Pemerintah Sesumbar Sebut pada Tahun 2030 Indonesia Bebas AIDS

Indonesia, melalui Kemenko PMK, disebut bebas AIDS pada 2030, tapi tidak ada program yang konkret untuk mencegah infeksi HIV baru di hulu
Ilustrasi. (Sumber: subpng.com)

Renungan Hari AIDS Sedunia 2022

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 1 Desember 2022. Redaksi.

Menuju Indonesia Bebas AIDS 2030” Ini judul artikel di kemenkopmk.go.id (7/3-2020). Jika disimak artikel itu sama sekali tidak ada cara-cara yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui hubungan seksual tanpa kondom (disebut hubungan seksual yang tidak aman), di dalam dan di luar nikah, terutama pada laki-laki dan perempuan dewasa.

Laporan terakhir Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P), Kemenkes RI, tanggal 9 November 2020 melalui siha.kemkes.go.id (24/11-2022) menunjukkan dari tahun 1987 sampai 31 Maret 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 466.978 yang terdiri atas 329.581 HIV dan 137.397 AIDS.

Sedangkan estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia 640.000 (aidsdatahub.org). Itu artinya ada 173.022 warga yang mengidap HIV/AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) tapi tidak terdeteksi.

Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik warga yang mengidap HIV/AIDS.

Kondisinya kian runyam karena banyak media (media massa dan media online) yang mengumbar ciri-ciri, tanda-tanda dan gejala-gejala HIV/AIDS tapi tidak menyebut prakondisi yang menyebabkan ciri-ciri, tanda-tanda dan gejala-gejala HIV/AIDS.

Prakondisi yang bisa menyebabkan ciri-ciri, tanda-tanda dan gejala-gejala HIV/AIDS adalah pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Sebaliknya, biar pun tidak ada ciri-ciri, tanda-tanda dan gejala-gejala HIV/AIDS pada diri seseorang tapi yang bersangkutan pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS itu artinya ada risiko tertular HIV/AIDS.

Celakanya, pintu masuk HIV/AIDS yang paling potensial justru melalui hubungan seksual yang tidak aman yaitu laki-laki dan perempuan dewasa tidak memakai kondom setiap kali melalukan hubungan seksual yang berisiko, jika dibandingkan dengan risiko penyebaran HIV/AIDS melalui jarum suntik pada penyalahgunaan Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) secara bersama-sama dengan bergantian jarum suntik.

Beberapa daerahpun, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota juga ada yang sesumbar daerahnya akan bebas AIDS, dalam hal ini infeksi HIV baru, pada tahun 2030. Celakanya, semua pernyataan hanya sebatas orasi moral yang tidak memberikan langkah konkret terkait dengan cara menghentikan insiden infeksi HIV baru.

Lagi pula epidemi HIV/AIDS tidak mengenal batas wilayah, daerah bahkan negara karena virus (HIV) ada di daerah orang-orang yang mengidap HIV/AIDS sehingga risiko penyebaran HIV/AIDS terjadi jika mereka melakukan perilaku seksual berisiko di mana saja dan kapan saja di muka bumi ini.

Pertanyaan yang sangat mendasar untuk pemerintah, dalam hal ini Kemenko PMK atau Kementerian Kesehatan, bagaimana cara untuk mencegah warga melakukan perilaku seksual berisiko? (Lihat matriks perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual pada laki-laki heteroseksual).

Matriks Perilaku Seksual Laki-laki Heteroseksual yang Berisiko Tertular HIV AIDSMatriks: Perilaku Seksual Laki-laki Heteroseksual yang Berisiko Tertular HIV/AIDS (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Tidak ada intervensi (memaksa laki-laki memakai kondom) yang bisa dilakukan terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti karena hal itu terjadi di ranah privasi. Bahkan, ada yang sah menurut agama tertentu yaitu mempunyai istri lebih dari satu.

Intervensi yang bisa dilakukan hanya pada laki-laki heteroseksual yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Tapi, ini hanya bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir seperti yang dijalakan Thailand melalui program ‘wajib kondom 100 persen.’

Program itu berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru di Thailand. Data di aidsdatahub.org menunjukkan dengan pariwisata yang didukung industri seks jumlah kasus HIV/AIDS di Thailand 470.000 dengan 5.400 infeksi baru per tahun. Bandingkan dengan Indonesia dengan kasus 640.000 dan 46.000 kasus infeksi baru per tahun.

Kondisinya kian runyam karena praktek pelacuran di Indonesia sudah pindah ke media sosial yang juga diramaikan dengan prostitusi online sehingga mustahil dijangkau untuk menerapkan seks aman.

Baca juga: Lokalisasi Pelacuran dari Jalanan ke Media Sosial

Begitu juga dengan perilaku seksual berisiko yang dilakukan perempuan dewasa sama sekali tidak bisa dijangkau untuk melakukan intervensi seks aman (Lihat matriks perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual pada perempuan heteroseksual).

Matriks Perilaku Seksual Perempuan Heteroseksual yang Berisiko Tertular HIVAIDSMatriks: Perilaku Seksual Perempuan Heteroseksual yang Berisiko Tertular HIV/AIDS (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Maka, yang perlu dilakukan pemerintah adalah penanggulangan di hulu bukan di hilir (tes HIV, pemberian obat antiretroviral/ARV, cegah stigma dan diskriminasi) yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Tanpa program yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS di hulu, maka insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi.

Laki-laki yang tertular HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran terjadi tanpa disadari yang merupakan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS' di Indonesia yang bisa saja, amit-amit, Indonesia jadi ‘afrika kedua’ sebagai episentrum AIDS. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Penyebutan LSL yang Rancu dalam Berita HIV/AIDS
Pemakaian istilah LSL dalam berita HIV/AIDS sering tidak tepat karena tidak semua murni laki-laki gay, ada yang mempunyai istri