pada 2015, maka jaminan pensiun baru bisa cair pada 2030.

“Celakanya, saat ini baru 30 % perusahaan di Jawa Tengah yang mengikutsertakan jaminan sosial pekerjanya. Jadi perlu ada sinkronisasi, mengenai UU Ketenagakerjaan dengan regulasi yang mengatur jaminan sosial ketenagakerjaan,” paparnya.

Artikel lainnya: Bahaya 'Salju' di Dieng Jawa Tengah

Pihaknya menyarankan  kepada Menakertrans tidak membuat keputusan yang memberi perlindungan kepada dunia usaha saja. Justru yang paling mendasar dan perlu direvisi itu bukan soal pesangon, melainkan mengenai pasal outsourching, tenaga magang, dan tenaga kerja kontrak.

Banyak tenaga outsourching justru bekerja di sektor yang pokok, jika di industri di bagian produksi. Sementara sesuai regulasi, hanya ada lima jenis pekerjaan, di antaranya petugas keamanan, kebersihan, sopir dan lainnya. Praktik tenaga kontrak, juga tidak sesuai aturan.

“Sesuai regulasi, karyawan di kontrak selama dua tahun, bisa diperpanjang satu tahun lagi. Tapi di lapangan disiasati, yang terjadi setiap satu bulan atau tiga bulan sekali, tanda tangan kontrak, kemudian ketika sudah memasuki masa tiga tahun, diberhentikan dari pekerjaannya,” katanya.

KSPN pernah mengajukan gugatan ke Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), terkait pelanggaran mengenai regulasi soal tenaga kerja kontrak.

Hakim yang menyidangkan perkara tersebut memutus bahwa sisa kontrak secara terus menerus tidak sesuai dengan Undang-Undang. Pengusaha yang dianggap bersalah tersebut dihukum harus mengikat pekerja menjadi karyawan tetap.

“Ini sebenarnya bisa menjadi yurisprudensi. Ada pengusaha yang mengikuti putusan pengadilan, tapi pengusaha yang nakal tidak mengindahkan putusan tersebut,” pungkasnya.

FSPMI Jateng Siap Melawan Jika Pesangon Dihapus

Ketua DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jateng Aulia Hakim siap melawan jika pemerintah menghapus atau mengurangi jumlah pesangon, seperti yang saat ini telah diatur dalam undang-undang.

Alasan pengusaha terkait pertumbuhan ekonomi yang dijadikan dasar untuk menghapus pesangon sangat tidak tepat, jika yang direvisi UU Ketenagakerjaan. Seharusnya yang direvisi mengenai regulasi perindustrian dan perdagangan serta penanaman modal asing.

Aneh, jika yang disoal pertumbuhan ekonomi, tapi yang direvisi UU ketenagakerjaan. Jika ingin pertumbuhan naik, naikkan daya beli masyarakat dengan menaikkan gaji buruh.

Jika pengusaha membandingkan pesangon tenaga kerja di luar negeri yang rendah, ujar dia, hal itu memang benar adanya. Tapi jaminan sosial di luar negeri lebih tinggi jika dibandingkan di Indonesia. Di Malaysia, jaminan sosial mencapai 23 % dan di Singapura 33 %.

“Sementara di Indonesia, jika ditotal seperti jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja dan lainnya hanya 13 %. Kami sepakat yang direvisi soal outsourching, tenaga magang dan tenaga kontrak.  Kajian pemerintah yang diakomodir jangan dari pihak pengusaha, tapi malah menekan buruh,” ucapnya. []

Artikel lainnya: Kisruh PPDB, Warga Tuntut Kadisdikbud Jateng Mundur

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.