Penukaran Uang Secara Terbuka Bisa Jadi Pemicu Kecemburan Sosial

Warga yang mempunyai uang, tentu saja dalam jumlah yang lumayan banyak, bisa menukarkan uang kertas dan uang logam lama dengan yang baru
Ilustrasi – (Foto: depok.pikiran-rakyat.com/Aji Styawan/Antara)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id – Setiap menjelang Nataru (Natal dan Tahun Baru) serta Idulfitri Bank Indonesia (BI) selalu menyediakan tempat-tempat penukaran uang secara terbuka di kas keliling.

Warga yang mempunyai uang, tentu saja dalam jumlah yang lumayan banyak, bisa menukarkan uang kertas dan uang logam lama dengan lembaran atau kepingan baru.

Memang, salah satu perbedaan mata uang rupiah dengan beberapa mata uang, seperti dolar AS, adalah lembaran uang kertas rupiah dilipat, diremas, diplintir, dicoret-coret bahkan distaples. Padahal, lembaran dolar yang bekas lipatan saja akan berkurang nilai tukarnya.

Lembaran atau kepingan rupiah baru dipakai untuk diberikan kepada anak-anak yang datang mengucapkan salam sebagai salam tempel. Hal ini merupakan kebiasaan yang sudah membumi di Nusantara sebagai bagian dari keramaian hari raya.

Sedangkan tradisi pada Imlek lembarang uang dimasukkan ke dalam amplop khusus dengan ragam gambar terkait Imlek yang disebut angpau.

Salam tempel dan angpau di hari raya tidak ada masalah karena hal itu justru menambah keceriaan, terutam anak-anak, sebagai bekal untuk jajan karena selama puasa mereka tidak bisa jajan.

Maka, kegembiraan anak-anak di hari raya dibarengi dengan mengunjungi rumah famili dan tetangga dengan harapan mendapatkan angpau atau salam tempel.

Karena namanya hari raya dengan semua yang serba baru, mulai dari pakaian sampai sepatu, tentulah isi angpau dan salam tempel juga harus lembaran rupiah yang baru.

Untuk itulah warga menukarkan uang lama (yang masih berlaku) dengan lembaran atau kepingan rupiah yang masih baru.

Yang menjadi persoalan besar adalah liputan media, terutama TV, yang menunjukkan warga yang membawa segepok uang lama untuk ditukarkan dengan lembaran dan kepingan rupiah baru.

Jangankan segepok rupiah, tidak sedikit warga yang bahkan tidak mempunyai selembar uang pecahan Rp 100.000. Pada saat yang sama ada warga yang menukarkan segepok lembaran rupiah lama dengan yang baru.

Gambar itu bisa menjadi pemicu kecemburuan sosial karena dilakukan secara terbuka di tengah-tengah ketiadaan sebagian besar warga yang hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan ada yang tergolong dalam kualifikasi kemiskinan ekstrem.

logo BIFILE - Logo Bank Indonesia di kantor pusat BI di Jakarta, 19 Januari 2017. (Foto: voaindonesia.com/REUTERS/Fatima El-Kareem).

Secara umum menukarkan uang lama dengan yang baru tentulah hal yang lumrah, apalagi dikaitkan dengan angpau dan salam tempel. Tapi, realitas sosial di social settings kondisi itu bisa menjadi bagian dari pembeda antara Si Kaya dan Si Miskin.

Apa dan bagaimana cara seorang ayah atau ibu dari kalangan Si Miskin ketika ditanya anak-anaknya: Yah atau Bu, kapan kita menukarkan uang baru?

Pertanyaan itu menusuk kalbu yang mendorong tetesan air mata karena tidak ada jawaban yang bida diberikan orang tua dari kalangan Si Miskin kepada anak-anaknya.

Sementara itu kalangan Si Kaya pulang ke rumah membawa segepok lembaran uang kertas rupiah baru yang selanjutnya dipilah-pilah sebagai bagian untuk angpau atau salam tempel.

Agaknya, BI tidak melakukan rekayasa sosial dalam melayani warga yang menukarkan uang secara terbuka terkait dengan dampak buruknya.

Kondisi itu akan mendorong kecemburuan sosial yang tumbuh subur karena kelemahan sebagian orang yang tidak bisa menerima adanya perbedaan status dalam starata masyarakat. Pada gilirannya akan mendorong keresahan terpendem ibarat api dalam sekam. Ini bisa jadi pemantik perilaku massa yang tidak terkendali.

Selain itu perlu juga memberikan syarat bagi warga yang menukarkan uang yaitu mempunyai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) untuk mendeteksi apakah warga tersebut sudah membayar pajaknya.

Ketika ada anjuran agar tidak melakukan perbuatan yang mengarah ke hedonisme** bisa saja ada yang beranggapan penukaran uang secara terbuka juga sebagai bagian dari, maaf, hedonisme.

Alangkah arif dan bijaksana jika BI menyediakan bilik atau ruangan yang khusus untuk menukarkan uang lama jelang hari raya agar tidak demonstratif atau gembah uyah di tengah-tengah deraan ekonomi yang dihadapi sebagai besar warga dalam kehidupan di negeri ini.

Bagaimanapun sebagai lembaga negara BI sejatinya menjaga nilai-nilai sosial agar tidak menimbulkan friksi yang berujung pada kecemburuan sosial. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

**Hedonisme (KBBI: pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup

Berita terkait
Jelang Lebaran Idulfitri 2022, Jasa Penukaran Uang Mulai Bertebaran di Pinggir Jalan
Hari Raya Idulfitri sangat identik dengan adanya pemberian uang Tunjangan Hari Raya (THR) baik untuk saudara maupun kerabat dekat lainnya.