Pemerintah Wajibkan Produk Industri Logam Ber-SNI

Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian terus mendorong pelaku usaha sektor logam untuk menghasilkan produk yang berstandar nasional
Kegiatan produksi di PT Krakatau Steel Tbk. (Foto: Instagram/@krakatau.steel)

Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana menambah penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang bersifat wajib terhadap sejumlah produk logam. Hal tersebut ditujukan untuk memperkuat daya saing industri di Tanah Air sekaligus menjaga keamanan pasar dalam negeri.

"Masih terdapat ribuan SNI sukarela bidang industri yang bersifat tidak mengikat dan berpotensi untuk kita diwajibkan dalam rangka pengamanan pasar dalam negeri, termasuk untuk sektor industri logam," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahadi melalui siaran pers seperti dikutip Tagar, Selasa, 1 September 2020.

Menurut Doddy, penerapan SNI wajib mampu menekan impor yang tidak bertanggung jawab. 

"Jadi, kita dapat mengawasi dan melakukan tindakan hukum sehingga penyerapan pasar terhadap produk industri nasional bisa lebih optimal. Contohnya bagi industri baja," ucapnya.

Sejauh ini terdapat 147 kode HS yang tersebar pada 28 SNI wajib di sektor logam. 

"Hal ini sepertinya merupakan celah membanjirnya produk-produk impor ke pasar dalam negeri jika tidak mendapatkan perhatian serius dari segenap pemangku kepentingan dalam pertumbuhan industri baja nasional," ujar Doddy.

Terlebih, baja menjadi salah satu komoditas vital dalam perindustrian dan dikelompokkan sebagai industri hulu dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN). Doddy menuturkan bahwa baja juga sering disebut sebagai mother of industries lantaran menjadi bahan baku utama yang berguna sebagai penunjang kegiatan di sektor lain, seperti industri otomotif, elektronik, dan maritim.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan pemerintah bertekad untuk terus melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk impor. 

"Oleh karena itu, diperlukan instrumen guna memacu daya saing produk nasional sekaligus menjaga kesehatan serta keselamatan konsumen dan lingkungan," katanya.

Pemberlakuan SNI secara wajib yang fokus utamanya untuk produk-produk yang berkaitan dengan keamanan, kesehatan, keselamatan manusia, dan lingkungan (K3L) menjadi instrumen yang umum diterapkan. 

"Dengan tetap mengedepankan asas fairness dalam perdagangan internasional, implementasi SNI wajib dapat bertujuan untuk meningkatkan akses pasar luar negeri dan menekan laju impor," ucap Agus.

Senada, Presiden Direktur PT Sunrise Steel Henry Setiawan mengatakan kebutuhan baja lapis aluminium-seng (BjLAS) nasional sejauh ini sebesar 1,5 juta ton pertahunnya. 

Ini sebenarnya sudah bisa dipenuhi oleh industri dari dalam negeri sesuai dengan kapasitas terpasangnya.

"Namun, kondisi yang masih banyak terjadi impor BjLAS, sehingga industri dalam negeri belum berani memaksimalkan kapasitas produksinya," kata Henry yang juga tercatat sebagai Direktur Utama PT Kepuh Kencana Arum.

Dody menuturkan perlu adanya penguatan industri dalam negeri dan pembatasan impor terutama produk yang sudah bisa diproduksi oleh industri dalam negeri seperti produk BjLAS. Ini bertujuan guna mewujudkan target substitusi impor sebesar 35 persen pada tahun 2022 mendatang.

Berita terkait
Kemenperin Dukung Pengembangan IKM Logam Dharmasraya
Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mendukung pembangunan sentra industri kecil menengah (IKM) logam di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.
Listrik Nyala, PLN Dukung Industri Perbatasan Tumbuh
PT PLN (Persero) mendorong pertumbuhan industri di daerah perbatasan dengan menyalakan listrik dilokasi pabrik PT Kayu Mukti Timber (KMT).
Menko Luhut Bidik Pengembangan Industri Wisata Medis
Indonesia dinilai bisa menjadi pemain penting dalam industri wisata medis global mengingat besarnya potensi dari sisi jumlah penduduk
0
Elon Musk Sebut Pabrik Mobil Baru Tesla Rugi Miliaran Dolar
Pabrik mobil baru Tesla di Texas dan Berlin alami "kerugian miliaran dolar" di saat dua pabrik kesulitan untuk meningkatkan jumlah produksi