Perda AIDS Kota Tangerang Tidak Berikan Solusi Konkret Tanggulangi HIV/AIDS

Perda AIDS Kota Tangerang, Banten, saja saja dengan 150-an Perda AIDS di Tanah Air yang hanya mengumbar pasal-pasal normatif sebagai orasi moral
Ilustrasi. (Sumber: clarksvillenow.com)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id – Sampai November 2022 sudah diterbitkan sekitar 150-an peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS tingkat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.

Salah satu di antaranya yaitu Peraturan Daerah (Perda) Kota Tangerang Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang disahkan pada tanggal 10 Juni 2021 oleh Wali Kota Tangerang Arief R. Wismansyah.

Sama seperti Perda-perda lain dalam perda inipun tidak ada pasal-pasal yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS dan mencegah penularan HIV.

Di Pasal 7 (1) disebutkan: Kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS terdiri atas:

a. promosi kesehatan;

b. pencegahan penularan HIV;

c. pemeriksaan diagnosis HIV;

d. pengobatan, perawatan, dan dukungan; dan

e. rehabilitasi.

Persoalannya adalah promosi kesehatan tentang HIV/AIDS yang dikemas dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS tenggelam sedangkan yang muncul dan sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan seks bebas, pergaulan bebas, zina, pelacuran dan homoseksual. Padahal, secara faktual penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, pergaulan bebas, zina, pelacuran dan homoseksual), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (Lihat matriks sifat dan kondisi hubungan seksual).

matriks sifat dan kondisi hubungan seksualMatriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Lalu, bagaimana mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual?

Pencegahan Penularan HIV disebut di Pasal 11 (1): Pencegahan penularan HIV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dapat dicapai secara efektif dengan cara menerapkan pola hidup aman dan tidak berisiko.

Pertanyaannya adalah: Apa dan bagaimana cara menerapkan pola hidup aman dan tidak berisiko secara nyata?

Sayang, dalam Perda tidak ada penjelasan yang rinci dan akurat tentang apa itu pola hidup aman dan tidak berisiko di pasal-pasal berikutnya.

Untuk diketahui ada 10 pintu masuk HIV/AIDS melalui hubungan seksual yaitu:

(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(4). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(5). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, cewek prostitusi online, yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(6). Laki-laki dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan waria yang tidak diketahui status HIV-nya. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong),

(7). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan waria heteroseksual yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi waria tidak memakai kondom,

(8). Perempuan dewasa heteroseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom,

(9). Laki-laki dewasa homoseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal dan seks oral) dengan pasangan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi yang menganal tidak memakai kondom,

(10). Laki-laki dewasa biseksual yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks anal, seks vaginal dan seks oral) dengan laki-laki atau perempuan yang berganti-ganti yang tidak diketahui status HIV-nya dengan kondisi tidak memakai kondom.

ilustrasi epidemi hivIlustrasi epidemi HIV/AIDS (Sumber: hindustantimes.com/Pixabay)

Tidak ada pasal untuk melakukan intervensi dalam konteks mencegah penularan HIV/AIDS melalui perilaku seksual berisiko di atas sehingga insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.

Kondisinya kian runyam karena orang-orang yang tertular melalui perilaku berisiko di atas tidak menyadari bahwa mereka sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan mereka.

Hal itu diperburuk karena pemberitan di banyak media massa dan media sosial selalu mengumbar tanda-tanda, gejala-gejala dan ciri-ciri HIV/AIDS tanpa memberikan penjelasan tentang prakondisi yang bisa menyebabkan penularan HIV/AIDS.

Akibatnya, banyak orang yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tertular HIV, tapi karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri mereka marasa dirinya aman artinya tidak tertular.

Karena dalam Perda AIDS Kota Tangerang tidak ada pasal yang bisa mencegah perilaku seksual berisiko di atas, maka tidak mengherankan kalau kasus baru HIV terus terdeteksi.

Selanjutnya di Pasal 12 (1) tentang Pemeriksaan Diagnosis HIV disebutkan: Pemeriksaan diagnosis HIV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dilakukan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV.

Ini adalah langkah di hilir yaitu dilakukan terhadap warga yang sudah melakukan perilaku seksual atau nonseksual berisiko.

Jika bicara soal mencegah penularan HIV sedini mungkin adalah mencegah warga tidak melakukan perilaku seksual dan nonseksual yang berisiko. Ini di hulu.

Yang jelas program penanggulangan HIV/AIDS dan pembuatan Perda AIDS di Tanah Air hanya mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.

Namun, lagi-lagi tidak ada dalam Perda ini langkah yang konkret untuk mencegah penularan HIV melalui perilaku seksual dan nonseksual berisiko.

Begitu juga dengan pengobatan, perawatan, dan dukungan di Pasal 16 merupakan kegiatan di hilir yaitu terhadap warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS yang berarti mereka sudah melakukan perilaku berisiko.

Di Pasal 36 tentang kewajibkan disebutkan: Setiap orang wajib: a. memeriksakan kesehatannya secara rutin pada fasyankes apabila berisiko atau yang telah terinfeksi HIV atau AIDS.

Pernyataan ini tidak tegas karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan berisiko. Selain itu status HIV hanya bisa diketahui melalui tes HIV bukan pemeriksaan kesehatan.

Yang menginfeksi itu HIV bukan AIDS sehingga pernyataan ‘terinfeksi HIV atau AIDS’ salah kaprah.

Maka, bunyi pasal ini adalah: Setiap orang wajib menjalani tes HIV secara sukarela di Fasyankes jika pernah atau sering melakukan perilaku seksual atau nonsekual yang berisiko terjadi penularan HIV/AIDS (dengan catatan ada penjelasan tentang perilaku seksual atau nonsekual yang berisiko terjadi penularan HIV/AIDS).

Pasal 43 tentang peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS dengan cara:

a. Meningkatkan Pemahaman Agama;

b. mempromosikan perilaku hidup sehat;

c. meningkatkan ketahanan keluarga;

bisa menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap warga yang mengidap HIV/AIDS karena mereka dianggap tidak mempunyai pemahaman terhadap agama, tidak mempunyai perilaku hidupyang sehat serta tidak mempunyai ketahanan keluarga.

Maka, Perda AIDS Kota Tangerang ini sama saja dengan Perda AIDS yang lain tidak memberikan solusi yang tepat untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
KPA Kabupaten Tangerang Berikan Bekal Informasi HIV/AIDS yang Benar Bagi Pelajar SMA dan SMK
KPA Kab Tengerang gelar workshop sehari bagi pelajar SMA dan SMK agar memahami HIV/AIDS dengan informasi yang benar