Pemerintah Lindungi Anak dari Ancaman Intoleransi

Narasi Indonesia Baru (NIB) bersama Gerakan Alumni UI untuk NKRI melakukan gerakan inisiatif dalam rangka Hari Anak Nasional.
Sejumlah siswa SD memainkan alat musik ukulele saat peluncuran program 'Ukulele Masuk Sekolah' di SD Inpres 42 Ambon, Desa Amahusu, Ambon, Maluku, Selasa 23 Juli 2019. Program 'Ukulele Masuk Sekolah' sebagai salah satu pelajaran muatan lokal di sekolah sekaligus bagian dari peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2019. (Foto: Antara/Izaac Mulyawan)

Jakarta - Narasi Indonesia Baru (NIB) bersama Gerakan Alumni UI untuk NKRI melakukan gerakan inisiatif  dalam rangka Hari Anak Nasional 23 Juli 2019. Gerakan ini dilakukan untuk memenuhi hak anak mendapatkan pendidikan yang layak.

Terkait dengan mutu pendidikan anak, Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara dalam ajarannya mengatakan, pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia yang menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir.

Pemerintah menerapkan ajaran Ki Hadjar Dewantara dengan UU RI No 20 Th 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, Pasal 3 yang berbunyi, 

"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertanggungjawab menjamin terselenggaranya pendidikan yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (UU RI No 20 Th 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab III, Pasal 4, Ayat 1)

Sayangnya beberapa tahun belakangan ini, prinsip penyelenggaraan pendidikan dicederai oleh sejumlah praktik yang mengarah pada sikap diskriminatif dan intoleran oleh pendidik terhadap peserta didik. 

Beberapa kasus yang berkembang di masyarakat seperti, aturan siswa dan siswi berbusana muslim di SD Negeri Karangtengah III Wonosari, SMP Negeri 8 Yogyakarta, atau SMP Negeri 3 Genteng, Banyuwangi yang mewajibkan siswi non-muslim berpakaian muslim. Hal itu jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Praktik intoleransi dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Survei tahun 2018 oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah terhadap 2.237 guru muslim di 34 provinsi menemukan bahwa enam dari sepuluh guru muslim memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain.

Kegiatan pendidikan yang mendiskriminasikan peserta didik berdasarkan latar belakang agama, suku, dan ras sangat mencederai Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Hal ini sangat memprihatinkan dan tentunya berbahaya karena intoleransi dapat menjadi faktor pemecah belah bangsa.

Dukung Langkah Sistematis Pemerintah

Ajakan kepada orang tua untuk bergerak dan mendukung Pemerintah melakukan langkah sistematis mengatasi intoleransi di lembaga pendidikan telah kami sebarkan melaui petisi daring change.org dengan tajuk "Dorong Pemerintah Ambil Langkah Konkret Atasi Intoleransi Di Lembaga Pendidikan". 

Petisi yang diluncurkan mulai akhir Juni lalu, hingga kini telah didukung lebih dari 30 ribu penandatangan. Rencananya, hasil petisi ini akan diserahkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof. Dr. Muhajir Effendy, M.A.P. 

Berawal dari petisi ini, diharapkan lebih banyak orang tua bergerak untuk ikut mencegah atau melaporkan praktik intoleransi di sekolah terutama sekolah negeri.

Sutradara dan produser film Nia Dinata yang ikut menandatangani petisi ini mengatakan, tindakan intoleran itu biasanya enggak kita sadari sudah terjadi. Lalu akhirnya tumbuh kebencian terhadap sesama warga negara Indonesia. 

"Kita enggak mau dong hidup dengan benci," ucapnya 

Menurut dia, awalnya anak adalah buku yang bersih tanpa tulisan. Negara selaku penyelenggara pendidikan nasional yang menjunjung prinsip Bhinneka Tunggal Ika. 

Kita para orang tua selaku guru pertama dan utama bagi anak, memiliki kewajiban untuk mengisi buku kosong yang masih bersih itu dengan ajaran berlandaskan toleransi.

Nia Dinata mengatakan, anak berhak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang sehat disertai kebiasaan-kebiasaan yang baik. Anak berhak menjadi dirinya sendiri dalam norma bermasyarakat yang menghormati hak orang lain. 

"Anak juga berhak bersosialisasi dengan anak lain dari latar belakang psikis, fisik, budaya dan agama berbeda. Mari kita didik anak-anak kita untuk hidup tanpa ada rasa kebencian di hatinya. Semua anak Indonesia berhak bahagia," ujarnya. []

Berita terkait
0
Elon Musk Sebut Pabrik Mobil Baru Tesla Rugi Miliaran Dolar
Pabrik mobil baru Tesla di Texas dan Berlin alami "kerugian miliaran dolar" di saat dua pabrik kesulitan untuk meningkatkan jumlah produksi