Jakarta - Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Pidana atau DIHPA Indonesia mencurigai ada yang disembunyikan dari Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) lantaran aksesnya yang hingga kini sulit didapat.
"Kesulitan mengakses dokumen resmi UU tersebut menjadi permasalahan tersendiri. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada yang disembunyikan dari isi UU tersebut," ujar DIHPA Indonesia dalam siaran persnya yang diterima Tagar dari pakar hukum pidana Fachrizal Afandi, Minggu, 11 Oktober 2020.
Harusnya UU ini dibentuk dengan cermat, hati-hati, dan kajian yang dilakukan lebih teliti dan rinci.
Kendati demikian, dengan mengacu pada dokumen yang sudah banyak beredar, Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Pidana tetap mencoba melakukan penelaahan sederhana terhadap UU Ciptaker.
Baca juga: Omnibus Law Cipta Kerja Disahkan Wakil Parpol, Bukan Wakil Rakyat
Mereka pun menyebut UU tersebut mengandung semangat pembaharuan dalam memberikan kemudahan izin berusaha dan terobosan hukum menangkap peluang invesitasi.
"Namun, agar tidak melanggar prinsip negara hukum, harusnya UU ini dibentuk dengan cermat, hati-hati, dan kajian yang dilakukan lebih teliti dan rinci," ucapnya.
Diketahui, DPR dan pemerintah setuju mengesahkan UU Ciptaker dalam Rapat Paripurna pada Senin, 5 Oktober 2020 lalu. Keputusan ini diambil berdasarkan suara terbanyak.
Baca juga: Isi Surat Sultan HB X ke Presiden Jokowi soal Omnibus Law
Adapun partai yang menyetujui di antaranya, PDI Perjuangan (PDIP), Gerindra, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Sementara partai politik yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja menyebabkan masyarakat melakukan aksi unjuk rasa dan melalukan penolakan di sejumlah daerah, puncaknya pada Kamis, 8 Oktober 2020. Aksi turun ke jalan ini merupakan rangkaian mogok nasional dan protes yang dilakukan kelompok buruh hingga mahasiswa dan pelajar. []