Untuk Indonesia

Pilpres 2019, Eksploitasi Masa Lalu

Pilpres 2019, eksploitasi masa lalu. Mengapa usaha membangkitkan masa lalu dianggap urgen bagi kubu-kubu yang sedang bertarung?
Warga mengenakan topeng pasangan Capres Cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat melakukan aksi di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Jumat (10/8/2018). Aksi tersebut sebagai bentuk suka cita dan dukungan masyarakat kepada kedua pasangan Capres-Cawapres yang akan maju pada Pilpres 2019 serta berharap pilihan Presiden 2019 berjalan dengan aman dan damai. (Foto: Ant/Mohammad Ayudha)

Tak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting sanggup menangkap tikus.

Saat-saat menjelang kampanye pemilihan presiden adalah momentum untuk membangkitkan kembali ingatan publik tentang masa lalu, yang dibingkai sesuai dengan kepentingan politik kandidat yang bertarung dalam perebutan kursi kekuasaan.

Begitu juga dengan Pemilihan Presiden 2019, yang melibatkan dua pasangan capres-cawapres, yang melibatkan kubu petahana pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin versus Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno.

Pasangan Capres-CawapresWarga mengenakan topeng pasangan Capres Cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat melakukan aksi di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Jumat (10/8/2018). Aksi tersebut sebagai bentuk suka cita dan dukungan masyarakat kepada kedua pasangan Capres-Cawapres yang akan maju pada Pilpres 2019 serta berharap pilihan Presiden 2019 berjalan dengan aman dan damai. (Foto: Ant/Mohammad Ayudha)

Kubu petahana yang didukung tim sukses, relawan dan simpatisan, sebagaimana yang pernah dilakukan dalam Pilpres 2014, bisa diduga akan mengeksploitasi masa lalu yang kelabu pihak penantang.

Sebaliknya, kubu penantang pun tak menyia-nyiakan catatan masa lalu petahana. Makna masa lalu di sini tentu bisa dalam pengertian masa lalu yang jauh maupun masa lalu yang dekat.

Mengapa usaha membangkitkan masa lalu dianggap urgen bagi kubu-kubu yang sedang bertarung?

Beberapa faktor bisa disebut: pertama, pada umumnya publik tak begitu menaruh minat pada persoalan sosial politik masa lalu. Perhatian mereka tersedot pada persoalan keseharian yang menyangkut ikhtiar untuk bertahan dari tantangan yang mereka hadapi saat ini. Makanya, politikus berusaha menarik perhatian mereka ke problem masa lalu.

Kedua, bagi kaum muda, yang tak mengalami zaman lampau, membangkitkan kembali masa lalu dianggap efektif untuk menggiring mereka dalam menentukan pilihan politik saat pencoblosan.

Maka pertarungan wacana tentang masa lalu pun tak terelakkan. Pertarungan wacana itu berlangsung sengit bukan di forum-forum yang resmi, seperti yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pilpres. Yang sengit justru berlangsung, baik di media massa ataupun di media sosial.

Mengacu pada pengalaman Pilpres 2014, salah satu wacana yang dimainkan adalah latar belakang kandidat, bahkan latar belakang keluarga kandidat, yang dikaitkan dengan organisasi atau partai politik yang berhaluan kiri dan menjadi partai terlarang di kemudian hari.

Sebuah tabloid bernama Obor Rakyat pun diterbitkan untuk mengeksploitasi wacana tentang masa lalu kandidat, yang belakangan terbukti di pengadilan bahwa fakta-fakta yang disiarkan di tabloid itu adalah fiktif belaka.

Karena salah satu kandidat dalam Pilpres 2014 adalah sosok yang punya latar belakang kemiliteran, yang mempunyai hubungan dekat dengan keluarga penguasa otokrat era Orde Baru, aspek yang bertaut dengan kekerasan antidemokrasi inilah yang dieksploitasi kubu lawan.
Kandidat yang sama, yang berlatar belakang militer dan punya hubungan dekat dengan keluarga rezim Orba, itu kembali berlaga memperebutkan kursi kepresidenan 2019.

Latar belakang kandidat yang punya sejarah masa lalu yang kelam ini boleh jadi akan kembali dieksploitasi, sedikitnya oleh mereka yang bergiat di ranah media sosial.

Untuk kepentingan mematangkan demokrasi di Tanah Air, tampaknya perlu dijadikan refleksi politik bersama bahwa sebegitu pentingkah mengungkap kembali masa lalu kelam masing-masing kandidat presiden itu?

Mengungkit kembali masa lalu terlalu berlebihan akan melupakan persoalan fundamental saat ini, yang berkutat di persoalan kesejahteraan masyarakat.

Mengajak publik untuk tidak memilih seorang kandidat hanya karena kandidat yang bersangkutan adalah sosok yang berasal dari keluarga yang bergabung dalam partai politik terlarang adalah seruan yang tak bersentuhan dengan persoalan kekinian.

Yang lebih perlu disorot justru kesanggupan sang kandidat dalam menyelesaikan persoalan masa kini, bukannya mengait-ngaitkan latar belakang masa silam yang sudah tak bersangkut-paut dengan persoalan aktual.

Begitu juga dengan pembangkitan kembali latar belakang militeristik kandidat yang di masa lalu punya andil besar dalam menculikan aktivis demokrasi.

Usaha membangkitkan masa lalu yang negatif dari masing-masing kandidat itu agaknya dilatarbelakangi oleh asumsi tak masuk akal bahwa keterpilihan sang kandidat akan membangkitkan kembali masa lalu kelam itu saat sang kandidat berkuasa.

Asumsi yang tak masuk akal itu menafikkan kekuatan dan komitman publik untuk menjaga dan melanjutkan demokrasi yang telah diperjuangkan secara berdarah-darah sejak reformasi 1998.

Itu sebabnya, wacana yang perlu digaungkan dalam kampanye menyongsng Pilpres 2019 adalah narasi yang berkaitan dengan persoalan sosial ekonomi mutakhir. Bagi publik yang terpenting adalah mengalami kehidupan yang sentosa, jauh dari kelaparan, penyakit, kebodohan dan kriminalitas.

Bagi penantang, mewacanakan soal sulitnya memperoleh pelayanan kesehatan yang layak bagi kaum miskin atau setengah miskin justru lebih riil bagi pemilih.

Kaum pragmatis akan bilang bahwa mereka tak peduli dengan latar belakang sang penguasa, yang penting penguasa itu sanggup memecahkan persoalan ekonomi dengan menyediakan rakyat makan yang cukup dan layanan kesehatan yang memadai, terjangkau. Dalam bahasa penguasa China, pandangan pragmatis itu dicetuskan dalam formulasi sintaksis berikut: tak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting sanggup menangkap tikus.

Pragmatisme inilah yang perlu dijadikan sikap politik masing-masing kubu kandidat dalam mengatasi persoalan aktual di masa kampanye Pilpres 2019.

Ada keuntungan politik jika pragmatisme ini dipilih sebagai sikap masing-masing kandidat menyongsong perlehatan demokrasi mendatang, yakni kedua kubu menjauhkan publik dari perseteruan yang tak produktif.

Demokrasi yang sudah ditata, dipagari dengan berbagai aturan konstitusional telah menutup rapat-rapat kembalinya kekuatan otokratis yang dikhawatirkan oleh beberapa pihak.

Itu sebabnya, menyongsong Pilpres 2019, mari berwacana tentang masa kini yang sarat dengan persoalan mutakhir! (M Sunyoto/ant)

Berita terkait