Untuk Indonesia

Pembebasan Narapidana dan Kepedulian Lingkungan

Kementerian hukum perlu koordinasi dengan sejumlah pihak yang bisa membantu mengontrol narapidana yang dibebaskan karena adanya wabah Covid-19.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly di Kompleks Istana kepresidenan, Jakarta, Rabu, 26 Februari 2020. (Foto: Tagar/Popy)

Oleh: Lestantya R. Baskoro*

LANGKAH pembebasan narapidana yang diputuskan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasona H. Laoly –lagi-lagi- mengajarkan satu hal pada Yasonna: peka pada rasa keadilan dan kekritisan publik. Kementerian yang dipimpin Yasonna juga tidak hanya dituntut membebaskan mereka yang benar-benar memiliki hak untuk bebas, namun, tak kalah penting adalah memonitor mereka yang dibebaskan –sesuatu yang jelas tak mudah.

Keputusan Yasonna Laoly membebaskan narapidana, di tengah pandemi Corona , memang bisa dikatakan tepat. Dengan narapidana yang hampir di setiap lembaga pemasyarakatan jumlahnya melebihi kapasitas isi penjara, para napi yang berjejalan tersebut sangat rentan terpapar virus Corona -dan kita tahu balai pengobatan dalam penjara tak akan sanggup mengatasi masalah itu.

Hampir seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia memiliki problem sama. Isi sel mereka dihuni napi yang jumlahnya melebihi semestinya dan sebagian besar -bahkan acap lebih dari tiga perempat- terkait kasus narkoba. Setiap pekan ratusan pembesuk datang ke penjara dan bisa saja di antara mereka membawa virus yang kemudian menyebar di dalam penjara. Dengan kemustahilan menerapkan social distancing kepada para napi, tanpa policy pembebasan bukan mustahil bencana besar akan melanda seluruh penjara di Indonesia.

Memang ada yang patut kita sesalkan dalam perkara pembebasan narapidana ini, yakni usulan Menteri Yasonna untuk membebaskan narapidana kasus korupsi dengan cara merevisi Peraturan Pemerintah No. 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam PP ini narapidana kasus semacam korupsi, narkotika, terorisme tak mendapat hak asimilasi. Yasonna mengusulkan napi koruptor di atas 60 tahun bisa dibebaskan. Untunglah para aktivis antikorupsi bereaksi keras terhadap usul Yasonna. Presiden Jokowi sendiri yang akhirnya “turun tangan” menegaskan ke publik, para terpidana koruptor tak termasuk yang dibebaskan karena adanya Covid-19.

Semestinya yang tak layak mendapat remisi dalam kaitan PP 99/2012 adalah bandar, produsen, atau pengedar narkoba.

Kementerian hukum menetapkan antara lain para napi yang dibebaskan mereka yang telah menjalami tiga perempat masa hukuman dan untuk anak-anak setengah masa hukuman. Melalui proses asimilasi ini mereka bisa menghirup udara segar. Kementerian menyebut kendati para napi dibebaskan lebih awal mereka tak lantas dibiarkan begitu. Mereka wajib lapor –bisa secara online. Hal yang sebenarnya sulit diterapkan.

Pembebasan narapidana dengan “ukuran” seperti ditetapkan Kementerian Hukum dan HAM seperti di atas sebenarnya juga tidak tepat. Prioritas pembebasan seharusnya pada dua hal: narapidana anak-anak dan kasus narkoba. Kita tahu penjara kita sesak karena setiap kasus narkoba, pemilik atau pemakainya, dikirim ke penjara. Barang bukti tak lebih dari satu gram tetap bisa membawa seseorang mendekam di penjara. Padahal, mereka adalah korban dan menurut undang-undang semestinya mereka menjalani rehabilitasi. Ini berbeda jika mereka produsen atau bandar, layak memang dilemparkan ke dalam bui. Semestinya yang tak layak mendapat remisi dalam kaitan PP 99/2012 adalah bandar, produsen, atau pengedar narkoba.

Inilah yang luput dalam kebijakan pembebasan narapidana yang berjumlah sekitar 35 ribu ini. Ukuran lama masa tahanan menjadi pertimbangan utama, sesuatu yang tentu bisa menjadi penghalang untuk membebaskan narapidana anak atau narkoba yang tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Kita mengharap lembaga lain yang yang memiliki kewenangan serupa, membebaskan tahanan, seperti kepolisian mempertimbangkan hal di atas sebagai prioritas jika mereka memiliki rencana pembebasan tahanan, yakni: anak-anak, tahanan kasus narkoba yang hanya “nol sekian gram, ” tahanan wanita yang memiliki bayi atau anak, juga para lanjut usia namun bukan kasus korupsi.

Kesan kebijakan pembebasan narapidana yang buru-buru ini pada akhirnya juga membuat Kementerian Hukum kedodoran dalam menerapkan kontrol –atau membuat “mekanisme pengawasan” yang pada akhirnya menimbulkan sejumlah kasus tak diharapkan. Di Makassar misalnya seorang narapidana yang dibebaskan, dua hari kemudian ditangkap warga kampung karena melakukan pencurian.

Sulit memang mengontrol ribuan napi yang dibebaskan secara mendadak. Mereka tentu tak siap kembali ke masyarakat di tengah pandemi Corona yang membuat mereka bisa jadi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Di sinilah semestinya Kementerian Hukum -Pemerintah- melakukan sosialisasi, menjelaskan program pembebasan ini kepada lingkungan (Kelurahan, RW, RT atau keluarga) tempat para narapidana itu kelak kembali. Lingkungan diminta menerima mereka sekaligus ikut mengontrol “keluarga” mereka yan; g baru keluar dari lapas in, bahkan membantu kehidupan mereka sehari-hari.

Tanpa itu semua bisa jadi kita akan sering mendengar berita: napi yang baru dibebaskan ditangkap karena melakukan tindak kriminal kembali. ***

Lestantya R Baskoro, Pengamat hukum

Berita terkait
Andi Taufan Garuda, Mundurlah Sebagai Staf Khusus
Perbuatan staf khusus Presiden, Andi Taufan Garuda Putra yang mengirim surat ke para camat merupakan pelanggaran hukum. Opini Lestantya R. Baskoro
Tung Desem Waringin Kena Corona. Ini Kisah Sembuhnya
Motivator Tung Desem Waringin kena virus Corona. Ia melakukan enam hal yang membuat tubuhnya kini makin sehat. Ia ceritakan kepada Tagar.
Larangan Mudik Kapolri Jenderal Idham Azis Tepat
Kapolri Jenderal Idham Azis mengambil langkah tepat: melarang anggotanya mudik demi mencegah virus Corona. Opini Lestantya R. Baskoro.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.