Jakarta - Pengamat hukum pidana sekaligus Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (Persada UB) Malang, Fachrizal Afandi menyoroti penanganan penyidikan yang dilakukan kepolisian.
"Pascapemisahan polisi dari ABRI, praktis penanganan perkara pidana di tahapan penyidikan berada dalam kontrol polisi, yang sayangnya masih enggan untuk melepas kultur dan birokrasi militeristiknya," ujar Fachrizal melalui siaran pers yang diterima Tagar, Rabu, 9 September 2020.
Agar masyarakat yang dirugikan akibat perlakuan aparat dapat mengajukan komplain terhadap haknya yang dilanggar
Akibatnya, kata Fachrizal, sebagaimana temuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), penanganan perkara yang dilakukan polisi masih didominasi unsur kekerasan dan tidak berlandaskan hukum acara.
"Dalam banyak kasus penahanan, penyitaan, dan penggeledahan barang bahkan digunakan tidak untuk tujuan pengumpulan bukti namun hanya sebagai sarana represi," ucapnya.
Menurut Fachrizal, keadaan itu diperburuk dengan kasus penangkapan aktivis yang kritis dan penyitaan barang yang acap kali tidak berhubungan dengan penanganan perkara.
Oleh sebab itu, Fachrizal menilai pengaturan penyidikan tambahan dan supervisi penyidik oleh jaksa di dalam Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan merupakan upaya pengembalian fungsi penyidikan.
"Untuk pengembalian fungsi upaya paksa (penangkapan, penahanan dan penyitaan) ke asalnya untuk kepentingan pembuktian di pengadilan," kata dia.
Kendati begitu, Fachrizal menilai revisi UU Kejaksaan itu juga perlu diikuti revisi KUHAP agar mekanisme kontrol kepada penyidik dan penuntut di tahap pra ajudikasi melalui Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat disahkan.
- Baca juga: RUU Kejaksaan Solusi Praktik Penyidikan Polri Serampangan
- Baca juga: DPR: Pendidikan Humanis Jangan Ubah Jadi Militeristik
"Agar masyarakat yang dirugikan akibat perlakuan aparat dapat mengajukan komplain terhadap haknya yang dilanggar," kata Fachrizal. []