Profil Abdul Fikri Faqih, Jadi DPR Nikmat atau Istidraj?

Di periode ketiga di DPR, Fikri merasa jabatan yang didudukinya itu sebenarnya nikmat atau istidraj yang menguji imannya kepada Allah SWT.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih. (Foto: Tagar/Nurul Yaqin)

Jakarta - Abdul Fikri Faqih merupakan anggota DPR RI mewakili daerah pemilihan Tegal dan Brebes dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia telah menduduki posisi itu selama dua periode berturut-turut sejak 2014.

Sejak 1999, ia menjadi anggota DPRD Kabupaten Tegal dari Partai Keadilan. Selanjutnya 2004 hingga 2014 menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah melalui partai yang sama namun berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera.

Fikri Faqih lahir di Tegal, Jawa Tengah pada 17 Juli 1963 dari pasangan KH Abdullah Faqih dan Muniroh. Fikri hidup di lingkungan pesantren Ma'hadut Tholabah di Jatimulya, Lebaksiu Kabupaten Tegal. Fikri menikah dengan Zubaidah pada 1990 dan mereka saat ini memiliki tujuh orang anak.

Saya takut kalau jadi (DPR), ini nikmat atau istidraj (nikmat yang Allah berikan kepada orang yang jauh dari-Nya), yang pakai duit itu juga jadi tapi itu manfaat apa tidak, orang itu akhirnya mati juga.

Ia mengenyam pendidikan formal di sekolah negeri Slawi dan belajar mengaji kepada ayahnya yang alumni Pondok Pesantren Tebuireng. Kakeknya dari pihak ayah, Abdul Rauh dan kakeknya dari pihak ibu, Said Sholeh juga seorang kiai.

Sebagai putra kiai, Fikri dibesarkan di bawah pengaruh pondok pesantren, tetapi menyelesaikan pendidikan formal di sekolah negeri. Tamat dari IKIP Negeri Semarang sebagai sarjana pendidikan teknik elektro pada 1986, Fikri mengabdi sebagai guru dengan status PNS.

Pengalaman mengajarnya di beberapa sekolah di Tegal membuatnya dinobatkan sebagai salah seorang guru teladan se-Kota Tegal pada 1988. Namun, ia mengundurkan diri dan memilih bergabung dengan PKS. Pemilu 1999 mengantarnya duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten Tegal.

Dalam struktur partai, Fikri pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS Jawa Tengah sejak 2010 sampai 2015.

Berikut wawancara eksklusif Tagar bersama Abdul Fikri Faqih, yang dikemas dalam format tanya (T) jawab (J).

Patuh Terhadap Ibu

T: Bagaimana masa muda anda ketika masih hidup di asuhan orang tua?

J: Jadi sebenarnya saya adalah orang NU. Ibu saya disekolahkan kakek di PGA, akhirnya kena sekolah dan menjadi guru agama, akhirnya berharap anaknya tidak sipesantrenkan dan sekolah umum.

Bapak saya itu mondok di Tebuireng sekitar 15 tahun, mau pulang kalau dibikinkan pesantren, dijanjikan tetapi tidak jadi.

Saya SD SMP SMA negeri semua, tetapi tetap pagi sekolah umum, sorenya sekolah diniyah. Saya kepengennya pesantren, tetapi ibu saya malah disuruh tes sekolah umum dan masuk terus. Hanya taat kepada orang tua saja.

T: Setelah tamat SMA apa keinginan saat itu?

J: Akhirnya, sampai ketertarikan ke dunia agama jadi berkurang, sehingga pengen kuliah di teknologi di UGM, ITB. Tapi ibu saya minta untuk dampingi anaknya kepala sekolah ibu saya di Semarang. Ibu saya pengen saya jadi guru, akhirnya di IKIP Negeri Semarang jurusan teknik listrik.

Sejak SMP SMA saya aktif di organisasi, OSIS, Pramuka Saka Bhayangkara terus PII (Pelajar Islam Indonesia). Ketika di mahasiswa aktif di senat tapi saya aktif di masjid jadi ketua remaja masjid Al Huda.

Terus di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) ada MPO (Majelis Penyelamat Organsiasi) saya tidak ikut di struktur tetapi sering ikut di Pengkajian Nilai Dasar Islam sama Eggy Sudjana, akrab sama dia sering main di kontrakan.

Protes Kepada Dosen

T: Lulus kuliah apa langsung pulang ke rumah?

J: Saya belum lulus (kuliah) tapi bertengkar dengan dosen. Waktu dulu ada transfer dari sarjana muda ke sarjana penuh. Saya di kuliah itu, saya yang kerjakan (ujian) mereka nyontek tapi lulus sementara saya sendiri nggak lulus karena tulisan saya memang paling jelek.

Saya protes minta di tes lagi karena merasa bisa, tapi tidak bisa, disuruh ikut tahun depan. Akhirnya saya pulang tahun 1986 karena sudah 4 tahun kuliah. Tahun 1987 ada pengumuman dari menteri Pendidikan saat itu 'yang sudah 145 SKS itu sarjana' saya daftar sarjana karena sudah hampir 160 dan lulus.

Menjadi Guru

Terus saya disuruh ngajar di MA Al Iman, Kwaden, Ujungrusi, Kec. Adiwerna dan sekolah Muhammadiyah. Meskipun ibu saya NU tetapi ketika di PGA jadi Nasyiatul Aisiyah karena gurunya orang Muhammadiyah. Makanya saya ngajar di NU juga di Muhammadiyah.

Saya tiap hari nulis, jadi nggak ada hari untuk nganggur. Saya nulis di Koran Masa Kini punya Amien Rais. Tulisan saya dimuat terus tapi nggak dikasih bayar. Satu tulisan 2500 ada 10 tulisan 25 ribu lumayan Tegal Jogja 5 ribu masih ada untung.

Saya ngajar bahasa Inggris karena nggak tahu ijasah saya, akhirnya ketahuan jurusan listrik saya disuruh ngajar di STM Muhammadiyah mau bubar karena nggak ada gedung nggak ada apanya. Itu diserahkan ke saya langsung jadi kepala sekolah.

Di tengah jalan tahun 1989 disuruh daftar jadi PNS, mungkin salah saya agak serius dalam tes akhirnya diterima.

Tapi akhirnya diturunkan dari kepala sekolah 1993 karena berbeda hari riaya. Saudi hari riaya selasa, australia selasa tapi Indonesia Kamis. Ini nggak masuk akal karena kita lebih dulu. Pada dasarnya hari itu bertepatan hari raya nyepi karena takut gaduh.

Tapi nggak berani mecat karena PNS, sampai 1998 saya jadi guru teladan, pertama guru swasta jadi guru teladan, nomor 3. Pukulan buat Muhammadiyah diturunkan dari kepala sekolah tapi jadi guru teladan.

Masuk Politik

T: Bagaimana awal mula terjun ke politik, siapa yang memotivasi?

J: Tahun 1998 ada reformasi, saya ikut Partai Keadilan di Kabupaten Tegal, pada pemilu 1999 jadi Ketua DPD PK Kabupaten Tegal. Pakai nomor urut saya nomor 1, ternyata PK dapat dan itu saya.

Akhirnya saya pamit ke Ibu saya untuk mundur dari PNS, sebenarnya tidak boleh tetapi ibu saya bangga juga karena cita-citanya ingin jadi DPR. Saya masuk Fraksi PPK (Persatuan Pembangunan dan Keadilan), jadi sekretaris fraksi.

Jadi DPRD Kab Tegal 1999-2004. PK tidak ada, menjadi PKS, tapi saya ingin jadi guru saja. Tahun 2004 sempatkan S2 di UMS Solo, saya ingin ngajar dan dirikan lembaga segala macam.

Terus saya masuk di PKS Kabupaten dan daftar ikut DPRD Provinsi Jawa Tengah. Hampir tidak kampanye karena sering muncul di koran.

Akhirnya pindah ke Semarang lagi, karena menurut DPR saat itu anggota harus tinggal di Ibu Kota Provinsi. Saya satu-satunya orang yang berpengalaman jadi DPRD akhirnya dipilih menjadi ketua fraksi pada 2004 hingga 2014. Pada 2009 jadi wakil ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah.

Baru 2014 saya diminta maju menjadi DPR RI dari dapil yang sama (Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Brebes). 2019 kemarin saya ketua DPW PKS Jawa Tengah, sebenarnya 2015 selesai tetapi karena ada dinamika di PKS ada partai baru segala macam. Mudah-mudahan 2020 ini selesai jadi ketua DPW.

Saya sudah mengantarkan kemarin dari 4 kursi menjadi 5 kursi. di Provinsi masih tetap 10 kursi, kabupaten/kota masih bertahan 120 kursi, ada dua kabupaten yang blank yaitu Wonosobo dan Demak. Di provinsi masih jadi pimpina DPR.

2019 lalu sebenarnya sudah merasa selesai tetapi sesuai arahan majelis Syuro lanjut saja. Dapil 1 Semarang dan sekitarnya itu ada mantan Menteri Pertanian Suswono itu dari desa yang sama dengan saya. Nah di Semarang dia merasa tidak nyaman karena tidak punya akar, akhirnya nunjuk saya untuk di dapil Semarang, dia mau ke Tegal. Akhirnya pindah tetapi di tegal gejolak karena saya dekat dengan orang NU maupun Muhammadiyah.

Akhirnya dipanggil lagi saya untuk kembali, saya sudah buat tim di Semarang. Karena di tegal sudah ada nomor urut satu, saya ditawari mau tidak untuk tidak nomor satu. Saya ikut saja pokoknya, mau dimana saja tidak apa, mau nomor dua nomor berapa. karena saya sudah bilang ke istri mau berhenti mau fokus kembali ke pendidikan.

Ternyata kembali ke situ nomor dua, akhirnya 2019 yang jadi saya, dia nomor satu selisih 18.000.

T: Pengalaman apa yang membuat anda berhasil dalam karier politik dan perjuangan apa yang masih belum terwujud?

J: Ke depan saya tidak ada beban, terus terang saya harus berterima kasih pada masjid, PII, Komunitas-komunitas. Saya digembleng disitu tidak bergantung pada jembatan lain-lain.

DPR punya beban citra, itu tidak mudah, saya tidak seperti pada umumnya politikus. Politikus ada dua, politically akseptabel dan technically kapabel, ini nggak ada ukurannya. 

Tetapi akseptabelitas itu sekarang pragmatis, saya tidak menggunakan itu. Makanya kemarin saya dibilang Pak Fikri kalau nggak pakai apa-apa nggak jadi, saya dari dulu nggak pakai apa-apa. Kalau saya beri apa-apa takutnya saya nggak jadi. saya nggak jadi tidak apa-apa.

Saya takut kalau jadi (DPR), ini nikmat atau istidraj (nikmat yang Allah berikan kepada orang yang jauh dari-Nya), yang pakai duit itu juga jadi tapi itu manfaat apa tidak, orang itu akhirnya mati juga. Saya melihat ini tidak mudah makanya cenderung ke isu-isu yang teknis, yang detail. Makanya suara saya tidak terlalu heboh ratusan ribu, cuma 48 ribu.

Sampai suatu hari ada seseorang bilang kalau saya pasti jadi, saya bilang belum pengumuman. Orang itu bilang "Ibu saya lihat di koran, saya di Jakarta, Bandung ditelepon, nanti 17 April milih Fikri. Fikri sinten bu? Pokoknya sekali ini saja manut saya. Disini nggak ada namanya Fikri," disangka semua ada.

Keluarga

  1. Abdurrobbih El Kayyis
  2. Moh. Kholid Labieb Fikri
  3. Moh. Ashim Adz Dzorif Fikri
  4. Afifa Thohiro Fikri
  5. Miqdad Abdul Aziz Adz Dzakiy Fikri
  6. Sumayya Ahida Fikri
  7. Urwah Dzakkiy Umam Fikri. []

Baca juga:

Berita terkait
Profil M Iqbal, Calon Alternatif Pengganti Kapolri
Meski nama Irjen Pol M Iqbal tidak masuk dalam 8 calon pengganti Kapolri Idham Azis. Namun ia cukup potensial menjadi kandidat alternatif.
Siapa Syeikh Nursamad Kamba, Karib Cak Nun Meninggal
Ahli tasawuf Nursamad Kamba merupakan seorang yang berpengalaman dan aktif dalam dunia keislaman.
Profil Cak Nun, Sang Budayawan dan Intelektual Islam
Cak Nun salah satu budayawan dan intelektual muslim asal Jombang, Jawa Timur.