Perjalanan Hidup Pedagang Abu Gosok 13 Anak di Bekasi

Seorang pedagang abu gosok di Bekasi, Wagiono, mengisahkan perjalanan hidupnya. Wagiono mengaku pernah bekerja di beberapa perusahaan ternama.
Tumpukan abu gosok di dalam gerobak kayu lusuh milik Wagiono, di kawasan Rawalumbu, Bekasi. (Foto: Tagar/Faza Nidwana Ribhan)

Bekasi – Gerobak kayu lusuh terparkir di bawah pohon, di tepi jalan sekitar Kali Rawalumbu, tepat di seberang lapak penjual burung berkicau. Puluhan kantong plastik berwarna putih berisi abu gosok memenuhi gerobak itu, juga beberapa karung. Susunannya tidak teratur dan jauh dari kesan rapi.

Ceceran abu berwarna kelabu tersebar di antara kantong-kantong plastik tersebut. Sesekali ceceran itu tertiup angin yang timbul saat beberapa kendaraan bermotor melintas, melayang bersama asap tipis yang timbul dari knalpot.

Seorang pria tua yang tak kalah lusuh dari gerobak berdiri tidak jauh dari alat angkut tersebut. Pria itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan rambutnya tertutup oleh peci hitam. Masker merah putihnya melorot hingga ke dagu, tak lagi menutupi hidung dan mulut. Kumisnya yang sebagian memutih terlihat jelas.

Wagiono, pria tua itu, sedang mengatur plastik-plastik berisi abu gosok saat terdengar suara berderit dari seberang jalan. Namun dia tidak terganggu dengan suara yang timbul dari gesekan pintu besi dengan relnya.

Pagi itu, Rabu, 9 Desember 2020, cuaca cukup cerah. Udara di kawasan Rawalumbu pun belum terlalu penuh asap knalpot kendaraan. Tapi, suasana pagi sedikit terganggu dengan aroma tak sedap dari Kali Rawalumbu yang airnya menghitam akibat limbah.

Wagiono tak bergeming dari tempatnya akibat aroma itu. Dia tetap mengatur plastik-plastik berisi abu gosok dagangannya.

Gerobak Pembawa Rezeki

Wagiono tinggal cukup jauh dari Rawalumbu, tepatnya di kawasan Tambun, atau sekitar 10 kilometer dari tempatnya memarkir gerobak berisi abu gosok pagi itu.

Biasanya Wagiono berangkat dari rumahnya sebelum azan Subuh berkumandang, berjalan menyusuri jalanan aspal bersama gerobak yang setia mendampinginya selama belasan tahun.

Cerita Penjual Abu Gosok (2)Wagiono sedang menakar abu gosok dari dalam karung untuk dikemas dalam plastik berukuran lebih kecil. (Foto: Tagar/Faza Nidwana Ribhan)

Saat azan Subuh terdengar, Wagiono akan bergegas mencari masjid atau musala terdekat untuk menunaikan salat Subuh berjamaah. Menudian kembali melanjutkan langkah, mengais rezeki untuk keluarganya.

Bukan hanya saat waktu Subuh, Wagiono juga selalu menyempatkan diri singgah di masjid atau musala saat waktu salat lain tiba dan dia masih di perjalanan.

Biasanya pukul 06.00 Wagiono sudah tiba di tempat yang ditujunya untuk menjual abu gosok. Bukan hanya di Rawalumbu, Wagiono menjajakan abu gosok miliknya hingga ke beberapa tempat di kota Bekasi. Summarecon, Jatiasih, dan Kemang Pratama, adalah tempat-tempat yang biasa ia singgahi untuk berteduh dan menjajakan abu gosoknya terjual.

Saya jualan pakai gerobak lusuh gini laku, kalau pakai motor atau mobil gak bakal laku.

Sambil tetap bercerita, Wagiono mengatur dagangannya. Dia juga membungkus ulang abu gosok menggunakan kantong plastik, sambil menunggu pembeli datang. Tangannya sigap menyendok abu gosok dari karung berukuran besar dan dimasukkan ke kantong lain yang lebih kecil.

Sambil membungkuk, dia mengira-ngira jumlah abu gosok yang dimasukkan ke dalam plastik. Ketika dianggapnya jumahnya sesuai dengan takaran, dia pun mengikat kantong plastik itu. Wagiono tidak menggunakan timbangan untuk mengemasnya. Hanya mangkuk putih bergambar ayam sebagai penakar.

Sesekali abu-abu itu berterbangan tertiup angin, lalu berjatuhan ke dalam gerobak tuanya. Wagiono meyakini gerobak yang digunakannya untuk berdagang abu gosokitu mendatangkan rezeki, dan menarik simpati para pembeli.

Harga abu gosok yang dijualnya cukup bervariasi, tergangtung pada banyaknya abu gosok, mulai dari Rp 4 ribu hingga Rp 15 ribu.

Abu gosok itu dibelinya dari pedagang besar secara dalam jaringan (daring) atau online dalam jumah besar, yakni 350 karung. Dia memperkirakan abu gosok itu akan habis dalam jangka waktu setahun. Ia memilih untuk membeli dari orang lain dibandingkan membuatnya karena memakan waktu cukup lama dan tidak terlalu menguntungkan.

Abu gosok yang dijualnya berasal dari hasil pembakaran limbah padi. Manfaatnya sangat banyak, misalnya untuk mencuci piring, membuat telur asin, pengganti pasir untuk kotoran kucing, atau membersihkan noda pada alat dapur. Dengan wajah senang Wagiono menjelaskan secara rinci perihal abu gosok.

Kini, abu gosok sudah tidak banyak dipergunakan karena banyak bahan-bahan pengganti abu gosok yang lebih praktis dan higienis. 

Semakin sedikitnya penjual abu gosok, Wagiono melihatnya sebagai peluang untuknya berjualan. Dalam dua hari ia bisa menghabiskan satu karung yang dapat dibungkus menjadi 40 kantong plastik.

Menghidupi 13 Anak

Wagiono hidup bersama seorang istri dan 13 anak. Anak pertamanya sudah bekerja sebagai penjual mie ayam dan anak terakhirnya baru menduduki bangku SMP. Dengan pengalaman Wagiono yang hanya tamat SD, ia bercita-cita menyekolahkan anak-anaknya hingga kuliah.

Anak terakhir Wagiono bermimpi untuk kuliah di bidang manajemen. Ia dengan senang hati menyambut mimpi anaknya. Ia sama sekali tidak mengeluh soal biaya. “Gak Perlu takut, saya yakin nanti juga dikasih sama Allah,” ucapnya sambil tersenyum.

Ketika membicarakan soal anak-anaknya, tidak ada rasa khawatir dalam raut wajah Wagiono. Ia sangat optimis dan tidak terlihat kesulitan dalam menghidupi mereka.

Di sela-sela aktivitasnya menyiapkan dagangan, Wagiono meraba kantong bajunya, mengeluarkan dompet yang dimasukkan ke dalam plastik. Dompet itu bukan berisi uang, tetapi foto-foto keluarganya yang ia laminating agar tidak luntur terkena basah. Dompet kecil itu selalu ia bawa ketika pergi berjualan.

Cerita Penjual Abu Gosok (3)Wagiono terlihat serius mengatur dan menakar abu gosok jualannya. (Foto: Tagar/Faza Nidwana Ribhan)

Ia menunjukkan foto seorang wanita berpakaian berwarna hijau. Rambut perempuan itu bergelombang dengan panjang sebahu, dan sedang tersenyum. Bagian mata pada foto tersebut luntur terkena air sehingga tidak terlihat. Namun wajah cantik itu tetap terpancar.

Dengan wajah tersenyum dan nada suara bangga, ia menunjukkan foto istrinya sambil mengatakan bahwa istrinya cantik. “Mau tunjukin aja kalau istri saya memang cantik banget, gak bohong saya.”

Dulu, setiap pagi, Wagiono berangkat dari rumahnya dengan pakaian rapi, berpamitan untuk mencari uang kepada istri dan anak-anaknya. Mereka tidak tahu bahwa Wagiono mencari nafkah dengan cara menjual abu gosok, sebab istrinya sering meremehkan abu gosok yang ia jual. Saat malam datang dan dia selesai menjual, Wagiono mengganti pakaiannya sebelum pulang, sambil membawa sekantong buah-buahan hasil penjualannya untuk istri dan anak.

Menurutnya, beberapa dari keluarga sang istri merupakan orang-orang yang berkecukupan secara materi. Namun Wagiono tidak mau memanfaatkan hal tersebut dan tetap berusaha dari bawah dengan hasil jerih payahnya sendiri.

Ketika ditanya soal umur, Wagiono sudah mulai lupa. “Sekitar tahun 60an, ketika ada PKI mungkin saya berumur 7 tahunan, sudah bisa lari-larian,” ujarnya mengenang.

Selain umur, Wagiono juga sudah lupa sejak kapan tepatnya ia mulai memutuskan untuk menjual abu gosok. Ia hanya menceritakan perjalanan panjangnya hingga memutuskan untuk menjadi penjual abu gosok setelah menekuni berbagai bidang pekerjaan lain sebelumnya.

Kata Wagiono, kehidupannya sebelum menjadi penjual abu gosok cukup baik. Ia pernah bekerja di perusahaan-perusahaan ternama, membangun apartemen besar di Jakarta, menjadi perakit sepeda, kerja di perkantoran selama 10 tahun, hingga akhirnya ia menjadi penjual abu gosok. Baginya yang terpenting adalah menafkahi keluarga dan bisa mencukupi kehidupan sehari-hari.

“Saya gak pernah khawatir besok makan apa, ada beras atau nggak, yang penting saya kerja dulu, usaha dulu.” []

(Faza Nidwana Ribhan)

Berita terkait
Ambil Risiko Demi Hak Pilih Warga Karatina Mandiri di Sleman
Relawan Satgas Covid-19 di Desa Nogotirto, Kabupaten Sleman, mendatangi rumah warga yang karantina mandiri agar mereka bisa memilih di pilkada.
Sinar Mentari dan Kenyal Manisnya Sari Kelapa di Bogor
Produsen sari kelapa atau nata de coco di Bogor bisa menjual satu ton lembaran sari kelapa per minggu saat bulan Ramadan tiba.
Perajin Batu Bata Berkejaran dengan Banjir dan Hujan
Menjadi perajin batu bata merupakan pekerjaan sebagian Desa Bangunreja, Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap. Ini kendala mereka.