Kebetulan saya lagi jalan-jalan ke ChristCurch, Selandia baru. Udaranya segar banget. Di musim yang mereka sebut panas, suhunya berkisar 17 derajat. Sebagai manusia tropis, saya harus pakai jaket tebal dan jadi aneh karena orang yang lalu lalang banyak yang pakai kaos untuk jalan-jalan.
Mirip dengan kota-kota lain di negara maju, kota ini penuh dengan taman dan ruang publik untuk duduk santai. Meski juga penuh dengan gedung beton, pohon tumbuh di mana-mana. Paru-paru rasanya jadi lega menghirup udara yang - nauzubillah - segarnya.
Lalu saya buka Facebook untuk melihat kota dengan gubernur yang katanya "tercerdas" di dunia. Dan membaca berita ratusan pohon di Monas ditebang untuk diganti dengan beton.
Gubernur "cerdas" ini saya yakin jalan lebih jauh dari saya. Dia sudah keliling dunia ke manapun. Tapi anehnya, keputusannya seperti keputusan orang udik yang wawasannya jauh lebih sempit dari orang-orang yang nongkrong di warkop kecil Bu Satiyem di dekat rumah.
Jakarta adalah kota dengan kualitas udara terburuk kedua di dunia sesudah Hanoi. Itu saja sudah naik 2 peringkat dari sebelumnya yang juara 4.
Pantas dulu ketika dipecat Presiden, saya sempat kaget dan menelepon seorang teman yang ada di dalam istana.
Dan bukannya menambah taman kota dengan menanam pohon di mana-mana untuk memperbaiki kualitas udara, malah sibuk menebangi pohon yang bertugas mengganti udara buruk kita.
Jakarta jelas akan makin panas dan kualitas udaranya tambah hancur. Mungkin dalam waktu dekat, Jakarta akan jadi juara dalam lomba kualitas udara buruk. Dan itu bagi Gubernur mungkin prestasi, yang penting juara.
Entah azab apa yang menimpa kota besar itu. Keunggulan Gubernur cuma "seiman" doang dengan rasa "pribumi". Selebihnya sibuk renovasi dan revitalisasi dengan biaya miliaran. Kayak aji mumpung jadi pimpinan, buat proyek sebanyak-banyaknya untuk kumpulkan dana buat pilpres mendatang.
Pantas dulu ketika dipecat Presiden, saya sempat kaget dan menelepon seorang teman yang ada di dalam istana. "Kenapa?" tanya saya. "Enggak bisa kerja," kata teman itu. "Seberapa enggak bisanya, dari skala 1 sampe 10?" tanya saya lagi penasaran.
Temanku ketawa ngakak, "Nol, bro. Nol. Jokowi ngamuk karena sempat yakin kerjanya seindah presentasinya."
Dan baru saya sadar beberapa waktu ini. Yang dibangun hanya emosi para pendukungnya, bukan dampak kinerjanya. Karena doi tahu, emosi berkaitan dengan suara pemilih kelak, sedangkan dampak pembangunan tidak ada korelasinya dengan suara yang dibutuhkan.
Azablah Jakarta. Tapi itu yang dimaui oleh pemilihnya. Yang penting santun dan seiman. Lain-lainnya, "Serahkan Tuhan saja."
Sambil seruput kopi terbaik di dunia, saya kebayang memikirkan hancurnya Indonesia seandainya kelak doi memimpin negara. Karena masih banyak orang bodoh yang lebih memikirkan emosi daripada memilih dengan kesadaran diri.
Ugh, enaknya kopi di sini. Pantas Starbuck enggak laku, karena kalah bersaing dengan kafe kopi lokal yang menjamur di mana-mana.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Tulisan ini sebelumnya telah di-publish di laman Facebook Denny Siregar dengan judul Indahnya Gubernur Seiman
Baca juga:
- Denny Siregar: Jakarta Kasih ke Risma, Beres Semua
- Denny Siregar: Banjir Tahunan dan Kita Makin Bodoh