Pengamat Politik Tegaskan Tak Ada Potensi Kejadian Kudeta Sri Lanka Terjadi di Indonesia

Fernando Emas nilai tidak ada potensi dari tragedi krisis ekonomi dan politik yang berujung mundurnya Presiden Sri Lanka.
Warga yang marah dengan kondisi ekonomi kembali menduduki kediaman resmi Presiden Gotabaya Rajapaksa untuk hari kedua di Kolombo, Sri Lanka, Senin 11 Juli 2022. (Foto: voaindonesia.com/AP)

TAGAR.id, Jakarta - Direktur Rumah Politik Indonesia (RPI), Fernando EMaS, menilai tidak ada potensi dari tragedi krisis ekonomi dan politik yang berujung mundurnya Presiden Sri Lanka.

Menurutnya, berdasarkan laporan dari lembaga keuangan negara bahwa perekonomian Indonesia saat ini sangat baik dan juga ketersediaan kebutuhan masyarakat sampai saat ini masih dapat dipenuhi oleh pemerintah.

“Sehingga saya melihat sampai saat ini tidak ada potensi kejadian di Sri Lanka akan terjadi di Indonesia. Pemerintahan Jokowi saat ini sangat solid dan kuat dalam menghadapi potensi-potensi ancaman yang ingin mengganggu stabilitas negara dan juga mengganggu kepemimpinan Jokowi,” kata Fernando, hari ini.

Ditegaskan Fernando, tim ekonomi yang mumpuni seperti Sri Mulyani akan mampu membawa Indonesia lepas dari krisis ekonomi yang melanda beberapa negara dan mengancam seluruh dunia. Jokowi, lanjut Fernando, dinilai akan mampu mengakhiri kepemimpinannya sampai tahun 2024 dengan baik dan membawa Indonesia untuk tetap lepas dari krisis ekonomi.

Hanya saja, kata dia, Jokowi dan para pembantunya untuk tetap waspada terhadap kelompok-kelompok yang selama ini selalu berupaya merongrong kekuasaannya dan juga mengganggu stabilitas negara.

"Diharapkan akan terus menjaga ketersediaan kebutuhan masyarakat yang rawan dimanfaatkan untuk membuat ricuh di masyarakat,” pungkasnya.

Seperti diktahui, Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa akan mengundurkan diri pada 13 Juli 2022. Gotabaya mundur setelah krisis ekonomi melanda dan memicu aksi protes di mana masyarakat sampai menggeruduk kediamannya.

Krisis yang terjadi di Sri Lanka sebenarnya telah dimulai sejak 2019. Berdasarkan laporan Nikkei dikutip detikcom, Minggu (10/7/2022), krisis yang terjadi saat ini diawali dengan insiden pengeboman di Kolombo dan kota-kota lain pada April 2019 yang menewaskan lebih 250 orang.

Kejadian itu memberikan pukulan serius bagi industri pariwisata dan diperparah dengan hadirnya pandemi COVID-19.

Arus mata uang asing susut tajam karena turis meninggalkan Sri Lanka, dan pengiriman uang dari 1,5 juta pekerja Sri Lanka yang tinggal di luar negeri anjlok. Sri Lanka juga mendapat pukulan inflasi yang tinggi dari krisis rantai pasok global.

Masalah tak berhenti di situ, meroketnya harga komoditas setelah invasi Rusia ke Ukraina juga memperparah keadaan. Hal itu memicu kenaikan biaya impor, penurunan cadangan devisa, kekurangan pasokan, dan inflasi yang tinggi.[]

Berita terkait
Indonesia Berpotensi Susul Sri Lanka Jadi Negara Gagal, Ini Saran Partai Gelora untuk Pemerintah
Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelora Achmad Nur Hidayat meminta pemerintah Indonesia untuk lebih cermat dalam mengatur keuangan.
Survei Indikator Politik Patahkan Narasi Indonesia Bisa Seperti Sri Lanka
Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi soal dalam survei Indikator Politik Indonesia.
KBRI Kolombo Belum Berencana Evakuasi WNI dari Sri Lanka
KBRI di Kolombo, Sri Lanka, mengatakan belum berencana mengevakuasi warga negara Indonesia di negara itu di tengah meluasnya aksi unjukrasa