Pidato Politik SBY dan Etika Mantan Presiden

Secara etis mantan presiden tidak boleh mengkritik penggantinya di depan publik
Susilo Bambang Yudhoyono (Foto: Ant)

Jakarta, (Tagar 17/9/2018) - Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru saja menyampaikan pidato politiknya dalam rangka ulang tahun ke-17 Partai Demokrat yang dia pimpin. Dalam pidato politik tersebut, SBY bercerita lebih banyak tentang keberhasilannya memimpin Indonesia selama 10 tahun ketika dia menjadi presiden.

Tak lupa, dalam bagian pidato tersebut dia juga mengkritik berbagai persoalan bangsa yang saat ini terjadi pada masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

Mencermati apa yang dilakukan SBY tersebut, menjadi menarik mengangkat kembali tulisan  Prof. Dr. Henry Subiakto, Guru Besar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang pernah terbit di Tagar News 23 Januari 2017 lalu tentang etika mantan presiden.

Berikut ini tulisan Henry Subiakto:

Walaupun Donald Trump dinilai banyak pihak sangat kontroversial, dianggap rasis, dan mendapatkan tudingan negatif lainnya, saat ia dilantik selaku Presiden Amerika Serikat (AS) di Washington DC pada 20 Januari 2017, semua mantan Presiden AS hadir dalam acara pelantikan presiden di negara "Paman Sam" itu.

Itulah tradisi demokrasi Amerika. Para mantan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan AS yang masih hidup hadir pada acara pelantikan Trump. Tidak peduli mereka dari partai lawan atau partai kawan.

Ada Jimmy Carter yang sudah tua, ada George Bush, dan ada Bill Cinton dengan istrinya Hillary, serta tentu ada Barack Obama dengan istrinya, Michell Obama.

Mereka hadir menghormati sang presiden baru, Donald Trump. Para mantan presiden itu kompak hadir, menunjukkan kesatuan AS. Ini sudah menjadi tradisi lama mereka. Menjadi tradisi yang indah dalam demokrasi di Amerika.

Baca Juga: Pidato Politik, SBY Cerita Kisah Suksesnya 10 Tahun Jadi Presiden

Kendati pada pemilihan presiden di negara itu bersaing ketat, saat salah satu terpilih, semua hadir menyatu atas nama kepentingan negara dan demokrasi.

Apakah tradisi baik seperti ini juga ada di Indonesia? Di negeri ini politik sering masuk sebagai persoalan personal. Perbedaan politik acapkali menjadi konflik personal. Maka tak heran kalau tradisi menghadiri pelantikan presiden dan upacara resmi kenegaraan sering tidak dihadiri para mantan presiden.

Ada lagi tradisi demokrasi yang bagus di AS, yaitu mantan presiden tidak lagi tampil dalam wacana-wacana politik. Secara etis mantan presiden tidak boleh mengkritik penggantinya di depan publik.

Kita sulit menemukan kritikan George Bush pada Barack Obama. Atau kritikan Bill Clinton pada George Bush. Nanti Obama pun harus menghindarkan diri dari sikap mengkritik Trump. Itu sudah menjadi etika tak tertulis.

Di Indonesia, etika mantan presiden mundur dari kancah politik semacam itu disebut Pak Harto sebagai lengser keprabon mandeg pandito. Soeharto setelah lengser tidak mau berkomentar tentang politik, apalagi kritik pada presiden penggantinya.

Pak Habibie yang biasa hidup dalam budaya Jerman, juga tidak pernah mengkritik presiden-presiden setelahnya. Gus Dur juga mencoba membangun tradisi itu. Walau Gus Dur diturunkan saat menjabat, setelah lengser ia tidak menyerang atau mengkritik penggantinya.

Tetapi apakah tradisi itu berlanjut? Anda bisa melihat sendiri bagaimana sikap Bu Mega dan Pak SBY dalam beberapa tahun terakhir ini.

Para negarawan sebagai tokoh-tokoh demokrasi memang sudah seharusnya memegang teguh etika dan mengembangkan sikap-sikap kenegarawanan.

Justru tidak elok kalau para mantan presiden itu saling kritik atau saling serang dengan penggantinya, hanya karena kepentingan politik praktis sesaat. []

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.