Potensi Zakat Rp 203 Trilun, Baru Masuk Rp 6,2 Triliun

Potensi zakat di Indonesia sangat besar, yakni mencapai Rp 203 triliun.
Ketua Baznas Prof. Dr. Bambang Sudibyo, saat memberikan keterangan pers usai membuka Konferensi Internasional tentang Zakat yang ke-2 di UGM Yogyakarta, Kamis (15/11). (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

Yogyakarta (Tagar, 15/11/2018) - Potensi zakat di Indonesia sangat besar, yakni mencapai Rp 203 triliun. Namun, sampai saat ini yang bisa dihimpun oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) baru Rp 6,2 triliun.

Ketua Baznas Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA mengatakan, dana yang dikelola Baznas dari dana zakat yang dihimpun 2017 lalu Rp 6,244 triliun. Dana tersebut tergolong minim dibanding dengan potensi yang ada.

"Masih minim jumlahnya dibanding dengan nilai potensi intensif pajak, seharusnya bisa Rp 203 triliun," katanya usai membuka Konferensi Internasional tentang Zakat yang ke-2 di UGM Yogyakarta, Kamis (15/11).

Sejumlah negara bakal menghadiri konferensi tersebut. Selain Indonesia, negara seperti Malaysia, Nigeria dan negara muslim lainnya ikut menjadi peserta. 

Pembicara yang hadir antara lain co-founder Al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School Umi Waheeda, Akademisi zakat dari Malaysia Prof. Abdul Ghaffar Ismail, Ketua Lembaga Zakat Nigeria Lawal Muhammad Maidoki.

Bambang mengatakan, potensi zakat Rp 203 triliun tersebut mengacu dari insentif pajak. Dana zakat yang disalurkan ke Baznas selama ini bisa mengurangi nilai pajak.

"Namun dalam pelaksanaannya ternyata tidak semudah itu," akunya.

Menurut dia, salah satu mendongkrak nilai zakat, tidak ada salahnya pemerintah Indonesia meniru kebijakan pemerintah Malaysia. Negeri Jiran mewajibkan warganya membayar zakat seperti kewajiban membayar pajak. Otomatis dana zakat yang dihimpun jauh lebih besar.

Bambang mengungkapkan, untuk menuju ke arah itu perlu melakukan revisi UU nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan UU no 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

"Jika dua UU itu direvisi, jumlah zakat bakal naik lebih dari 3 persen dari PDB nasional atau sekitar Rp 400 triliun," jelasnya.

Langkah lain mendongkrak penerimaan zakat dengan menerapkan digitalisasi. Proses digitalisasi dilakukan dari penyediaan sistem aplikasi untuk memperluas jangkauan, layanan penghimpunan zakat, hingga pendistribusian dana zakat ke mustahik. Seperti lembaga keuangan umumnya, tren saat ini di seluruh dunia melakukan proses digitalisasi.

"Jika tidak melakukan digitalisasi, Baznas dan Laz bakal tersingkir," tegasnya.

Menurut dia, Baznas sudah melakukan perubahan secara internal dalam mendorong proses digitalisasi.

"Digitalisasi zakat ini tidak menghilangkan peran amil dalam menyalurkan zakat," imbuhnya.

Di tempat yang sama, Divisi IT Komunikasi dan Media Baznas DIY Rachmat Kozara mengaku sudah mulai menerapkan sistem digital berupa sistem informasi baznas (Simba) dalam penanganan zakat. Setiap pembayaran zakat infaq sodaqoh (ZIS) dari muzakki diinput ke sistem, lalu didistribusikan kepada mustahik. Data terinput mulai nomor KTP sampai besaran nominalnya.

Dia menjelaskan, sistem ini lebih transparan, untuk transparansi akses hanya diperbolehkan pengurus Baznas saja, tidak ke publik.

"Sedangkan untuk laporan ke publik dan para muzakki, biasanya kami cetak secara tertulis dikirim ke setiap lembaga dan dipublish di website," pungkasnya. []

Berita terkait