Yogyakarta - Kondisi cuaca dingin akhir-akhir ini merupakan hal yang biasa menjelang puncak musim kemarau. Hal ini disebabkan posisi dari gerak semu matahari di belahan bumi utara, sementara Indonesia berada di belahan bumi selatan.
Pakar iklim dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Andung Bayu Sekaranom mengatakan akibat gerak semu matahari tersebut permukaan bumi menerima lebih sedikit energi radiasi dan menyebabkan cuaca menjadi lebih dingin.
BMKG memprediksi puncak musim kemarau pada Agustus sehingga bulan September sudah mulai hujan.
“Selain itu, kalau dilihat dari keseimbangan energi di bumi. Selain bersumber dari radiasi matahari, juga ada radiasi gelombang panjang yang dikeluarkan oleh bumi,” ujarnya kepada Tagar, Kamis, 30 Juli 2020.
Andung menungkapkan jika kondisi cenderung berawan, sebagian radiasi tersebut akan dipantulkan kembali ke permukaan bumi. Hal ini menyebabkan temperatur menjadi lebih hangat. Sementara jika cuaca cerah, radiasi tersebut akan hilang sampai ke luar angkasa sehingga temperatur menjadi lebih dingin.
Baca juga:
- Puncak Suhu Dingin di Malang Raya Terjadi Agustus
- Penyebab Suhu Udara di Yogyakarta Terasa Dingin
- BMKG Ingatkan Warga Aceh Hadapi Cuaca Ekstrem
Menurutnya, kondisi kemarau tahun ini cenderung lebih lembab dibandingkan kondisi rata-ratanya. Setelah tahun kemarin kemarau berkepanjangan akibat El Nino lemah, tahun ini curah hujan cenderung lebih tinggi.
“BMKG memprediksi puncak musim kemarau pada Agustus sehingga bulan September sudah mulai hujan,” ujarnya.
Iklim yang berubah saat ini terutama dipengaruhi oleh peningkatan gas rumah kaca di atmosfer akibat dari aktivitas manusia seperti transportasi, industri. Telah terjadi pula kenaikan temperatur hingga 0,3 derajat celcius per dekade dan diprediksi terus meningkat higga naik 1-2 derajat pada tahun 2100.
Selain temperatur, frekuensi curah hujan ekstrem juga meningkat dan perubahan musim menjadi semakin tidak pasti.
“Dampak yang dirasakan terutama banjir yang semakin meningkat pada musim penghujan. Tidak jarang hujan lebat juga mengakibatkan bajir bandang dan longsor yang semakin sering,” katanya.
Andung menilai beberapa dekade ini musim kemarau menjadi semakin kering, kejadian kebakaran hutan juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sementara untuk dampak pertanian, petani semakin kesulitan menentukan awal dan akhir masa tanam. Seringkali masa tanam padi belum selesai tapi kondisi sudah kering sehingga mengakibatkan gagal panen.
Melihat prediksi musim kemarau yang tidak terlalu parah sebagaimana tahun kemarin maka bencana yang ditimbulkan diprediksi juga tidak terlalu parah. Namun, di beberapa lokasi yang rawan kekeringan masih perlu waspada dan sebisa mungkin menghemat air.
Masyarakat bisa melakukan konservasi secara sederhana, misal dengan menanam pohon dan membuat resapan air sehingga saat musim kemarau kondisi tidak akan kering.
Selain itu, potensi kebakaran hutan dan lahan juga masih ada meskipun lebih rendah, sehingga diimbau kepada masyarakat untuk tidak sembarangan membakar sampah ataupun membuang puntung rokok di daerah yang kering.
“Khusus untuk daerah pegunungan cuaca akan menjadi lebih dingin pada malam dan pagi hari dibanding biasanya, derah yang tinggi dan lembab seperti Dieng akan berpotensi rawan embun upas,” ujarnya. []