Untuk Indonesia

Penguatan KPK Melalui Revisi UU KPK (Bagian 1)

Sebuah tulisan opini dari Siti Noor Laila, mantan komisioner Komnas HAM tentang perlunya penguatan KPK melalui revisi UU KPK.
Dukungan terhadap revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengalir di Kota Makassar. (Foto: Tagar/Rio Anthony)

Oleh: *Siti Noor Laila

Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme merupakan salah satu tuntutan Reformasi yang diperjuangkan mahasiswa dan rakyat Indonesia pada tahun 1998. Tuntutan ini kemudian disikapi oleh pemerintah, mulai dari Presiden Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. 

Komitmen pemerintah pada pemberantasan korupsi tidak perlu diragukan. Masyarakat dapat mengawal melalui berbagai kebijakan yang menguatkan pemberantasan korupsi.

Periode Gus Dur membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), yang dibentuk melalui Keppres dan dibubarkan karena ada judicial review di MA. Pada periode Megawati melahirkan UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berlaku hingga sekarang;

Situasi sosial dan politik pada saat pembuatan UU KPK tersebut adalah semangat yang sangat kuat untuk melakukan pemberantasan korupsi, namun institusi hukum yang ada (kepolisian dan kejaksaan) dinilai belum dapat dipercaya untuk melakukan pemberantasan korupsi secara efektif, karena lembaga tersebut pada rezim Orba menjadi bagian dari gurita kekuasaan yang syarat dengan KKN. Karena itu, pembentukan KPK sebagai Lembaga anti rasuah diberi kewenangan yang sangat besar, berjalan tanpa pengawasan langsung, dan bahkan mengabaikan asas kepastian hukum dan penghormatan terhadap HAM.

Setelah 17 tahun UU KPK berjalan, dan juga perubahan situasi sosial dan politik dimana konsolidasi demokrasi mulai berjalan, KPK mendapatkan dukungan publik untuk melakukan pemberantasan korupsi, publik juga bisa melakukan pengawasan, kritik dan masukan secara terbuka. Karena itu, menjadi proses yang wajar kalau perlu dilakukan revisi terhadap UU KPK tersebut, dengan prinsip memperkuat KPK tanpa mengabaikan penghormatan terhadap hukum lainnya.

Komitmen pemerintah pada pemberantasan korupsi tidak perlu diragukan, dan masyarakat dapat mengawal hal ini melalui berbagai kebijakan yang menguatkan pemberantasan korupsi. Presiden Jokowi menyampaikan komitmennya bahwa tindak pidana korupsi merupakan “musuh bersama” dan tidak setuju pada perubahan UU KPK yang dapat mengurangi efektifitas kerja-kerja KPK.

OTT KPKBupati Lampung Utara, Agung Ilmu Mangkunegara (tengah) berjalan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 8 Oktober 2019. (Foto: Antara/Aditya Pradana Putra)

Tindak pidana korupsi tidak hanya menjadi persoalan bangsa Indonesia saja, namun menjadi perhatian dan keprihatinan mayarakat internasional. Karena itu untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, juga pengembalian asset-aset hasil tindak pidana korupsi, lahirlah The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003. Pemerintah sudah melakukan pengesahannya melalui UU No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2oo3.

Revisi UU KPK, Memperbaiki Yang Seharusnya

Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia, termasuk pertumbuhan ekonomi. Korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan. Diperlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan.

Tindak pidana korupsi bukan merupakan tindak pidana kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, namun merupakan tindak pidana serius yang harus menjadi komitmen kuat pemerintah, legislatif, yudikatif, seluruh Lembaga negara, dan bangsa Indonesia untuk menjadikan Gerakan Bersama Anti Korupsi. Hal ini merupakan amanat reformasi, dimana pada Rezim Orde Baru korupsi, kolusi dan nepotisme sangat menggurita.

Extra Ordinary Crime dalam Satuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, Pasal 5 menyatakan bahwa “Kejahatan yang Termasuk dalam Jurisdiksi Mahkamah, pada ayat (1). Jurisdiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan. 

Mahkamah mempunyai jurisdiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatan-kejahatan berikut: (a) Kejahatan genosida; (b) Kejahatan terhadap kemanusiaan; (c) Kejahatan perang; (d) Kejahatan agresi. Jika merujuk pada peraturan perundang-undangan di Indonesia, diatur dalam Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Berat, “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan”. 

Demonstrasi tolak Perppu KPKDemonstrasi tolak Perppu KPK dari massa yang mengatasnamakan Masyarakat Penegak Demonstrasi (MPD) di depan Gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta pada Jumat 4 Oktober 2019, sekitar pukul 15.00 WIB. (Foto: Tagar/Fernando P)

Unsur perbuatan Kejahatan Genosida adalah perbuatan yang menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian, sasarannya kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan unsurnya adalah serangan yang meluas atau sistematik, ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Komandan adalah pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban.

Tindak pidana korupsi harus dilakukan penanganannya secara serius, tidak cukup dengan pemberantasan melalui penindakan, namun secara sistematis harus dilakukan pencegahannya, sehingga peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi semakin sempit. Karena itu, pemerintahan di era reformasi kemudian membentuk KPK dengan kewenangan sangat besar dan dengan cara-cara yang luar biasa untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Seperti, kewenangan penyadapan yang dimulai dari penyelidikan dan dilakukan tanpa perlu izin dari pengadilan, kewenangan sebagai penyelidik, penyidik, sekaligus penuntut umum, pengadilan khusus dengan hakim khusus Tipikor, OTT, dll. 

Perjalanan 17 tahun KPK dengan kewenangan yang sangat besar, namun di sisi lain masih banyak juga terjadi korupsi, bahkan terjadi secara berulang di kementerian yang sama (Kemenag dan Kemenpora), tentu hal ini perlu kita refleksi dan evaluasi bersama. (Bersambung)

*Siti Noor Laila, Komisioner Komnas HAM 2012 – 2017 dan Deklarator dan Dewan Pakar Seknas Jokowi


Berita terkait
Apa Harus Ada Pimpinan KPK, Baru Jalan Ini Diaspal
Jalan ke rumah pimpinan KPK terpilih Lili Pintauli Siregar mendadak mulus. Pemko Medan dituding mengistimewakan pembenahan jalan ke sana.
Sudirman Said Jawab Tudingan Ingin Kuasai KPK
Sudirman menyayangkan isi cuitan tersebut dibuat begitu hebat dan dikemas dengan canggih namun bertujuan untuk membunuh karakter dirinya.‎
Desakan Perppu KPK, Peneliti LIPI: Biar UU Jalan Dulu
Peneliti LIPI Wasisto Raharjo Jati menilai ada beberapa poin dari ICW logis, namun tak setuju jika perppu UU KPK diterbitkan berdasarkan desakan.