Pinjaman Gelap China Bebani Pemulihan Ekonomi Negara Miskin

Kucuran kredit rahasia dari China pengaruhi kebijakan luar negeri negara miskin. Ini merupakan kesimpulan studi sebuah lembaga Jerman
Pelabuhan Internasional Hambantota, Sri Lanka, adalah salah satu proyek infrastruktur terbesar yang dibiayai China (Foto: dw.com/id)

Jakarta - Kucuran kredit rahasia dari China pengaruhi kebijakan luar negeri negara miskin. Ini merupakan kesimpulan studi sebuah lembaga Jerman. Krisis keuangan akibat pandemi membuat fenomena ini jadi masalah global. Kristie Pladson menuliskannya untuk dw.com/id.

China adalah kreditur terbesar bagi negara berkembang. Dalam meminjamkan uang, Beijing menetapkan kondisi khusus yang membuka peluang campur tangannya terhadap kebijakan keuangan dan luar negeri di negara yang bersangkutan.

Kesimpulan itu dirilis oleh Institute for the World Economi (IfW) di Kiel, Jerman, pada pertengahan pekan ini. Penelitian itu menganalisis sekitar 100 perjanjian utang yang dibuat China dengan 24 negara.

Studi ini adalah analisis sistematis pertama terhadap praktik pemberian kredit luar negeri bersyarat oleh China.

menlu china iranMenteri Luar Negeri China, Wang Yi (kiri), dan Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif meneken perjanjian antar kedua negara (Foto: bbc.com/indonesia – Reuters)

Kontrak perjanjian biasanya "menggunakan desain kreatif untuk mengelola risiko kredit dan menembus hambatan hukum,” tulis IfW, yang menilai China sebagai "kreditur yang berotot dan komersial di dunia berkembang.”

Kebanyakan arus kredit dikucurkan untuk membiayai proyek infrastruktur, yang terhubung dengan jaringan Belt and Road Iniative, sebuah proyek infrastruktur raksasa yang menghubungkan China dengan 60 negara di dunia.

1. Sumpah Kerahasiaan

Dalam perjanjian kredit, bank-bank China menggunakan persyaratan yang "melebihi batas komersial,” tulis para peneliti. "Syarat-syarat itu bisa menggandakan pengaruh kreditur terhadap kebijakan ekonomi dan luar negeri debitur.”

Lebih dari 90% perjanjian utang China mencantumkan klausul yang mengizinkan kreditur membatalkan kontrak dan menuntut pelunasan utang, jika terdapat perubahan signifikan dalam kebijakan hukum atau politik di negara peminjam.

Meski klausul perubahan politik tergolong lumrah dalam kontrak kredit, para peneliti menilai situasinya menjadi genting ketika pemberi pinjaman adalah aktor negara, bukan perusahaan swasta yang tunduk pada regulasi keuangan.

Kontrak-kontrak itu juga mengandung "klausul kerahasiaan dengan cakupan luas dan tidak lazim,” tulis para peneliti. "Kebanyakan kontrak itu mengandung atau mencantumkan janji debitur untuk merahasiakan perjanjian.”

Peneliti juga menyebutkan, "Warga di negara peminjam tidak bisa mengawasi pemerintahnya dalam perjanjian utang rahasia.”

Dalam perjanjian itu, China bisa membatalkan kontrak jika tidak setuju dengan kebijakan politik negara peminjam, atau dalam kasus memburuknya hubungan diplomasi.

Studi itu juga menemukan bahwa 30% kontrak utang China mensyaratkan negara peminjam untuk menyimpan uang jaminan di bank milik pemerintah China.

2. Bias Anti-China?

Praktik pinjaman gelap dari China dikhawatirkan akan marak menyusul krisis ekonomi yang dipicu pandemi corona. Negara-negara miskin akan terpaksa mengambil kredit bermasalah demi menyelamatkan perekonomian.

menlu malaysia di china2Menteri Luar Negeri dan Penasihat Negara China, Wang Yi (kanan), bertemu dengan Menteri Luar Negeri Malaysia, Hishammuddin Hussein (kiri), di Nanping City, di Provinsi Fujian, Kamis, 1 April 2021 (Foto: news.cgtn.com).

"Mengingat risiko yang besar, syarat dan kondisi kontrak utang China menjadi kepentingan dunia internasional,” ini disebutkan oleh para peneliti.

Tapi tidak semua menyetujui anggapan bahwa Beijing adalah kreditur lalim. "Narasi ‘diplomasi jebakan utang' menggambarkan China sebagai kreditur yang jahat dan negara seperti Sri Lanka sebagai korban,” tulis Deborah Bräutigam dari Johns Hopkins University dan Meg Rithmire dari Harvard Business School, dalam sebuah artikel untuk The Atlantic.

Menurut kedua guru besar ilmu politik itu, pinjaman sering kali bersifat mendesak bagi negara berkembang. Mereka mencontohkan Sri Lanka yang meminjam uang dari China untuk membenahi pelabuhan internasionalnya yang sudah usang.

"Ekspansi China ke luar negeri, serupa dengan program pembangunan domestiknya, lebih bersifat uji coba dan eksperimental, sebuah proses pembelajaran yang ditandai dengan koreksi yang konstan dilakukan.” (rzn/ae)/dw.com/id. []

Berita terkait
China dan Malaysia Sepakat Jalin Kerja Sama Belt and Road
China dan Malaysia membuat konsensus kerja sama “Belt and Road,” Menlu Malaysia sebut Malaysia dan China adalah keluarga
Iran dan China Teken Perjanjian Kerja Sama Selama 25 Tahun
Menlu China, Wang Yi dan Menlu Iran, Mohammad Javad Zarif, pada Sabtu, 27 Maret 2021, menandatangani perjanjian kerja sama selama 25 tahun
0
Beli Migor Pakai PeduliLindugi Dinilai Sulitkan Rakyat
Masyarakat kelas menengah ke bawah dan tidak semua masyarakat mempunyai android. Dia juga mempertanyakan, mengapa orang susah dibikin susah.