Refleksi Akhir Tahun 2019: Menyesal Tak Berguna

Saya menolak rencana pindah ibu kota RI karena kondisi perekonomian berkaitan biaya sangat besar. Ini dasar argumennya. Opini Bagas Pujilaksono.
Maket desain Nagara Rimba Nusa yang ditetapkan sebagai pemenang terbaik pertama Sayembara Gagasan Desain Kawasan Ibukota baru Negara atau IKN oleh Kementerian PUPR di Jakarta, Senin (23/12/2019). (Foto: Antara/Aji Cakti)

Kepada Yth, Bapak Presiden Jokowi di Jakarta. Dengan hormat. Selamat Tahun Baru 2020, semoga di tahun ini bangsa Indonesia lebih beruntung, damai dan harmoni dalam perbedaan.

Soal rencana pemindahan ibu kota, jujur saat ini, secara politik, saya menolak. Karena, kondisi perekonominan kita saat ini kaitannya dengan beban biaya yang besar. Lagian selama bapak Presiden Jokowi berkuasa, angka kemiskinan dan kesenjangan sosial masih tinggi. Angka pertumbuhan ekonomi makro didominasi tumbuhnya golongan menengah atas ke atas, sedang rakyat miskin hina papa semakin terjepit. Innallilahi wainnallilahi rojiun. Apa soal kemiskinan dan kesenjangan sosial kalah penting dibandingkan rencana pemindahan ibu kota Negara RI?

Sebagai akademisi, saya belum pernah sekalipun membaca FS (Feasibility Studies) calon ibu kota baru yang diajukan Pemerintah. Ironi.

Banyak tulisan kajian geologi yang saya baca tentang calon ibu kota baru. Saya melihat Pemerintah menghindar dari kajian detail. Pak Jokowi, ingat: the detail is the devil.

Memang saya bukan pakar geologi, tetapi saya akomodatif dan mau belajar dan tidak alergi mengakui suatu kesalahan.

Ada tulisan bagus kajian geologi soal lokasi calon ibu kota yang baru. Ada baiknya Bapak dan staf Bapak membacanya. Jangan pernah ada penyesalan di kemudian hari.

Bagi saya pribadi, kita telah kehilangan momentum atas pernyataan Bung Karno, bahwa ibu kota Negara harus dipindah dari Jakarta. Jadi, perlu dikaji menyeluruh dan detail.

Peta Pulau Kalimantan
Gambar peta Pulau Kalimantan sebagai wilayah ibu kota baru pemerintahan RI. (Foto: Antara/Bayu Prasetyo)

Catatan Akhir 2019 - Awal 2020

Geologi Calon Ibu Kota Negara di Sepaku, Kalimantan Timur: Air Tanah dan Geo-Hazardnya

Tanggal 23 Desember yang lalu, begitu menonton video yang menggambarkan tentang berbagai rencana kondisi Ibu Kota Negara baru kita nantinya, pertama kali yang terlontar dari benak saya: “Hati-hati, susah air di calon lokasi Ibu kota Negara.”

Selain itu ada beberapa aspek geoteknik dan kebencanaan yang mesti lebih diperdalam informasi dan data dasarnya. Hal ini diperlukan supaya perencanaannya tidak sembarangan dan bisa lebih menyeluruh. Termasuk mempertimbangkan aspek-aspek geologi bawah permukaan, baik yang dangkal maupun yang dalam. Bukan sekadar menggambarkan desain yang indah-indah di atas peta topografi, morfologi, dan tutupan muka bumi belaka.

Dengan demikian nantinya tidak akan ada penyesalan atas membengkaknya biaya operasional kehidupan sehari-hari bernegara di sana karena harus terus-menerus menangulangi “bencana” yang diakibatkan kondisi lokal geologi yang tidak diantispasi atau dimitigasi sebelumnya, karena kurang pahamnya para perencana (dan penyelenggara negara) atas kondisi bawah permukaan tersebut.

Untuk itu saya coba bongkar file-file penelitian lama saya, dan akhirnya dengan dibantu Purnama Suandhi dan Iban Getarjati, saya coba rangkai beberapa fakta dan analisa.

Dimulai dengan Peta DEM dioverlay dengan kawasan IKN yang ada 3 kriteria. Kemudian langsung kita menukik ke masalah utamanya: air tanah.

1. Lempung beratus-ratus meter di bawah tanah, airnya hanya ada di lensa-lensa pasir yang dalam.

Untuk urusan air tanah ini, siapa pun bisa bertanya ke mereka yang pernah berkegiatan di area Sepaku dan sekitarnya, betapa susahnya mendapatkan air tanah baku di daerah tersebut. Hal ini disebabkan kondisi hidrogeologi yang pada umumnya terkait dengan kondisi permukaan daerah tersebut yang disusun batuan sedimen lempung endapan laut berumur dari 23-33 juta tahun yang lalu (N6, N5, N4 – Zonasi Blow: Miosen Awal). 

Peta geologi pemerintah menyebutkan lempung itu sebagai Formasi Pamaluan. Di dalam lempung tidak mungkin didapatkan air tanah, kecuali lempung yang retak-retak; itupun sangat minim. Air tanah kemungkinan didapatkan di lapisan-lapisan pasir dan atau batu-gamping yang berongga. Nah, di Formasi Pamaluan itu pasir hanya terdapat berupa lensa-lensa tebal maksimal 10 meter luas 5-10 km2, dan jarang terhubung satu dengan lainnya dari permukaan ke bawah permukaan.

Korelasi sumur-sumur bor migas TENGIN-BELONAK-TUYU menggambarkan betapa minimnya keberadaan batupasir di bawah permukaan bumi di Formasi Pamaluan (N6-N4) sampai di Formasi Tuyu (N3-P16) itu. Kawasan inti Ibu Kota Negara kita di daerah Sepaku, jelas-jelas tidak punya daya dukung mencukupi untuk air tanahnya.

Bagaimana dengan potensi air tanah di kawasan penyangganya? Sama saja. Mari kita tengok agak sedikit keluar dari daerah Sepaku, yaitu daerah yang nantinya masih termasuk kawasan IKN yang 42 ribu hektar itu. Saat ini saja daya dukung air tanah - regionalnya tidak bisa atau tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduk Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara. PDAM harus bikin bendungan-bendungan dan embung yang kondisi recharge airnya juga tergantung musim - kalau kemarau seringkali – insya Allah - tidak mencukupi.

Sejak awal 80-an pertama kali saya tinggal dan bekerja di area Balikpapan – Penajam – Sepaku – Samboja, sampai menjelang 2020, di mana meskipun sudah lama tidak tinggal di sana lagi tapi saya masih sering mondar-mandir riset dan mengajar di daerah tersebut bertahun-tahun, kecukupan air baku untuk kehidupan sehari-hari ini masih jadi masalah. Truk tangki jualan air hilir mudik di kota Balikpapan merupakan pemandangan yang biasa kita jumpai sampai hari ini.

Perlu rekayasa khusus penyediaan air baku (baik dari rekayasa air permukaan, maupun dari air bawah tanah DARI DAERAH LAIN YANG BERDEKATAN) untuk bisa meningkatkan daya dukung lingkungan bagi jumlah penduduk dan kegiatan yang akan meningkat 10-15 kali lipat di calon ibu kota negara ini.

2. Peta geologi (dan hidrogeologi dan gelogi teknik) pemerintah perlu dimutakhirkan dan lebih didetailkan.

Penelitian doktoral saya dulu memakai data geologi lapangan 1:10rb, data lubang tembak seismic dan data seismiknya sendiri, dan juga data sumur pemboran dalam yang 70-80 % akuisisinya di daerah kawasan calon ibu kota negara, yang luas arealnya konon 40.000 hektare itu (Gambar 3). Saya memanfaatkan akuisisi data geologi dengan peta dasar skala 1:10rb yang dilaksanakan oleh perusahaan minyak VICO Indonesia (sekarang jadi PHSS), yang proyek pemetaan-nya dilakukan bertahap, bersamaan dengan proyek akuisisi data seismic 2D Regional dan 3D local dari tahun 1991 sampai dengan 1998.

Sebagai perbandingan, peta geologi yang dibuat oleh pemerintah (lembar Samarinda dan lembar Balikpapan), keduanya berskala 1:250.000 dan pembuatannya dilakukan dengan menggunakan peta dasar 1:25rb. Dari segi keterincian, tentunya sangat berbeda hasilnya.

Khusus untuk kawasan inti pusat pemerintahan yang luasnya 5644 hektare , data geologi resmi pemerintah tidak terlalu banyak tersedia karena “tertutup”nya daerah itu sejak tahun 1980-an karena ekslusif dipakai untuk kegiatan HPH. Meskipun demikian saya berhasil menggabungkan data seismik yang jarang dengan pengamatan langsung di lapangan (sampai tahun 2012) yang akhirnya menghasilkan resume Blok 3 Dimensi seperti terlihat di Gambar 5 dan 6.

Di diagram 3 dimensi tersebut terlihat bahwa daerah kawasan inti pusat pemerintahan dipotong-potong oleh patahan-patahan naik berarah Timurlaut-Baratdaya yang dalam analisis tektono-sedimentasinya terbentuk di awal pengendapannya sebagai patahan ANJAK-KAKI (toe-thrust fault) di daerah lereng paparan menuju laut dalam. Patahan ini kemudian mengalami reaktifasi Plio-Pleistocene 5 juta thn yang lalu, dimana dia mula terangkat ke permukaan bumi sampai sekarang. Patahan-patahan ini adalah lokasi-lokasi rawan longsor yang harus dipertimbangkan daya dukung-nya terhadap pondasi apabila hendak membangun bangunan – apalagi bertingkat – di daerah tersebut.

3. Lebih mahal?

Dengan adanya batasan-batasan (constraint) geologi yang sebagian dipaparkan di atas, apakah terus jadi lebih mahal lagi biaya untuk membangun IKN baru ini? Mungkin saja.

Yang jelas: kondisi yang digambarkan arsitek atau perencana ibu kota baru itu dengan limpahan air di mana-mana dan hutan yang asri masih asli dan sungai yang mengalir permanen itu secara alamiahnya tidak ada di lokasi calon ibu kota negara di Kabupaten PPU dan KuKar itu. Sungainya yang besar-besar pada umunya sungai pasang surut, bukan sungai permanen. Beberapa sungai kecil di bagian barat kawasan inti pusat pemerintahan mungkin masih berupa sungai “remaja” sampai “dewasa” dan masih tawar airnya, tetapi apakah cukup dibendung untuk kebutuhan 1,5-2 juta jiwa penduduk Ibu Kota Negara nantinya, mesti benar-benar dihitung mass-balance-nya.

Tidak ada danau alamiah dan muka air tanahnya dalam banget, atau malah tidak ada sama-sekali air tanahnya seperti disebutkan di paragraf awal tulisan ini. Air tanah yang cukup melimpah dijumpai di sepanjang sabuk pinggir pantai dr Bontang - Barat Muara Badak - Lampake - Kutai Lama - Handil - Timur Mutiara – Samboja.Tetapi di sebelah barat sabuk itu (yaitu notabene adalah kawasan IKN): air tanahnya susah, dalamnya sampai ratusan meter, kuantitas dan kualitasnya terbatas.

Hutannya pun sekarang gundul dan kalaupun ada sudah jadi HTI (bukan hutan primer), dan banyak tanah longsor karena jenis batuannya endapan laut dalam yang mudah mengembang dan patahan-patahan geologi saling menyilang.

Selain itu banyak juga terdapat lapisan batubara dangkal yang mudah sekali terbakar, terutama di kawasan perluasan Ibu Kota di sepanjang area Bukit Suharto. Hal ini akan jadi faktor penghambat yang harus diatasi dengan rekayasa geoteknik tertentu yang kalau tidak serius perencanaan dan implementasinya bisa bikin runyam kondisi kebencanaannya. Meskipun lokasinya di kawasan perluasan, tetapi efek kebakarannya sudah pasti akan mempengaruhi gerak langkah kehidupan sehari-hari di kawasan pusat pemerintahan ibu kota yang hanya berjarak 10-20 km dari lokasi terdekat batubara terbakar tersebut. Pengurangan risiko dengan dari awal mematikan potensi batubara terbakar ini juga akan jadi bagian “biaya” membangun IKN yang tidak murah.

Sebenarnya, kondisi bumi yang bagaimanapun kompleksnya, kalau kita benar-benar memahaminya: insya Allah bisa direkayasa manusia untuk kepentingan keselamatan dan kenyamanan hidupnya. Masalahnya: biayanya berapa? Dan terlebih lagi: seringkali informasi dan pemahaman tentang kondisi bawah permukaan buminya sendiri tidak dimiliki oleh para perencana permukaan. Kemungkinan besar para perencana tata ruang serba indah masa depan yang menang-menang sayembara itu juga belum memasukkan pertimbangan daya dukung dan geohazardnya.

4. Secepatnya

Lembaga-lembaga pemerintah yang seharusnya memiliki data dan informasi itu: mestinya lantang menyuarakan pentingnya pengayaan dan pendalaman informasi data kebumiannya, karena produk-produk yang mereka ajukan sekarang ini untuk dijadikan dasar perencanaan hanya produk-produk peta atau informasi yg normatif dan “dangkal” dan terlalu regional, paling mutakhir data geologinya 1995 (peta geologi terakhir yang dibikin di sana), dan skalanya 250 ribu.

Bappenas mesti terus berhati-hati dan tidak gegabah dengan proses lanjut perencanaan ini, mesti sedikit “mengalah” dengan pemutakhiran data dasar geologinya dulu baru lanjut dengan perencanaan desain dan sebagainya. TAPI HARUS DILAKUKAN KILAT CEPAT DAN EFISIEN kalau mau diselesaikan perencanaannya sepanjang periode kedua Jokowi ini.

Terakhir malahan saya baca informasi bahwa perencanaan detail akan dilakukan segera di 2020, dan diharapkan selesai pertengahan – akhir 2020. Mohon jangan grusa-grusu, ingat jalan-jalan tol yang kebanjiran, ingat juga dulu Tol Cipularang yang jembatan-jembatan besarnya mesti direparasi karena patahan-patahan dan longsoran-longsoran yang baru ketahuan setelah “bencana” terjadi. Padahal kalau dari awal informasi geologi bawah permukaan yang nggeunah (proper) juga dijadikan rujukan desain dan konstruksi, mestinya hal-hal tersebut bisa dihindari.

Cukup sudah grusa-grusunya. Mari kita lebih serius bekerja untuk kepentingan jangka panjang. Atau jangan-jangan ini hanya untuk kepentingan jangka pendek saja? Mudah-mudahan bukan begitu adanya.

Salam

ADB – Geologist Merdeka!!!

Pertama kali ditulis 23 Desember 2019. Disempurnakan 31 Desember 2019; 21H00

Menjelang malam tahun baru 2020 di Paris:

*Akademisi Universitas Gadjah Mada

Baca juga:

Berita terkait
Konsep 4 Pilar Nagara Rimba Nusa Membangun Ibu Kota
Desain bertema Nagara Rimba Nusa karya Urban+ menjadi Pemenang Pertama Sayembara Gagasan Desain Kawasan Ibu Kota Negara Kementerian PUPR.
Jokowi: Rancangan Ibu Kota Jaga Habitat Bekantan
Presiden Jokowi memastikan rancangan tata kota Ibu Kota Baru di Kaltim pertimbangkan kelestarian lingkungan hidup, seperti habitat bekantan
Ibu Kota Baru di Kalimantan Timur Riskan Banjir
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkap kendala soal lokasi Ibu Kota baru Negara di Kalimantan Timur yang riskan banjir bandang.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.