Pemerataan Wisatawan Tantangan Bagi Menparekraf Sandiaga Uno

Dunia pariwisata Indonesia tertinggal dari Malaysia dan Thailand sehingga perlu pembenahan yang mendasar terutama meningkatkan hospitality
Objek wisata di Bedugul, Bali (Foto: baliprov.go.id/cdn2.tstatic.net)

Sudah sejak lama pemerintah ingin mengembangkan objek wisata di luar Yogyakarta dan Bali sebagai daerah tujuan wisata (DTW), antara lain dengan jargon “Bali and The Beyond” dan “Beyond Bali”. Tapi, tidak berhasil. Wisatawan tetap memilih Bali atau Yogyakarta serta keduanya dalam satu lawatan. Hal ini antara lain karena tingkat hospitality di Bali dan Yogyakarta.

Bahkan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dalam hal ini Lombok, mengembangkan jargon tersebut dengan semboyan “You can see Bali in Lombok, But you can’t see Lombok in Bali”. Ini pun tidak seperti yang diharapkan karena wisatawan nusantara (Wisman) lebih memilih Bali sebagai tujuan utama dan pertama.

Adalah tugas berat di pundak Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahudin Uno, untuk mengembangkan pariwisata Indonesia karena dari jumlah kunjungan wisatawan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand. Jumlah Wisman (wisatawan mancanegara) yang berkunjung ke Indonesia tahun 2017 sebanyak 14 juta jauh di bawah Thailand (2017) yang dikunjungi 35 juta wisatawan dan Malaysia (2016) didatangi 26 juta wisatawan.

1. Pariwasata yang Mencerminkan Keramahtamahan

Kondisi itu terjadi karena mengabaikan beberapa hal sehingga luput dari perhatian terkait dengan pariwisata, seperti pemahaman tentang pariwisata dalam konteks yang lebih pas yakni tourism. Ada beda antara pariwisata dengan darmawisata, piknik, rekreasi, dan lain-lain. Jika berbicara tentang pariwisata, maka dalam konteks yang luas pembicaraan terkait dengan tourism and hospitality.

Dengan kaitan hospitality maka pariwasata pun mencerminkan keramahan, keramahtamahan, kesediaan dan kesukaan menerima tamu. Itu artinya wisatawan yang berkunjung ke DTW tidak akan pernah kecewa sehingga mereka akan bercerita kepada keluarga, teman, sahabat, dan lain-lain tentang pengalaman mereka. Bahkan, ada yang membuat jadwal baru untuk kembali berkujung ke DTW tersebut.

Ketika pembicaraan tentang pariwisata, maka di DTW ada perwujudan riil dari realitas sosial masyarakat yang bisa dilihat (kasat mata) setiap saat. Di Yogyakarta, misalnya, ketika keluar dari Stasiun Kereta Api (KA) Tugu sudah ada andong dengan kusir ‘orang Yogya’ (dikenali dengan cara berpakaian, blangkon, sikap dan tutur kata). Jika Anda keliling kota tengah malam ada becak, motor atau mobil yang berhenti ketika lampu merah itu menandakan mereka ‘orang Yogya’.

menteriUcapan selamat untuk Menparekraf Sandiaga S Uno (Foto: Twitter Pariwisata & Ekonomi Kreatif)

Begitu juga dengan Bali. Sepanjang hari bisa dilihat ‘orang Bali’ dengan pakaian khas sarung kotak-kotak serta ikat kepala dengan kembang. Pagi dan sore hari mereka pergi ke pura dengan membawa kembang untuk berdoa.

Ketika kita ke Danau Toba di Sumatera Utara, apakah kita langsung melihat ‘orang Batak’? Tidak ada karena semua orang memakai pakaian yang umum. Begitu juga di Lombok tidak ada ‘orang Lombok’.

2. Standar Harga, Tarif dan Jasa

Kondisi itu baru dari aspek lahiriah atau fisik. Di dunia tourism ada faktor yang sangat dominan yaitu hospitality. Wisatawan tidak merasa risi (malu, tersinggung) ketika mereka berpakaian ‘ala kadarnya’ yaitu memakai kutang dan cawat (perempuan) dan hanya memakai cawat (laki-laki). Hal ini hanya bisa dilakukan wisatawan di Bali, khsusnya di seputar Kota Denpasar. Sedangkan di Yogyakarta Wisman perempuan memakai celana pendek dan kaos oblong dengan belahan dada yang lebar.

Tentu saja hal itu mustahil dilakukan oleh Wisman di luar Bali dan Yogyakarta. Ketika tsunami menghantan pantai barat Banten tahun 2018 masyarakat di sana pun langsung menyalahkan Wisman yang mandi dan berjemur di pantai Tanjunglesung dengan pakaian ‘ala kadarnya’. Warga menyebut hal itu sebagai maksiat (perbuatan dosa).

Ada wacana yang mengaitkan halal dengan pariwisata yang justru jadi kontra produktif terhadap pengembangan dunia pariwisata nasional. Danau Toba dan Bali jadi ‘sasaran tembak’ wisata halal.

Baca juga: Wisata Halal Danau Toba Pelabelan yang Salah Kaprah

Tentu saja bukan hal yang mudah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap tourism karena tidak ada kaitan langsung antara maksiat dan bencana alam. Tsunami yang menerjang Aceh tahun 2004 tentulah bukan karena maksiat karena Aceh merupakan daerah dengan syariat Islam tentulah warganya tidak akan melakukan maksiat.

Persoalan besar lain yang perlu jadi perhatian Kemenparekraf adalah harga minuman, makanan, sewa kendaraan dan akomodasi serta tarif dan jasa yang tidak mempunyai standar. Keluhan wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba, misalnya, benar-benar menjengkelkan karena duduk di kursi di warung kopi pun ada harganya. Di Banten ada keluhan harga minuman air kepala muda dan sea food mencapai Rp 1 juta.

Untuk itulah Kemenparekraf perlu mendorong daerah untuk membuat regulasi tentang harga minuman, makanan, sewa kendaraan dan akomodasi serta tarif dan jasa dengan peraturan daerah (Perda) agar ada sanksi hukum. Harga dan tarif harus tertulis di papan atau sepanduk agar bisa dilihat oleh wisatawan.

Aspek keamanan juga sangat penting bagi dunia pariwisata. Kasus-kasus pelecehan seksual sampai kekerasan seksual terhadap Wisman jadi bumerang bagi dunia pariwisata nasional. Seperti kasus perkosaan terhadap Wisman asal Prancis di Labuan Bajo, Flores, NTT, tahun 2018. Begitu juga dengan perkosaan terhadap Wisman asal Denmark di Mentawai, Sumbar, juga tahun 2018. []

Berita terkait
Apakah Pariwisata Bali Siap Terima Wisatawan Asing
Di tengah pandemi virus corona baru yang masih menggeliat di dunia pariwisata Bali dikabarkan akan membuka diri untuk wisatawan asing
Strategi Baru Sandiaga di Dunia Pariwisata & Ekonomi Kreatif
Penjelasan Sandiaga Uno untuk memajukan dunia pariwisata dan ekonomi kreatif.
Harapan Pelaku Pariwisata Sumut kepada Menteri Sandiaga Uno
Pesan dan harapan dialamatkan kepada Sandiaga Uno. Termasuk dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumut.
0
Serangan ke Suharso Monoarfa Upaya Politik Lemahkan PPP
Ahmad Rijal Ilyas menyebut munculnya serangan yang ditujukan kepada Suharso Manoarfa merupakan upaya politik untuk melemahkan PPP.